Rabu, Oktober 16, 2024

Wajah-Wajah Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Tengger

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Peneliti Central Study of Indigenous People (CSIP) Universitas Brawijaya Twitter : @Naaayay Facebook : Yayan Hidayat

Agaknya sulit untuk mencari periode sejarah yang pasti sebagai titik berangkat guna membedah proses-proses sosial-politik peminggiran kelompok-kelompok masyarakat adat penghayat agama leluhur. Alih-alih dari itu, dengan memperhitungkan banyak kajian yang sudah dilakukan, pertarungan diskursif antar kekuatan agama dapat menjadi titik berangkat.

Konsekuensi lain dari nasionalisme berketuhanan yang sampai sekarang membebani kita, nampak dalam upaya negara untuk menertibkan agama – atau apa yang dengan nakal disebut Menchik sebagai jalan-jalan menuju Allah yang direstui negara. Soal ini menjadi titik paling krusial proses peminggiran kelompok-kelompok penghayat agama leluhur Nusantara.

Domestifikasi komunitas masyarakat melalui pemaksaan nilai-nilai asing yang merasuk lewat agama-agama dunia dan sekarang lewat apa yang disebut dengan agama sekuler baru. Proses de-kulturisasi dilakukan oleh oknum penetratif guna menjauhkan masyarakat adat dari leluhur mereka, dengan begitu oknum tersebut dengan gampang menjajaki tanah-tanah masyarakat adat. Begitu pola penjajahan demi akumulasi modal yang bertujuan menguras kekayaan sumber daya.

Dalam hal ini adalah Tengger, satu suku yang disebut-sebut para intelektualis sebagai hindu dalam beberapa versi, ada pula yang menyebut mereka Budha dan Islam, versi lain menyebutkan Tengger adalah masyarakat pegunungan. Intelektualis melupakan, bahwa Tengger telah mengalami arus pemindahan, bahkan sejarah sengaja memburamkan leluhur mereka.

Tulisan ini menegaskan bahwa wajah orang Tengger adalah potret wajah-wajah terusir. Betapa orang-orang Tengger dipaksa merumuskan ulang agama mereka agar mendapat pengakuan resmi. Pemindahan, pemiskinan budaya dan sosial, serta disintegrasi akibat tuntutan dari luar atas sumber daya alam disekitarnya bahkan menjadi derita Tengger sejak keruntuhan Majapahit.

Posisi Historis Kekalahan Orang Tengger

 Di dalam buku yang berjudul Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, karya Robert W. Hefner menjelaskan bahwa orang-orang Suku Tengger merupakan keturunan dari para pengungsi Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-16, kerajaan Majapahirt yang mulai melemah mengalami serangan dari kerajaan Islam yang dipimpin oleh Raden Patah.

Menyelamatkan diri dari invasi, sebagian masyarakat Majapahit mengungsi menuju pulau Bali, sebagian lainnya memilih untuk menempati sebuah kawasan pegunungan di Jawa Timur, mengisolasi diri dari pengaruh luar. Orang-orang inilah yang kelak dinamakan suku Tengger.

Pelarian itu menyebabkan Identitas orang Tengger terkesan problematis. Pergulatan suku Tengger soal agama telah dimulai saat dominasi kekuasaan Islam, baik Demak maupun Mataram. Hal tersebut banyak mempengaruhi tradisi kebudayaan masyarakat Tengger.

Rentetan kekuasaan kolonialisme Eropa, khususnya Belanda juga tidak kalah penting menjadi dalang untuk memecah-belah persatuan Tengger. Demi mempertahankan tradisi dan budaya, Tengger banyak mendapat hambatan dari kekuasaan Islam masa itu.

Di Desa Ngadas sebagai wilayah yang dominan dihuni oleh masyarakat Tengger, Islam pun masuk pada tahun 1990 bersamaan dengan agama Hindu. Sebelumnya mayoritas masyarakat Tengger menganut agama Tengger sebagai aliran kepercayaan adat.

Pemerintah Orde Baru dengan kekuasaan otoriternya, memaksa suku Tengger untuk mengikuti satu di antara lima agama resmi yang diakui pemerintah jika tidak mengikuti, maka masyarakat akan di dakwa sebagai komunis. Akibat itu mereka harus mengikuti Islam, Hindu maupun Budha sebagai pilihan agama mereka.

Selain itu, serbuan Islam telah merambah di kalangan masyarakat Tengger, khususnya yang tinggal di dataran rendah pegunungan Bromo. Perdebatan tentang apakah suku Tengger sesungguhnya beragama Hindu atau Budha masih menjadi perdebatan panjang.

Penetapan ini secara serius “memaksa” orang Tengger untuk melakukan permusyawaratan internal. Pada tahun 1990 ini pula para pemuka masyarakat, dukun, dan kepala desa sekawasan Tengger berkumpul di Desa Ngadisari. Mereka memusyawarahkan keyakinan mereka sesuai kategori agama yang diakui pemerintah.

Perdebatan tak bisa di hindari dari peserta musyawarah. Sebagian besar peserta musyawarah mempercayai bahwa keyakinan orang Tengger akhirnya termasuk dalam kategori agama Hindu, sementara yang lain tetap menolak.

Hingga sekarang, perebutan dominasi salah satu agama itu masih terjadi. Bahkan hal itu masih terlihat dalam pengangkatan dukun (sebutan tokoh adat Tengger) yang harus beragama Hindu baru kemudian dapat ditunjuk sebagai representasi adat masyarakat Tengger.

Terlepas dari dinamika itu, masuknya agama formal memang menjadi fenomena yang tidak terhindarkan. Di samping karena karena faktor proses interaksi sosial, memang ada intervensi negara yang terlihat sangat dominan.

Sampai saat ini yang disebut “desa Tengger” sangat problematis karena sulit mengidentifikasi wilayah Tengger akibat pelarian mereka ke daerah pegunungan. Dapat kita lihat bersama, bahwa wilayah menjadi kunci dalam mengidentifikasi identitas. Jika wilayah dirampas, sama saja dengan mencabut identitas dan budaya dari akarnya. Sebab wilayah adalah akar dari adat-istiadat.

Orang Tengger : Mencoba Bertahan Dalam Arus Perubahan

Kehadiran Islam di satu sisi, dan dominasi kekuasaan pemerintah di sisi lain, mengubah banyak hal dalam sistem kehidupan masyarakat di Tengger. Sebagai cara defensif bagi masyarakat dalam merepresentasikan identitas diri mereka salah satunya melalui negosiasi. Negosiasi sendiri adalah bagian dari politik representasi. Cara ini kemudian dipilih orang Tengger untuk mempertahankan keberadaan mereka.

Ketika agama formal, seperti Islam, dan Hindu masuk ke Tengger seperti “tamu” yang tidak mungkin lagi ditolak keberadaannya. Sebagian dari masyarakat Tengger menerima kebihakan negara yang mengharuskan mereka memeluk agama formal. Sebab tak bisa mereka melakukan perlawanan ditengah cengraman dominasi penetrasi negara.

Kekuasaan pemerintah yang bersifat mengikat dan kehadiran Islam dipandang sebagai ancaman. Ditengah arus itu, Tengger mencoba bertahan dengan identitas ke-Tengger-an mereka.

Apa yang sedang dipertahankan Tengger saat ini adalah problem mendasar, mencakup kelompok-kelompok yang selama ini, dengan tekun dan setia, merawat dan menghidupi tradisi, adat-istiadat, cara hidup, maupun ruang hidup bersama yang bersumber dari sistem kepercayaan leluhur dan diwariskan turun temurun.

Hal ini menunjukkan Kementerian Agama telah berhasil menghadirkan dan menyibukkan negara untuk ikut terlalu dalam mengawasi serta mengatur ranah privat masyarakat. Agama kepercayaan dianggap seperti hantu yang akan mengganggu stabilitas negara jika tak dikontrol. Itu sebabnya kemudian negara sibuk mengurusi hal-hal yang seharusnya menjadi self-determination masyarakat adat dalam beragama sesuai ajaran leluhur mereka.

Akibat proses peminggiran agama dan kebudayaan leluhur itu dapat kita cermati bahwa tersingkirnya masyarakat tradisional itu tidak semata-mata merupakan soal hilangnya keaslian kebudayaan tradisional Tengger, tetapi merupakan soal hilangnya pribadi dan rasa percaya diri masyarakat adat.

Masihkah negara belum puas menyingkirkan dan mengalahkan Tengger. Sungguh kita hidup dalam rezim predatoris.

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Peneliti Central Study of Indigenous People (CSIP) Universitas Brawijaya Twitter : @Naaayay Facebook : Yayan Hidayat
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.