Sabtu, April 20, 2024

Wajah Muram Representasi Perempuan dalam Politik: Realitas Indonesia dan Pembelajaran dari AS

Hilal Fathurrahman
Hilal Fathurrahman
Sekjen PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Perjalanan dunia ini bergerak tidak secara proporsional terhadap masalah perempuan pada semua unit peradaban umat manusia. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak mandiri jika disampingnya tidak ada laki-laki. Pandangan itu bahkan mendapat legitimasi dari aspek sosial budaya sampai agama.

Padahal untuk menuju negara demokrasi mapan menuntut banyak perubahan di dalam sistem pemerintahan. Sebab kenyataannya setelah sekian lama panggung politik yang banyak diisi oleh mayoritas laki-laki sampai hari ini cita-cita Indonesia untuk menjadi “adil dan makmur” belum sepenuhnya terwujud.

Apakah posisi perempuan sejajar dengan posisi kaum laki-laki dalam semua bidang kehidupan, termasuk dalam politik? Pertanyaan tersebut barangkali masih dianggap mengawang-ngawang oleh sejumlah masyarakat yang secara sosial terkung-kung dalam suasana patriarkis.

Dalam Mencari Autensitas dalam Kegalauan Buya Syafii Maarif menyatakan banyak penafsir yang merugikan perempuan tetap saja bertahan sampai sekarang karena memang pada umumnya juru tafsir itu adalah laki-laki.

Karena itu menurut Buya, bangsa yang maju dan beradab adalah bangsa yang mampu menghargai perempuannya sehingga apabila perempuan yang jumlahnya kadang-kadang melebihi laki-laki dibiarkan hanya tinggal di dapur berlawanan dengan nilai-nilai kemajuan.

Sudah saatnya perempuan mengisi ruang-ruang publik yang tersedia secara konstitusional untuk mengambil peran sekaligus menentukan kebijakan perjalanan bangsa Indonesia. Maka dari itu menarik untuk melihat sejauh mana peran perempuan dalam politik Indonesia?

Realitas Representasi Perempuan dalam Politik

Sekalipun telah ada affirmative action dalam undang-undang pemilu mengenai syarat 30% calon perempuan, rupanya hal tersebut belum berjalanan beriringan dengan keterpilihan perempuan di Senayan. Mari kita tengok representasi perempuan di DPR RI dari pemilu ke pemilu.

Pada pemilu 2009 perempuan terpilih sebanyak 100 orang yang berarti 17,8% lalu menurun pada pemilu 2014 dengan porsi keterpilihan sebanyak 97 orang yang berarti 17,3%.

Pada pemilu 2019 jumlah tersebut meningkat menjadi 118 orang yang berarti 20,5% dan menjadi babak baru sebab untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia terpilih seorang perempuan menjadi ketua DPR RI. Meski demikian hal tersebut masih jauh dari angan agar perempuan dapat lebih mewarnai kursi di DPR RI.

Di dalam rumpun eksekutif, jumlah keterwakilan lebih memprihatinkan karena misalnya pada pilkada serentak 2018 hanya ada 31 perempuan dari total 342 orang yang terpilih menjadi kepala dan wakil kepada daerah (9.06 persen).

Angka ini cenderung stagnan jika dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Di pilkada 2015, hanya ada 8.7 persen perempuan yang menang. Sementara di 2017, hanya 5.90 persen perempuan yang menang.

Data ini menegaskan ketimpangan partisipasi perempuan di Pilkada serentak yang digelar dalam tiga gelombang pada 105, 2017, dan 2018. Rekapitulasi hasil tiga gelombang itu hanya melahirkan 92 perempuan kepala dan wakil kepala daerah (8.49 persen). Mereka tersebar di 91 daerah (4 propinsi, 69 kabupaten, dan 18 kota) dari 542 daerah yang menggelar pilkada.

Pentingnya Representasi Perempuan dalam Politik

Ada sejumlah alasan mengapa keterwakilan perempuan sangat penting dalam kehidupan politik.

Pertama, gagasan politik hadir karena adanya kehadiran politik. Perempuan sudah bukan saatnya lagi menggantungkan harapan kebijakan ramah perempuan pada laki-laki karena representasi laki-laki tidak memiliki legitimasi moral untuk membuat kebijakan ramah perempuan. Hal tersebut terjadi karena pengalaman laki-laki dan perempuan dalam menjalani hidupnya berbeda.

Kedua, hampir 50 persen rakyat Indonesia adalah perempuan. Menurut data dari BPS, dari total 273 juta jiwa, penduduk laki-laki dan perempuan adalah: penduduk laki-laki sejumlah 138.303.472 jiwa atau 50,5 persen.

Sedangkan penduduk perempuan sejumlah 135.576.278 jiwa atau 49.5%. Karena itu jika merujuk pada keterpilihan di DPR RI dan pilkada jumlah tersebut masih sangat minim jika dibandingkan jumlah perempuan di Indonesia.

Ketiga, secara pragmatis harus mengambil suara pemilih perempuan. Pada pemilu tahun 2019, KPU merekapitulasi jumlah daftar pemilih tetap sebanyak 187.781.844 orang dengan rincian laki-laki sebanyak 92.802.671 sementara jumlah pemilih perempuan mencapai 92.929.442.

Dari angka ini kita dapat mengetahui bahwa ada kekuatan yang dimiliki oleh perempuan untuk menentukan representasinya karena separuh dari jumlah pemilih adalah perempuan.

Keempat, laki-laki dan perempuan memiliki cara pandang yang berbeda. Masalah dan struktur sosial budaya yang dihadapi di masyarakat antara laki-laki dan perempuan sama sekali berbeda.

Perempuan menghadapi lebih banyak stigma dan hambatan dariada laki-laki, otomatis karena hambatan yang mereka lalui berbeda menghasilkan pemahaman yang berbeda juga sehingga sangat penting adanya representasi perempuan.

Masyarakat Setuju Pemimpin Perempuan

Survei New Indonesia Research & Consulting melakukan survei pada 1-10 Februari 2022 terhadap 1200 orang mewakili seluruh Indonesia. Surveyor bertanya “Apakah anda setuju Indonesia dipimpin oleh presiden/wakil presiden perempuan, dengan latar belakang pengalaman memimpin pada jabatan politik yang penting?”

Dari pertanyaan tersebut diketahui bahwa 83,3% dari responden menyetujui jika Indonesia dipimpin oleh seorang perempuan dan hanya 13,8% saja yang menyatakan ketidaksetujuannya Adapun 2,8% menyatakan tidak tahu/tidak menjawab.

Demikian juga berdasarkan partai politik yang berfungsi untuk mengagregasi harapan dan keinginan masyarakat menyatakan tidak masalah dengan kepemimpinan perempuan.

Ketika komitmen itu ditanyakan kepada struktur dan simpatisan partai diketahui secara berturut-turut antara lain: 100% (PSI); 90.5% (PDIP); 88.9% (Nasdem); 83.3% (Golkar); 80.6 (Gerindra); 71.7 (Demokrat); 71.1 (PKB); 61.5% (Gelora); 54.4% (PKS); 53.3 (PAN); 50% (PPP); 35.3 (Ummat).

Berdasarkan temuan di atas nyaris semua partai politik berada dalam angka 50% lebih menyatakan tidak masalah dengan kepemimpinan perempuan kecuali Partai Ummat.

Pembelajaran dari AS

Pelantikan anggota Kongres Amerika Serikat hasil paruh waktu mencatat sejarah baru dalam politik Amerika karena banyaknya perempuan yang terpilih sebagai anggota Kongres. Setelah lebih dari satu abad politikus perempuan AS memasuki sejak tahun 1916, baru kali ini mereka menguasai 245 dari total 441 anggota Kongres.

Sebagai perbandingan, persentase perempuan hanya menempati angka di bawah 20% kursi Kongres pada sebelum tahun 2018. Keanggotaan di kursi Kongre dari Partai Demokrat dan Republik biasanya hanya berkisar di angka 70-80 kursi saja.

ada beberapa pembelajaran yang bisa kita catat dari keberhasilan perempuan dalam politik di AS.

Pertama, menurut Ratri Istania (2019) perempuan Indonesia dapat belajar bagaimana naluri politik perempuan AS teraktivasi untuk merespons diskriminasi di sekitar mereka dengan meggunakan wadah politik.

Kedua, perempuan Indonesia harus terlibat aktif dalam sistem perekrutan kandidat politik, pendanaan kampanye, sampai proses pemilihan. Peneliti perempuan dan politik asal AS, Richard Matland (2005) mengatakan penyebab rendahnya partisipasi politik perempuan adalah hambatan akses perempuan dalam proses politik misalnya mekanisme perekrutan kandidat.

Ketiga, peneliti politik dan perempuan asal AS, Jeniffer L. Lawless dan Richard Fox (2013) mengatakan bahwa salah satu pendorong perempuan berpolitik adalah dukungan keluarga dan orang tua, terutama ibu.

Hilal Fathurrahman
Hilal Fathurrahman
Sekjen PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.