Seto Mulyadi atau lebih dikenal dengan sebuatan Kak Seto, saat ini masih menduduki jabatan sebagai Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI). Perannya sebagai pelindung anak, didasari oleh bidang keilmuannya sebagai seorang psikolog. Banyak yang menilai, ia memang cocok menduduki jabatan ini. Tapi, yang mempertanyakan pernyataannya tentang anak Putri Candrawati belakangan ini, menimbulkan pertanyaan.
Beberapa saat lalu, ia berharap agar anak Putri masih tidak dijauhkan dari ibunya. Yang jadi masalah, bukan aspek Putri. Tapi lebih ke atensi yang sepertinya kurang berimbang. Memang, Putri masih memiliki balita yang memerlukan kasih sayang orang tua. Masih butuh dukungan dan pelukan dari ibunya.
Namun, mengapa ia lebih memerhatikan hal ini di saat Putri sedang mengalami masalah. Perempuan lain yang juga berstatus sebagai seorang ibu dan kebetulan punya balita, pun butuh hal serupa. Hanya saja, pada momen ini, ia seolah hanya ‘memperjuangkan’ hak anak Putri, tanpa mempertimbangkan betapa rindunya pelaku kriminalitas lain yang sesama perempuan. Apakah Seto juga memberikan perhatian terhadap perempuan lain yang punya masalah hukum? Apakah ia mengusulkan hal serupa, agar anak pelaku proses hukum bisa mendampingi anaknya, yang entah secara teknis fisik si anak harus didekatkan dengan ibunya di rumah tahanan?
Dasar dua pertanyaan itu adalah keinginan atau harapan Seto agar si anaknya didekatkan dengan ibunya di ruangan khusus, tahanan rumah, atau apapun itu. Seto muncul dengan pernyataan ini, di saat masalah hukum ini sedang berjalan dan menjadi perhatian masyarakat. Bagaimana dengan mereka yang kasusnya tidak terekspos dan bukan figur orang terkenal semacam Putri?
Jika bicara tentang hak, maka semuanya sama. Haknya sama seperti yang diatur oleh undang-undang perlindungan anak, khususnya pasal 6 dan 15. Saya memilih pasal itu, lantara lebih menekankan pada aspek efek psikis anak. Di situ dapat diinterpretasikan secara lugas bahwa perlu ada upaya khusus untuk memberikan kebebasan pada anak dalam rangka mengembangkan kemampuan kreatif dan intelektual sesuai dengan tingkat usia anak. Dan cara yang tepat adalah tidak menjauhkan anak dari orang tua atau walinya. Kemudian pada pasal 15, interpretasinya dapat dipaparkan bahwa perlindungan terhadap anak dapat dilakukan secara langsung tak tidak langsung agar anak terhindar dari bahaya fisik dan psikis.
Dua pasal ini sudah cukup jelas bagi Seto untuk menyampaikan tawaran tadi. Betul, memang betul. Tapi ingat, pada pasal 6 ada ketentuan bahwa anak sebaiknya tidak dijauhkan dari orang tua atau walinya. Ada kata wali dalam konteks ini, sehingga tawaran Seto bisa gagal, dan si anak bisa diasuh walinya. Sama seperti pelaku tindak kriminal lain yang menjalani proses hukumnya, mereka pun harus menitipkan anak pada wali. Bukan dibawa atau dititipkan fisiknya berdekatan dengan ibunya di rumah tahanan.
Jika itu benar-benar dilakukan, maka hal ini sebetulnya baik-baik saja. Tetapi ruang tahanan akan berubah jadi tempat penitipan anak. Dan ini jadi satu fenomena unik sekaligus memprihatinkan, sebab si anak justru akan ikut merasakan kondisi rumah tahanan yang sebenarnya, meskipun akan ada dalih bahwa si anak akan nyaman karena bertemu dan bermain dengan anak tahanan lainnya.
Kemudian pasal 15, yang membolehkan anak diasuh secara langsung dan tak langsung di saat mereka membutuhkan perlindungan itu. Artinya, dalam konteks ini si anak masih bisa diasuh secara tak langsung oleh orang tuanya. Silakan dicerna saja uraian ini.
Kemunculan Seto di saat proses hukum sedang berjalan dan menjadi perhatian publik, sempat didiskusikan oleh teman-teman saya. Mereka mengernyitkan dahi dan mempertanyakan niat Seto ini. Murnikah ia bicara demikian demi menyelamatkan anak, dan semua anak Indonesia, tak lepas dari statusnya sebagai ketua lembaga yang mengurusi hal ini, atau alasan lain. Semoga saja Seto melakukan, memperhatikan, dan menerapkan aturan yang sama untuk siapa pun yang sedang menjalani proses hukum. Siapa pun itu harus diberi atensi Seto, agar tidak akan kesan bahwa ia hanya menerapkan perhatian ini terhadap fenomena yang menjadi perhatian masyarakat.
Jika alasannya adalah rasa iba, maka rasa itu juga perlu diberikan pada perempuan lain yang juga sedang menjalani prosesa hukum tak seberat Putri, tapi kemampuan finansialnya tak seberuntung Putri, dan harus menitipkan anak pada wali yang berbayar dan tak bisa ditethering. Kalau bisa dithetering, pasti banyak yang milih itu dan tinggal beli kuota internet untuk sebuah kasih sayang pada anak. Saran saja, hendaknya Seto tak lagi mengusulkan sesuatu dengan dua keping berbeda: hitam dan putih untuk sesama pelaku proses hukum.
Cobalah merasakan pedihnya para perempuan pelaku proses hukum lainnya, yang tak bisa bertemu – apalagi mendampingi anaknya – hingga beberapa tahun. Belum lagi mereka yang mendapatkan vonis hukuman mati, yang tak ada lagi kesempatan mendampingi, membimbing, dan mengelus kepala anaknya karena prestasi yang membanggakan, serta tak bisa menyaksikan pernikahan anaknya karena harus tidur di bui. Mereka juga akan punya keturunan, semacam cucu dan cicit yang kelak mempertanyakan: eyang puteri mana ya?