Pernah enggak kamu mendengar istilah “radikalisasi”? Mungkin bagi beberapa orang istilah radikalisasi ini masih asing didengar. Ternyata radikalisasi ini ada di sekitar kita dan dapat terjadi secara online. Nah, apa itu radikalisasi online dan bagaimana proses terjadinya? Yuk bahas lebih lanjut!
Radikalisasi Online
Menurut McCauley dan Moskalenko (dalam HIMPSI, 2016) radikalisasi adalah proses perubahan keyakinan, perasaan, dan perilaku yang ditujukan untuk meningkatkan dukungan dalam konflik.
Internet dapat digunakan oleh kelompok radikal sebagai “tempat” untuk menyebarkan informasi, diskusi, propaganda, hasutan, pelatihan, perencanaan, eksekusi, serangan siber (cyber attack), pengumpulan data intelijen, hingga penggalangan dana. Melalui situs online dan media sosial seperti facebook, twitter, dan instagram, diskusi dan propaganda dari kelompok radikal ini dapat dilakukan secara terbuka sehingga mereka dengan mudah berbaur dengan berbagai kalangan terutama anak muda.
Selain itu, tidak adanya kontrol dan regulasi yang mengikat, audiens yang luas, kecepatan arus informasi, bersifat multimedia (cetak, suara, foto dan video), serta merupakan sumber media mainstream juga menjadi faktor pendorong terjadinya radikalisasi online.
Persepsi tanpa batas dan kebebasan berekspresi dalam berkomunikasi juga terjadi melalui internet dan media sosial. Kebebasan berekspresi membuat seseorang berani untuk mengungkapkan pandangan ideologi yang dimiliki tanpa khawatir akan dikucilkan atau dikeluarkan dari kelompok. Kebebasan dan anonimitas juga membuat seseorang merasa berada di wilayah yang berada di luar jangkauan hukum sehingga mereka semakin berani untuk berpendapat dan bergabung dalam kelompok radikal.
Lalu bagaimana radikalisasi online bisa terjadi?
Pertama, radikalisasi hanya berupa penyebaran ideologi melalui fasilitas website. Lalu, para kelompok radikal memanfaatkan fitur media interaksi seperti pembuatan forum dan chat room untuk berinteraksi dengan masyarakat.
Penggunaan sosial media seperti youtube, facebook, twitter, dan instagram yang semakin populer kemudian mempermudah penyebaran radikalisme sehingga akhirnya orang-orang yang tidak menyaring informasi dengan baik akan termakan dengan radikalisme dan terbawa arus.
Radikalisasi Langsung VS Radikalisasi Online
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa internet dan media sosial dapat digunakan oleh siapa saja termasuk kalangan muda. Akses melalui internet dan media sosial meningkatkan peluang semakin meluasnya berbagai kalangan yang bergabung dalam kelompok radikal secara online.
Kelompok radikal akan susah untuk ditemukan secara langsung di kehidupan nyata karena bersifat tertutup dan rahasia. Proses seleksi juga harus dilakukan agar dapat bergabung dalam kelompok ini karena tidak semua orang bisa bergabung dan terdapat batasan usia.
Melalui internet dan media sosial proses seleksi akan hilang karena terdapat kebebasan dan anonimitas sehingga siapa saja dapat bergabung dalam kelompok radikal. Kebebasan dan anonimitas ini akan meminimalisir ketakutan seseorang untuk ditolak bahkan dikeluarkan dari kelompok radikal.
Sebagai contoh, Andi adalah seorang anak berusia 15 tahun yang sudah didoktrin dengan paham radikalisme. Andri mendatangi kelompok radikal secara langsung (face to face) untuk bergabung. Andri akan langsung ditolak karena masih di bawah umur. Beda halnya jika Andri bergabung ke dalam kelompok radikal secara online melalui komunitas online. Andri akan dengan mudah bergabung dalam komunitas online tersebut karena siapa saja dapat menggunakan internet dan adanya anonimitas sehingga proses seleksi akan sulit untuk dilakukan.
Bahaya Radikalisasi Online
Radikalisasi online sama bahanya dengan radikalisasi secara langsung. Namun, remaja akan lebih mudah untuk mengalami radikalisasi online karena pengguna internet terbanyak adalah remaja. Selain itu, pemikiran remaja yang masih labil serta kondisi emosi yang masih belum stabil juga membuat remaja lebih mudah untuk terbawa arus informasi dan trend yang ada di internet.
Radikalisasi online juga memungkinkan terjadinya lone wolf terrorist. Lone wolf terrorist adalah pelaku teror yang berasal dari aksi seorang diri tanpa dukungan kelompok. Tanpa adanya doktrin dari orang lain, seseorang bisa saja percaya dengan informasi yang ada di internet karena informasi yang masuk sesuai dengan logika orang tersebut. Akibatnya, doktrin radikalisme dapat terjadi tanpa adanya dukungan dari kelompok.
Pada lone wolf terrorist radikalisasi terjadi secara mandiri, seseorang aktif mencari informasi mengenai radikalisme, tidak memiliki mentor atau kelompok yang melakukan doktrin secara langsung, dan tidak ada pemimpin yang memaksa untuk berkomitmen dan memberikan perintah.
Nah, berdasarkan penjelasan di atas kita harus waspada dengan adanya radikalisasi online, karena radikalisasi online ini dapat dengan mudah terjadi. Oleh karena itu kita harus bijak dalam menyaring informasi melalui internet dan media sosial, jangan mudah percaya dengan informasi yang ada di internet dan media sosial. Jangan lupa juga untuk selalu mengingatkan orang-orang sekitar ya!
Referensi
Ghifari, I. F. (2017). Radikalisme di internet. Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya, 1(2), 123-124.
HIMPSI. (2016). Psikologi dan Teknologi Informasi : Seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa 2. Jakarta: Himpunan Psikologi Indonesia.
Puspita, R. KONTRA-RADIKALISASI PADA MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI.