Sidang Paripurna DPR bersama Pemerintah akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD, dan DPRD. Revisi yang pada akhirnya menimbulkan perdebatan banyak kalangan karena isinya memadamkan cahaya demokrasi bahkan dianggap merusak sistem ketatanegaraan Indonesia.
Para anggota DPR yang duduk tenang di senayan sebagai cerminan suara rakyat ingin menunjukkan dua sisi wajah yang berbeda di dalam revisi UUD MD3. DPR ingin berlindung dibawah UUD MD3 agar bisa bertahan dan menyerang dengan sama baiknya, UUD MD3 bisa menjadi baju kebesaran dan kewibaan untuk menujukan citra DPR yang sesungguhnya sebagai wakil yang dipilih oleh langsung oleh rakyat sehingga menurut mereka pantas dipanggil anggota dewan yang terhormat.
Membaca revisi UU MD3 terutama pada pasal-pasal tertentu yang dianggap kontroversi oleh banyak kalangan, membuka mata kita bagaimana DPR ingin bertindak bak tirani dan menjadi lembaga yang super power. Kita harus bisa membaca dan memahami secara seksama bahwa banyak hal yang keliru dalam revisi UU MD3 yang barus disetujui.
Pasal 122 huruf K menyebutkan bahwa MKD dapat melaporkan orang, perseorangan, kelompok orang atau bdan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR ke Kepolisian. Jika kata merendahkankan juga diartikan bahwa DPR tidak bisa dikoreksi dan dikritik oleh siapapun, maka ini menjadi pertanda buruk bagi iklim demokrasi.
Yang dilaporkan ke Kepolisian tidak akan memandang siapa dan darimana karena masyarakat biasa yang punya legitimasi atas anggota dewan juga bisa dilaporkan jika dianggap merendahkan menurut mereka karena pasalnya bersifat subjektif. Padahal KUHP juga sudah memberikan jalan jika ada seseroang yang merendahkan orang lain dengan melakukan pengaduan ke Kepolisian meski pelaporan tersebut bukan atas nama jabatannya tapi atas nama pribadi atau individu.
Para anggota dewan kini seakan kebal dari kritik rakyat, dan sebaliknya rakyat sebagai “tuan” para anggota dewan harus hati-hati bahkan merasa takut untuk mengkritik para anggota dewan karena bisa saja dianggap merendahkan kehormatan dewan yang selanjutnya akan dilaporkan ke Kepolisian yang mungkin saja akan berakhir dibalik jeruji pesakitan. Kini rakyat seakan kehilangan legitimasinya terhadap para anggota DPR yang diharapkan menjadi representasi keinginan dan harapan rakyat dalam memperjuangkan dan mewujudkan keadilan.
Pasal 73 menyatakan bahwa DPR bisa melakukan pemanggilan paksa terhadap seseorang atau pejabat negara dan Kepolisian wajib memenuhi permintaan tersebut. Proses ini sebenarnya hanya bisa dilakukan jika ada due process of law dalam hal ini adalah proses penyidikan, dan dalam konteks ini DPR hanya bisa memanggil seseorang dalam hal penggunaan hak angket yang hanya terbatas pada melakukan penyelidikan, bukan penyidikan.
DPR seakan ingin memposisikan dirinya sebagai penegak hukum, dan hal ini sudah tidak sesuai dengan kewenangan DPR sesuai amanah UUD 1945. Tugas DPR harusnya berkonsentrasi pada proses pengawasan terhdap eksekutif dan membuat produk legislasi yang baik. Bukan membuat benteng kemudian menakuti dan menyerang masyarakat.
Dalam pasal tersebut juga disertakan bahwa Kepolisian bisa melakukan penyanderaan selama 30 hari kepada orang yang 3 kali tidak hadir dengan alasan yang tidak sah saat dipanggil oleh DPR. Sulit memang diterima oleh nalar umum ketika DPR ingin menempatkan dirinya seperti para penegak hukum. DPR terus menerus menambah kekuasaanya bahkan masuk kedalam ranah kewenangan lembaga lain dengan memasukkan klausul sebagaimana dalam pasal 73 hasil revisi.
Dalam pasal 245 DPR dan Pemerintah sepakat bawah pemeriksaan terhadap anggota DPR harus melalui pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu sebelum dilimpahkan kepada Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum. Padahal sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan klausul atas izin MKD, sehingga hanya cukup izin dari presiden. Meski DPR memperhalus frase izin yang sudah dibatalkan MK menjadi frase “pertimbangan”.
Rupanya DPR dalam revisi UU MD3 mengadopsi sebagian dari putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada September 2015. Ketika itu MK memutuskan uji materi atas UU MD3 yang juga mengatur permintaan persetujuan Presiden dan MKD dalam pemanggilan kasus tindak pidana.
MK dalam putusannya menegaskan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR untuk kepentingan penyidikan hanya perlu mendapatkan persetujan tertulis dari Presiden dan tidak perlu izin dari MKD. Selain itu, MK memutuskan izin dari presiden tak diperlukan bagi tindak pindana khusu seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.
Demokrasi dan kedaulatan rakyat harus dikembalikan kepada khittahnya. Tidak boleh ada lembaga yang sangat adikuasa, kuasa yang bisa membungkam suara rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Senayan harus benar-benar menjadi tempat bagi wakil-wakil rakyat yang bisa menyampaikan harapan para “tuan” nya yakni rakyat.
Kini semuanya sudah terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. DPR dan Pemerintah sudah sepakat mengesahkan revisi UU MD3. DPR dengan kewenangan barunya seakan memiliki wajah baru untuk ditampilkan kepada rakyat, wajah yang sebenarnya bukan membuat enak untuk dipandang justru wajah senayan terlihat begitu seram dan menakutkan.
Mencari cara agar pasal-pasal “sesat” dalam UU MD3 tidak berlaku merupakan kewajiban bagi kita semua. Meski berhembus kabar bahwa Presiden belum mau menandatangani hasil revisi UU MD3 karena melihat banyaknya kritikan dari masyarakat, tapi harus dipahami secara bersama bahwa UU yang sudah disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah tapi belum ditandatangani oleh Presiden maka akan berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari sejak disetujui bersama.
Pilihannya adalah Presiden mengeluarkan Perppu seperti saat zaman Pak SBY atau masyarakat mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi untuk membatalkan pasal-pasal yang dianggap inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945.
Bersama-sama kita harus mengembalikan citra DPR sebagai sebenar-benarnya rumah bagi suara rakyat. Rumah yang rakyat juga merasa memiliki sehingga ada rasa untuk sama-sama menjaga dan merawat senayan. Senayan jangan sampai menjadi seperti rumah yang menyeramkan, mengembalikan Senayan pada khittahnya.