Rabu, April 24, 2024

WHO, Indonesia, dan Virus Korona

Ludiro Madu
Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Peminat studi ASEAN, Asia Tenggara, Politik Luar Negeri & Diplomasi Indonesia, dan kaitan internet-hubungan internasional

Mengapa World Health Organization (WHO) malah ragu bahwa virus Korona tidak menyebar di Indonesia? Apakah tidak ada koordinasi antara otoritas kesehatan Indonesia–Kementerian Kesehatan (Kemenkes)— dengan WHO dalam penanganan virus Korona? Sementara itu, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menjadi ketua insiatif Politik Luar Negeri dan Kesehatan Global (Foreign Policy and Global Health/FPGH) pada 2020 ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul terkait dengan kontroversi beberapa hari terakhir ini mengenai persebaran global virus Korona dari Wuhan, Tiongkok. Hingga Selasa (11/2/2020), jumlah pasien virus korona telah mencapai lebih dari 42.000 kasus terkonfirmasi. Sedangkan jumlah kematian karena virus yang menyebar dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, itu telah merenggut lebih dari 1.000 jiwa. Namun demikian, belum ada satu pun kasus virus korona di Indonesia yang terkonfirmasi positif.

Keraguan atas kemampuan Indonesia mendeteksi virus korona itu pertama kali muncul di dua media Australia, Sydney Morning Herald and The Age. Pada 31 Januari 2020, kedua media itu menyatakan bahwa Indonesia belum memiliki alat pendeteksi virus korona baru atau 2019-nCov. Berita itu didasarkan pada kesaksian seorang turis Australia, Matthew Hale, yang menderita demam tinggi ketika berada di Bali pada 26 Januari 2020. Hale khawatir terjangkit virus korona. Sementara itu, penelitian dari Universitas Harvard menyebutkan kemungkinan Indonesia yang tak mampu mendeteksi virus korona karena hingga saat ini ditemukan 0 kasus atas persebaran virus itu.

Untungnya, Dr. Vino Kumar, Medical Officer di WHO, saat ditemui di Ruang Layanan Publik Badan Litbangkes (11/2/2020), telah meluruskan dan memberikan konfirmasi bahwa Indonesia sudah mampu mendeteksi novel coronavirus.

Kenyataan itu memperlihatkan bahwa virus korona bukan sekedar masalah kesehatan semata, apalagi masalah kesehatan di Wuhan, Tiongkok saja. Persoalan ini sudah merembet kepada isu kedaulatan kesehatan, yaitu kompetensi Indonesia yang diragukan oleh lembaga kesehatan internasional setingkat WHO. Apalagi keraguan ini justru muncul ketika Indonesia menjadi ketua FPGH pada 2020 ini.

Diplomasi kesehatan

Bagi Indonesia, penanganan warganegara Indonesia (WNI) dari Wuhan, Tiongkok, bukan sekedar masalah domestik, tapi merupakan bagian dari politik luar negeri juga. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa isu ini terkait dengan salah satu prioritas PLNI, yaitu perlindungan WNI di luar negeri. Mulai 2020 ini, Indonesia menjadi ketua dalam inisiatif global mengenai FPGH.

Koordinasi antara Kemenkes dan Kemlu sangat diperlukan dalam menepis keraguan WHO dan komunitas internasional mengenai kemampuan Indonesia dalam penanganan virus Korona. Merunut kembali kebijakan pemerintah Indonesia dalam penanganan virus Korona hingga saat ini sebenarnya sudah transparan dan sesuai prosedur kesehatan yang ada, baik sebelum atau setelah virus korona ditetapkan WHO sebagai kondisi darurat kesehatan global.

Memang ada kontroversi atau kritik masyarakat yang tidak bisa dihindarkan dalam penanganan virus korona di Indonesia. Observasi kesehatan WNI dari Wuhan, Tiongkok, menjadi isu problematis bagi Indonesia. Ketika ada WNI terjebak di kota virus Corona di Wuhan, masyarakat menuntut pemerintah Indonesia untuk segera melakukan evakuasi membawa mereka pulang ke Indonesia. Namun ketika kebijakan evakuasi telah diambil dan pemerintah menetapkan Pulau Natuna dipakai sebagai tempat untuk observasi kesehatan WNI dari Wuhan, masyarakat —termasuk masyarakat Natuna— juga mempertanyakannya.

Padahal langkah pemerintah Indonesia melakukan evakuasi berlangsung cepat, yaitu hanya satu hari setelah Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Proses evakuasi berlangsung tidak mudah dan harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah Tiongkok. Kemlu melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing dan masyarakat Indonesia di Tiongkok, khususnya di Wuhan, menjalin komunikasi persiapan dan langkah-langkah teknis evakuasi WNI.

Kebijakan lain terkait upaya mengurangi potensi penyebaran virus Korona di Indonesia adalah penutupan penerbangan dari Indonesia ke Wuhan dan kota-kota lain di Tiongkok, termasuk pemulangan wisatawan Tiongkok yang berada di Indonesia. Indonesia tidak terlalu menanggapi protes pemerintah Tiongkok yang menganggap kebijakan penghentian penerbangan itu sebagai kebijakan yang berlebihan.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa isu ini tidak sekedar terkait dengan kemampuan domestik Indonesia untuk membawa pulang WNI yang berpotensi terkena virus Korona. Yang tidak kalah penting adalah kemampuan Indonesia dalam menangani persoalan kesehatan, khususnya virus Korona ini, sebagai bagian dari diplomasi kesehatan Indonesia terhadap masyarakat internasional.

Tantangan

Belajar dari pengalaman penanganan selama ini, pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi beberapa tantangan ini. Pertama, Indonesia harus terus menegaskan bahwa penganganan virus korona merupakan bagian dari kedaulatan Indonesia, sehingga pemerintah Indonesia harus mampu menepis keraguan WHO dan masyarakat internsional.

Diplomasi kesehatan Indonesia harus dilaksanakan beyond traditional diplomacy melalui partisipasi berbagai aktor dalam negeri. Misalnya, penanganan virus korona merupakan wilayah Kemenkes, namun diplomasi kesehatan menjadi ranahnya Kemlu. Apalagi banyaknya isu-isu kesehatan yang bersifat teknis seringkali harus diselaraskan dengan diplomasi.

Kedua, perlunya kerja sama antara pemerintah dan non-state actors di tingkat nasional dan global dalam mengatasi masalah kesehatan. Peran minimal aktor non-negara bisa dalam bentuk mendorong partisipasi masyarakat luas dalam penyebaran informasi mengenai kebijakan penanganan virus Korona di Indonesia dan berbagai negara. Keberhasilan observasi WNI di Pulau Natuna juga perlu disampaikan kepada masyarakat luas sebagai salah satu bentuk keberhasilan pemerintah Indonesia melalui berbadai media, termasuk media dan berbagai platform online.

Urgensi partisipasi masyarakat dapat dilihat pada data percakapan di media sosial, seperti Twitter. Melalui analisa Drone Emprit Academic yang bekerjasama dengan UII Yogyakarta (dea.uii.ac.id), percakapan di Twitter mengenai virus Korona dan Diplomasi Kesehatan Indonesia mencapai 2.639.669 mention (meliputi tweet, retweet, dan reply) selama 25 Januari-11 Februari 2020. Melalui percakapan itu, isu-isu besar yang memperoleh banyak perhatian di Twitter, meliputi tagar: #coronavirus (1.559.084 tweet), #wuhan (207.755 tweet), #China (171.609 tweet), #CoronavirusOutbreak (45.123 tweet).

Ketiga, perlunya Indonesia memelopori kolaborasi internasional untuk bersama-sama dengan negara lain meningkatkan kapasitas kesiapan nasional dalam menghadapi pandemik, seperti virus Korona ini. Dalam hal ini, isu kesehatan perlu diintegrasikan dengan sistem pertahanan nasional, sehingga sinergi antara instansi pemerintah pusat, daerah, TNI, dan Polri perlu lebih diintensifkan.

Diplomasi kesehatan memang bukanlah sesuatu yang baru bagi pemerintah Indonesia. Namun demikian, kemampuan Indonesia dalam penanganan virus Korona, termasuk WNI dari Wuhan, menjadi ujian penting untuk menunjukkan kompetensinya dalam diplomasi kesehatan global.

Ludiro Madu
Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Peminat studi ASEAN, Asia Tenggara, Politik Luar Negeri & Diplomasi Indonesia, dan kaitan internet-hubungan internasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.