Di Sumatera Barat belakangan hadir beberapa festival film. Ada Sumbar Film Festival (Surfival, 2016—2019), Festival Film Pelajar UKFF UNP (awalnya bernama Lomba Film Pelajar, 2016—2017), Andalas Film Festival (sebelumnya Andalas Film Exhibition, AFE—Affest, 2017—2018), dan Minang Film Festival (Miffest, 2017—2019). Tahun ini, satu lagi “festival film” lahir di Padang, bernama Pixel 4.0.
Agak berbeda dengan festival lain yang fokus pada film saja, Pixel 4.0 merangkap foto dan film. Ada program kompetisi, pameran, dan lokakarya fotografi, sedangkan untuk “festival film”nya diadakan pada 14—15 Oktober 2019 di Universitas Andalas, Padang, dengan agenda Kompetisi Film Pendek, Bioskop Kampus, Diskusi Panel, dan Pixel Award. Untuk itu saya sebut juga Pixel 4.0 sebagai festival film.
Ragu-ragu Memicu Ruang Publik
Kultur menonton kita didominasi oleh tayangan televisi atau bioskop besar. Bagi yang sudah muak dengan tontonan di televisi atau susahnya akses ke bioskop besar—di Sumbar hanya ada di Padang—beralih kepada layangan streaming berbayar atau gratis di internet. Sementara itu, berjalan pula peralihan kebiasaan dari layar besar ke layar telepon genggam.
Satu hal yang pasti dari kultur menonton seperti itu adalah tidak adanya ruang dialektis sesudah menonton (disamping media sosial sebagai ruang alternatifnya). Itu menyebabkan pengetahuan dan pembahasan tentang film berjalan di tempat, karena keabsenan sebuah kesempatan untuk mengevaluasi atau sekadar membicarakan isu relevan akan sebuah film yang ditonton.
Ruang berbagi sesudah menonton film merupakan salah satu hal yang difasilitasi oleh umumnya festival film. Cindy Hing-Yuk Wong menjelaskan bahwa festival film cenderung menjadi ruang publik, mengikuti konsep ruang publik oleh Habermas sebagai suatu forum perdebatan rasional mengenai persoalan-persoalan masyarakat (83).
Ruang publik dalam festival film menyediakan wadah bagi partisipan untuk mengungkapkan impresi atas tontonan, baik itu terkait dengan pengalaman mereka atau yang relevan dengan kondisi publik. Tidak jarang ruang ini memancing perdebatan rasional antar partisipan dengan partisipan atau dengan penyaji. Ditambah berlanjutnya perdebatan-perdebatan itu ke media massa atau daring.
Ruang semacam itu juga menjadikan festival film sebagai ruang produksi pengetahuan sinema. Di mana sebuah film dengan isu yang diangkatnya ditanggapi oleh spektator, dievaluasi, dikritisi, disepakati, dan disebarkan. Perlu digarisbawahi, itu jika penyelenggara tidak lupa untuk menyediakan diskusi dalam program pemutarannya. Pada beberapa festival film di Sumbar sering melupakan kesempatan ini.
Miffest 2018, Surfival 2019, dan Pixel 4.0 memang menyediakan program diskusi tematik dengan mengundang pembicara profesional, praktisi, atau perwakilan komunitas perfilman, namun, pemicunya bukanlah objek yang sedang dirayakan dan dipresentasikan, yaitu film yang disuguhkan.
Alih-alih memposisikan atau memperjuangkan film-film yang dikompetisikan dalam acara tersebut untuk memicu ruang publik tadi, malah menutup kemungkinan ruang itu dengan meniadakan diskusi setelah penayangan, khususnya oleh Surfival dan Pixel 4.0, sebab Miffest 2018 tidak memutarkan film pelajar yang dikompetisikan.
Mengabaikan Peran Tukang Program
Seperti yang diungkap Adrian Jonathan di Cinemapoetica.com, “[Penggiat film] (b)anyak terjun tanpa melakukan pembacaan terlebih dahulu akan publik yang mereka hadapi.”, begitu juga dengan festival film. Semestinya penyelenggara festival film perlu menimbang target audiens, agar dapat menyesuaikan program dan pengalaman yang akan ditawarkan, dan di sini lah salah satu tugas tukang program dan kurator.
Mengambil sedikit dari keterangan panjang atas kuratorial oleh Peter Bosma, ia mendefinisikan kurator atau programmer dalam festival film sebagai seseorang yang menyiapkan film-film yang akan diputar dan diharapkan mampu menarik kalangan penonton tertentu untuk menghadiri dan menikmati pemutarannya (7). Setelah pemutaran pun kurator memoderatori pembicaraan yang relevan dan memicu keterlibatan spektator (ibid).
Misalkan, sebuah festival film diadakan oleh mahasiswa di kampus, target penontonnya adalah mahasiswa sekitar. Program tayangan dan pengalaman yang disuguhkan setidaknya memantik diskusi ilmiah, apalagi terkait situasi krisis yang terjadi di Indonesia hari ini, ditambah bahwa di kampus, terbuka peluang untuk dialog lintas disiplin.
Itu jika kawan-kawan mengafirmasi citra kampus sebagai ruang eksperimentasi gagasan. Jika tidak, maka akan seperti Pixel 4.0 yang tidak memantik pembahasan sedikit pun. Bahkan menghilangkan kesempatan untuk membahas tayangan pada Bioskop Kampus yang diselenggarakan pada 14—15 Oktober 2019 di Universitas Andalas lalu.
Nyatanya, sebagian besar festival film di Sumbar tidak memperhitungkan peran kurator, dari tiadanya ruang diskusi setelah menonton.
Meskipun Begitu, Tetap Semangat!
Sesungguhnya dalam konteks ekosistem film di Sumbar, dengan kondisi bahwa hanya satu universitas yang mempunyai jurusan TV dan film, minimnya ruang pemutaran dan diskusi baik berbayar atau non-komersil, minimnya penulis film, dan jumlah produksi film secara independen atau oleh pelajar yang semakin meningkat, menjadikan festival film mempunyai posisi penting.
Ada Festival Film Pelajar UKFF UNP, Surfival, dan Miffest yang memberi peluang bagi pelajar Sumbar untuk menyatakan ekspresinya lewat medium film, serta program edukasi sinema kepada mereka. Tahun ini, Miffest tidak hanya menerima film dari pelajar Sumbar, tetapi dari seluruh wilayah Indonesia. Surfival yang “dipunyai” oleh Dinas Pariwisata, setidaknya dapat memicu sineas untuk memperhatikan hal-hal di sekitarnya yang barangkali berkaitan dengan pariwisata.
Hal itu memperlihatkan bahwa festival film memantik sineas untuk peka terhadap sekitar, mengedukasi dan mengapresiasi kerja kesenian kawan-kawan pelajar. Selain itu, Affest memberi peluang untuk mengembangkan kerja-kerja yang masih dianggap kurang penting atau sangat sedikit peminatnya di perfilman; pemrograman dan kuratorial.
Kendati kondisi festival film di Sumbar belum maksimal, kenyataan yang lebih pahit adalah semakin kemari beberapa festival film mulai sirna. Tahun ini hanya ada Surfival dan Pixel 4.0 di Padang, dan Minang Film Festival di Padang Panjang, sedangkan Festival Film Pelajar UKFF dan Affest tidak ada kabar atau mungkin tidak ada lagi. Pun kabarnya, Surfival tidak ada lagi tahun depan.
Memang sulit, tidak ada yang mengatakan menyelenggarakan sebuah festival sangat mudah. Tetapi, jika benar-benar berangkat dari kesadaran atas posisi festival film di Sumbar, tentu kesulitan-kesulitan itu tidak akan membuat lupa semangat yang dibawa. Dengan kultur menonton dan ekosistem film Sumbar hari ini, festival film patut diperjuangkan dan diperhitungkan lebih matang, disamping turut mendukung elemen-elemen lain yang masih minim perhatian.
Daftar Pustaka:
Wong, Cindy Hing-Yuk. “Public and counterpublics: rethinking film festivals as public spheres.” Film Festival: History, Theory, Method, Practice, diedit oleh Marijke de Valck, Brendan Kredell, dan Skadi Loist, Routledge, 2016.
Bosma, Peter. Film Programming: Curating for Cinemas, Festivals, Archives. Columbia University Press, 2015.