Kamis, April 25, 2024

Dilema Informasi di Masa Pandemi

Fathul Qorib
Fathul Qorib
Mantan jurnalis, sekarang aktif mengajar jurnalistik di Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang.

Dua tahun setelah Covid-19 berkunjung dan memastikan dirinya menjadi salah satu hantu yang mematikan, ternyata kita masih gagap menghadapinya. Kita sembrono dan menganggap semuanya akan membaik dengan cepat. New normal yang direncanakan sejak 2020 tampaknya juga gagal. Sekarang kita selalu mengimajinasikan kehidupan normal lama dengan riuhnya pasar, coffee shop, bioskop, dan berwisata tanpa takut berdesakan dengan orang lain. Di mana kesadaran akan normalitas baru? Tidak ada.

Memandang kerumitan Covid-19 ini memang membutuhkan banyak sudut pandang, dan masing-masing memiliki solusinya sendiri. Ketika kami coba mendiskusikan permasalahan ini dengan mahasiswa jurnalistik di perguruan tinggi, kesimpulan dari seluruh masalah ini adalah kegagalan informasi dari komunikator kepada khalayak, termasuk media sebagai media komunikasi dari komunikator kepada khalayak. Komunikator ini bisa jadi pemerintah, bisa juga ahli kesehatan, dan juga seluruh influencer yang memposting informasi Covid-19. Tentu saja hal semacam ini perlu dikaji, terutama dari sudut pandang informasi yang serba dilematis di media digital.

Industri informasi yang dikelola oleh media massa dan disemarakkan oleh media sosial membuat kita mengetahui setiap informasi di penjuru bumi. Sekarang kita bisa mengetahui tempat-tempat paling tersembunyi di dunia, sekaligus mengetahui peningkatan kasus Covid-19, kematian yang mengiringinya, hingga pembatasan kegiatan masyarakat yang menyebabkan chaos di mana-mana. Informasi, sebagaimana sebuah senjata bisa menjadi pelindung paling efektif dari kejahatan, sekaligus sumber kejahatan itu sendiri.

Pandemi memang membuat fisik kita ambruk. Tapi informasi yang mengerikan tentang Covid-19 membuat mental kita lumpuh. Kita menghadapi tantangan yang belum pernah dirasakan oleh manusia sebelum kita: infodemik. Infodemik merupakan wabah informasi yang membanjiri lingkungan kita, baik luring maupun daring. Media online, media sosial, aplikasi pesan instan, hingga percakapan di tempat kerja dan warung kopi, semuanya membahas isu yang sama. Semakin besar informasi menyebar, semakin kita tidak mampu menyaring informasi tersebut.

Ambiguitas Sumber Informasi

Banjir informasi Covid-19 membuat sekelompok orang menyerukan setop membaca berita. Alasannya, berita Covid-19 membuat hidup tidak tenang. Ide diet media (media detox) memang keren dan seolah-olah mampu menyelamatkan mental khalayak umum. Namun sesungguhnya, ada yang berbahaya dari kampanye meninggalkan berita Covid-19. Kita diajak untuk memanipulasi pikiran bahwa tidak ada apa-apa di luar sana. Kita menutup diri dari seluruh kabar buruk padahal kenyataan itu ada. Hal ini dapat membuat kita buta kenyataan, lalu abai terhadap protokol kesehatan.

Informasi yang ada di media massa memang tidak sepenuhnya benar, tetapi tidak membaca berita bukanlah pilihan yang bijak. Situasi apapun yang kita hadapi, media-media mainstream merupakan rujukan informasi yang paling bisa dipercaya. Kita bisa menghitung beberapa sumber informasi selain media massa, namun tingkat kepercayaan informasinya tentu akan sulit mengimbangi media. Jika jurnal ilmiah kita masukkan sebagai sumber informasi, misalnya, tentu akurat. Tetapi kemampuan jurnal ilmiah untuk update informasi dengan cepat masih kalau jauh dibanding media.

Media sosial kini juga menjadi salah satu sumber informasi utama masyarakat. Padahal dalam berbagai laporan yang diterbitkan Mafindo maupun Kominfo RI, media sosial menjadi sumber hoaks yang paling dominan. Facebook, Twitter, Instagram, dan aplikasi chatting WhatsApps merupakan empat besar pemegang sumber informasi hoaks terbesar. Meskipun media sosial memberikan informasi secara cepat, namun akurasinya sangat buruk. Karena pemilik akun media sosial tidak memiliki pegangan moral maupun institusional untuk menyaring informasi yang hendak disebarkan.

Informasi di media sosial cenderung bebas, tanpa filter, dan tendensius. Kita harus berhati-hati terhadap informasi yang disebarkan oleh keempat media di atas. Namun sayangnya, berbagai sumber statistik menyebutkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia terus membesar. Bahkan awal tahun 2021 ini, lebih dari 60% penduduk Indonesia menjadi pengguna media sosial. Ini sebuah tantangan yang luar biasa bagi seluruh komponen masyarakat.

Cerdas Konsumsi Informasi

Sebenarnya, Kementrian Komunikasi & Informasi RI, bekerjasama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital, dan Siber Kreasi, telah menerbitkan empat buku literasi digital. Buku ini sedikitnya berisi konsep, problematika, dan strategi yang bisa digunakan untuk memberantas buta literasi masyarakat umum. Selain pembuatan buku, saat ini Kominfo dan Siber Kreasi mengucurkan dana yang besar untuk perluasan literasi digital masyarakat. Hampir setiap hari ada kegiatan literasi digital mulai dari Jakarta hingga Papua secara daring. Kita memang masih belum dapat mengukur tingkat keberhasilannya, tapi setidaknya upaya ini sudah dilakukan.

Membangun masyarakat yang terliterasi tidak dapat dijalankan oleh satu komponen saja. Seluruh warga negara harus berpartisipasi aktif mencerdaskan dirinya sendiri. Dalam buku Digital Culture yang diterbitkan Kominfo RI, ada beberapa kecakapan yang sekarang harus dimiliki warga digital, pertama cakap paham yaitu kemampuan masyarakat untuk memahami setiap informasi yang ada di dunia digital, kedua cakap produksi yaitu masyarakat harus mampu membuat informasi di media digital yang benar dan aman, ketiga cakap distribusi, yaitu kemampuan masyarakat menyebarkan informasi yang sudah terverifikasi dan dapat dipercaya.

Keempat, cakap partisipasi, yaitu masyarakat harus mampu berpartisipasi menjaga konten positif di media digital, dan kelima cakap kolaborasi, masyarakat pada akhirnya dapat bekerja sama untuk menciptakan suatu ruang yang aman dan nyaman di media digital. Kelima kecakapan ini harus dimiliki oleh setiap orang yang mampu membuat konten dan menyebarkannya di media digital. Setiap pengguna media sosial misalnya, harus proaktif untuk menyuarakan kecakapan tersebut sehingga dia bisa mengajak, mengingatkan, hingga meluruskan jika ada konten negatif yang muncul di beranda media sosialnya.

Tentu saja, kecakapan ini tidak akan mudah disebarkan kepada seluruh pengguna platform digital. Perlu keseriusan dari masyarakat dan perlu dukungan dari pemerintah untuk menggerakkan seluruh elemen agar memiliki kecakapan yang serupa. Sekali lagi, informasi yang ada di media massa, media sosial, maupun aplikasi chatting tidak untuk ditakuti. Mari kita baca seluruh informasi dengan kecakapan baru; kecakapan komunikasi di ruang digital. Dengan demikian, terjagalah mental kita dari kepanikan akibat berita Covid-19.

Fathul Qorib
Fathul Qorib
Mantan jurnalis, sekarang aktif mengajar jurnalistik di Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.