Jumat, Maret 29, 2024

Warisan Harto dan Problem Demokratisasi Kekuasaan

M. Rasyid Ridha S.
M. Rasyid Ridha S.
Pengacara Publik YLBHI-LBH Jakarta

Piye, enakan jamanku tho?”, adalah tulisan-tulisan yang cukup viral dipajang di belakang mobil-mobil truk panturanan. Diiringi dengan gambar Pak Harto yang sedang tersenyum dan melambaikan tangan, tulisan tersebut mungkin dapat dikatakan menggambarkan perasaan nostalgia sebagian masyarakat Indonesia terhadap era kekuasaan Soeharto.

Konon para perindu tersebut membayangkan bahwa era kekuasaan Soeharto adalah era dimana semua serba pasti: hidup terjamin, tenang, tiada hiruk-pikuk keributan di media publik, dan sebagainya. Semua hal-hal yang dianggap berpotensi “berisik” dan “mengganggu ketenangan publik”, akan dengan cepat disapu habis oleh para laskar militer.

Namun ada satu hal yang mesti diperhatikan: sentralitas kekuasaan Soeharto adalah satu hal yang menjadi prasyarat agar semua menjadi tenang, dan bungkam. Kekuasaan yang terpusat dapat menundukkan segala watak kebebasan manusia yang cenderung liar, berisik, dan bergerak, meskipun watak kebebasan tersebut justru kerapkali diupayakan untuk suatu hal yang lebih baik.

Tapi Opa Harto telah menumbangkan dirinya sendiri pada tahun 1998, setelah didemo oleh ratusan ribu rakyat, dan juga akibat kelakuan Opa George Soros yang bermain spekulasi investasi finansial di wilayah Asia. Krisis moneter ekonomi, berdampak besar terhadap krisis-krisis lainnya: sosial, politik, budaya, dan sebagainya.

Tak lama setelah tumbangnya Opa Harto dan kekuasaannya tersebut, wajah-wajah Harto dan kekuasaannya dengan segera menyebar ke individu-individu Indonesia. Ia menubuh dalam bentuk “idealisme identitas tunggal”: sektarianisme, politik identitas, primordialisme, dan radikalisme agama.

Idealisme identitas tunggal ini bermain pada ranah afeksi, dimana sentimentalitas menjadi satu prasyarat penting untuk menggerakkan massa. Manusia Indonesia modern yang digambarkan sebagai masyarakat sipil yang adiluhung, yang katanya memiliki Pancasila, tidak mampu menggunakan nalar dan rasionya dengan lebih benar. Sentimentalitas telah memainkan fungsinya dengan baik untuk meneguhkan identitas diri orang-orang Indonesia ini.

Satu hal yang menarik adalah, ternyata situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh aktor-aktor politis-oligarki, yang sebagiannya pernah menikmati kue kekuasaan dan kekayaan dari Orde Baru. Para oligarki berbondong-bondong merapatkan diri terhadap elit-elit kelompok identitas sektarian tertentu, untuk mendapatkan dukungan massa. Tak jarang dibungkus dalam bentuk aksi filantropisme.

Akibatnya adalah para oligarki ini secara ketokohan justru mendapatkan dukungan dari massa yang banyak. Masyarakat pada umumnya menjadi lebih tidak jernih dalam memandang perilaku-perilaku korup dan rusak yang telah dilakukan para oligarki: baik tindakan-tindakannya yang melanggar hak asasi manusia, maupun melanggar hak-hak ekologis.

***

Para oligarki pasca Orde Baru, tampaknya “tidak begitu kemaruk” atas kekuasaan sentralistik layaknya Opa Harto. Mereka memanfaatkan betul era demokratisasi pasca 1998, dengan mendistribusikan kekuasaan melalui tindakan aksi massa bayaran, sentimentalitas massa, bahkan dengan penggunaan jalur hukum pidana.

Hal ini bisa dilihat misalnya dari perlahan-lahan digunakannya delik tindak pidana pencemaran nama baik Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE). Dalam banyak kasus, delik pidana UU ITE digunakan untuk mengkriminalisasi orang-orang yang dianggap merongrong kekuasaan dan bisnis oligarki. Ia banyak menimpa para aktivis serikat buruh, aktivis demokrasi, aktivis HAM, hingga aktivis lingkungan.

Kini delik pidana UU ITE justru makin marak digunakan oleh warga masyarakat biasa yang tampaknya acuh pada persoalan politik dan sosial. Ia digunakan oleh orang-orang over-sensitif yang baperan, bahkan oleh orang-orang yang dianggap punya kedudukan sosial (ketokohan) tertentu. Dalam kasus Baiq Nuril misalnya, UU ITE digunakan oleh Kepala Sekolah SMA 7 Mataram untuk membungkam korban pelecehan seksual, agar kedudukan dan jabatannya tidak digoyang.

Tidak hanya UU ITE, delik pidana blasphemy law (delik pidana penodaan agama, tertuang pada Pasal 156a KUHP dan UU No. 1 PNPS tahun 1965) turut digunakan oleh orang dan kelompok identitas keagamaan tertentu untuk membungkam yang berbeda. Dalam banyak kasus, korban dari delik pidana ini adalah kelompok aliran keagamaan alternatif seperti Komunitas Eden, Milla Abraham, dan sebagainya.

Pasca tahun 2016, delik blasphemy law digunakan untuk orang-orang yang dianggap berposisi kontra terhadap kelompok keagamaan ekstrimis dan partai politik yang mengiringinya. Kasus terbaru yang menimpa Grace Natalie (Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia), dimana ia menyatakan dalam pidatonya bahwa ia dan partainya akan menolak segala Perda Keagamaan (baik Perda Syariah, Perda Injil, dsb.), menjadi satu contoh bagaimana sikap politik pun turut dikriminalisasi lewat delik ini.

Padahal sikap politik tersebut sebenarnya tidaklah tanpa dasar. Penolakan atas Perda Syariah didasarkan pada kenyataan bahwa produk hukum ini bermasalah bagi kelompok-kelompok perempuan, berkontribusi terhadap diskriminasi kelompok tertentu, dan sebagainya.

Dari perilaku penggunaan delik-delik hukum pidana yang opresif tersebut, dapat dilihat bahwa individu-individu dapat dengan gagahnya memainkan hukum untuk meneguhkan kekuasaannya atas yang lain. Di satu sisi, perilaku ini eksis karena ia dilindungi oleh hukum dan hak asasi manusia, yang mengakui bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan hukum”, yang merupakan buah kandung dari kebebasan dan demokrasi pasca 1998.

Lewat perilaku penggunaan delik hukum pidana yang opresif ini, maka tampak bahwa kekuasaan telihat menjadi cair dan menyebar. Tidak seperti zaman Opa Harto dahulu, dimana kekuasaan begitu beku dan tersentralistik, di era sekarang siapa pun dapat menggunaan alat kekuasaan yang opresif (delik pidana UU ITE dan Blasphemy Law),  dan cukup efektif untuk membelenggu kebebasan orang lain untuk bebas berekspresi dan berkeyakinan.

Pada posisi ini, maka yang mesti diupayakan adalah mendorong efektifitas lembaga penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Tiga lembaga ini paling tidak harus mampu membangun sistem yang kuat untuk menegakkan hukum secara rasional dan efesien. Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan di masyarakat dan kebebasan individu di masyarakat.

Kepolisian barangkali sudah melakukan upaya kontrol penggunaan delik fasis ini, dengan mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor 8 tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Meski dalam praktiknya di beberapa kasus pihak Kepolisian tetap bersikap parsial (memihak), namun perlu ada usaha ekstra untuk mengefektifkan pemahaman atas Surat Edaran ini dan korelasinya dengan perlindungan hak asasi manusia.

Kejaksaan dan Pengadilan? Kejaksaan dengan klaimnya sebagai pembela kepentingan publik (negara) dan Pengadilan dengan klaimnya sebagai penentu keadilan, tampaknya sampai sekarang hanya menjadi corong undang-undang semata; yang dengan banalnya tetap mempertimbangkan dan menggunakan aturan hukum fasis ini. Fasisme Harto tetap eksis dan terwariskan, dalam bentuknya yang lebih demokratis dan didukung oleh Negara.

M. Rasyid Ridha S.
M. Rasyid Ridha S.
Pengacara Publik YLBHI-LBH Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.