Sabtu, April 27, 2024

Wajah Tanah Mentawai yang Terampas

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat Peneliti di Central Information, Journal and Forum Development Universitas Brawijaya

Digariskan menjadi pihak yang kalah tak menyurutkan rasa cinta terhadap adat. Di tengah keterbatasan dan tekanan, banyak di antara mereka yang melawan. Di tangan mereka, wajah tanah yang terlupakan berubah menjadi tanah menjanjikan. Warisan berharga dari leluhur untuk generasi penerus Mentawai.

***

Mentawai tak lepas dari prahara keterasingan. Letak geografis yang sulit dijangkau menjadi dalih pembangunan tak merata. Mereka tak pernah menuntut negara, meskipun hutan mereka menjadi pondasi rumah-rumah di Jakarta.

Ragam potret eksploitasi terjadi, dari mulai penguasaan lahan sampai pada pemanfaatan hutan. Bahkan mereka hanya menguasai 15 persen tanah adat mereka sendiri. Sisanya? Negara kuasai bersama korporasi dengan dalih suaka alam, hutan lindung dan perkebunan sawit.

Akibat itu, perubahan demi perubahan akhirnya menggantikan wajah Mentawai yang kaya akan sumber daya alam. Hutan sebagai martabat adat mereka, telah menjadi komoditas bagi pasar negara. Mereka dipisahkan dari sumber daya yang di rawat turun-temurun, bahkan sejak negara ini belum ada. Hutan yang menjadi jantung kehidupan mereka kini telah semakin menyempit akibat berbagi dengan negara. Lantas apa yang mereka dapat dari berbagi itu? Bahkan saat ini Mentawai masih menjadi Kabupaten termiskin di Sumatera Barat.

Potret Perampasan di Mentawai
Pemerintah menyerahkan hampir seluruh kawasan hutan di wilayah Mentawai kepada badan hukum usaha dalam bentuk koperasi (IPK), PT HPH, dan PT perkebunan sejak tahun 1969, wilayah ini kemudian di eksploitasi sumber daya alamnya selama 40 tahun. Namun eksploitasi itu tidak menjadikan masyarakat sejahtera, bahkan mereka semakin diberi gelar sebagai masyarakat terasing dan termiskin. 82 persen wilayah daratan Mentawai merupakan kawasan hutan milik negara. Penguasaan atas tanah dan hutan kian menyebabkan masyarakat Mentawai terpisah dari uma dan tanahnya.

Bayangkan, selama 40 tahun mereka dimiskinkan oleh negara. Hasil eksploitasi sumber daya mereka menjadi alat untuk melunasi hutang-hutang negara. Apa yang Mentawai dapat? Tak lebih dari keterasingan dan ketertinggalan. Selama itu pula Mentawai dibatasi untuk melaksanakan kegiatan adat-istiadat mereka, wajar saja, 80 persen aktivitas adat Mentawai berada di hutan. Itu kenapa hutan menjadi peran kunci menjaga keberlangsungan adat-istiadat Mentawai yang telah ada sejak dulu. Namun negara datang dan menguasai semuanya.

Klaim atas tanah dan hutan di Mentawai telah meminggirkan orang Mentawai itu sendiri. Tidak memiliki tanah sama saja tidak memiliki sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lebih dari itu, tidak memiliki tanah secara langsung menunjukkan bahwa orang tersebut tidak memiliki uma (rumah). Padahal tanah bagi orang Mentawai memiliki arti sebagai identitas dan harga diri kelompok. Merampas tanah, sama saja seperti merampas martabat adat mereka.

Kondisi beberapa tahun terakhir, eksploitasi hutan di Mentawai berdampak pada deforestasi dan degradasi lingkungan, karena tidak ada upaya reforestasi yang memadai dari perusahaan HPH serta Pemerintah. Tak hanya perampasan dan kemiskinan yang dialami, ternyata mereka masih harus menghadapi bencana banjir dan tanah longsor akibat bekas-bekas galian tambang yang di tinggalkan perusahaan dan penebangan hutan menyebabkan munculnya beragam bencana alam. Sungguh Mentawai di siksa atas kehadiran negara yang semena-mena.

Sekalipun dihadapkan pada nasib yang suram, masyarakat adat Mentawai tak pernah ingin dianggap lemah dan tunduk pada situasi perampasan. Di bawah berbagai tekanan, mereka tetap berjuang hidup dan menjunjung tinggi martabat adat-istiadat. Mereka tak pernah mengeluh, beda dengan kota-kota menengah lainnya yang bergantung pada negara. Bahkan Mentawai rela mewakafkan tanah adatnya, demi menghidupi negara. Meskipun, seringkali dalam imajinasi mereka terlintas bahwa kelak mereka di berdayakan sama seperti Jakarta.

Tak menyerah
“Biar hidup begini, kami merasa aman di sini. Tak ada yang ribut-ribut. Ini yang leluhur ajarkan kepada kami, memohon pada alam dan mengambil dari alam secukupnya” Ucap Aman lauk-lauk, seorang sikerei, tokoh adat Mentawai. Ia pun menjelaskan perjuangan bertahan hidup orang Mentawai yang bergantung dengan tanah dan menghargai tanah, meski mereka hanya menikmati 15 persen dari tanah yang tersisa. Saya rasa gambaran ini pantas untuk memberikan penjelasan soal perjuangan hidup orang Mentawai.

Sejak setahun lalu Mentawai menghadapi proses yang panjang dan melelahkan untuk meminta Pemerintah menetapkan kawasan hutan adat mereka sendiri. Sekitar 389 hektar atau 15 persen hutan adat mereka yang tersisa kabarnya sampai sekarang belum di verifikasi dan disahkan oleh negara. Mereka terus berjuang, meski terkadang, mereka mempertanyakan sikap buas negara yang bahkan tak memberikan tempat untuk mereka menikmati hutan mereka sendiri. Bayangkan saja, syarat administratif menjadi dalih sulitnya mendaftarkan tanah.

“Pemerintah bilang tanah dan hutan untuk rakyat, tapi hingga kini tak ada realisasi. Masyaraka sudah penuhi semua persyaratan. Masyarakat adat itu tidak bisa hidup tanpa tanag dan hutan” ungkap sikerei sambil mengerutkan dahinya. Namun sikerei mengakui, bahwa ia tak akan menyerah memperjuangkan sisa tanah mereka demi kehormatan adat.

Untuk bertahan hidup, mereka bekerja sejak matahari terbit hingga larut malam. Dengan peralatan seadanya ditambah makanan yang terbatas dan jauh dari kata layak. “Sawah yang kami buat segera menghasilkan supaya kami bisa dapat bertahan hidup karena bantuan makanan tidak selamanya akan diberikan” begitu ungkap sikerei yang sedang menggambarkan cara bertahan hidup selama mereka memperjuangkan tanah dan hutan mereka yang di rampas.

Di bawah tekanan negara, Mentawai tetap hidup dengan harmonis. Antar suku masih sering melaksanakan upacara adat demi menghormati leluhur mereka. Meski kegiatan adat saat ini terbatas karena mereka dilarang masuk ke wilayah hutan mereka sendiri. Akibat tindak penguasaan, hewan perburuhan mereka semakin berkurang. Selain mereka juga harus selalu bersiap untuk menghadapi bencana alam karena hutan mereka terus-menerus di tebang.

Saat ini, perjuangan masih terus berlanjut. Mereka anggap perjuangan mempertahankan adat benar-benar harus mereka lakukan. Karena tanah dan hutan bukan hanya identitas kelompok mereka. Lebih dari itu, memperjuangkan tanah dan hutan bagi mereka adalah soal mengemban adat, menjaga martabat leluhur mereka. Namun negara tak pernah sadar akan hal ini.

***

Kehadiran negara menjadi tak berguna di Mentawai. Menciptakan prahara, tanpa memberi kebermanfaatan. Negara rampas tanah dan hutan, tanpa menghormati martabat adat Mentawai. Dengan gampang Mentawai dimiskinkan, bahkan diasingkan. Dalam hal lain, ia eksploitasi Mentawai demi membayar hutang-hutangnya yang menumpuk untuk pembangunan yang tak pernah menyentuh Mentawai. Benar-benar negara berdosa terhadap Mentawai.

Yayan Hidayat
Yayan Hidayat
Yayan Hidayat Peneliti di Central Information, Journal and Forum Development Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.