Rabu, April 24, 2024

Wajah Bandung dan Orang-Orang Kota yang Kesepian

Rizal B. Rahman
Rizal B. Rahman
Penikmat Teh dan Peminat Kajian Kebudayaan. Saat ini bekerja di Arsip Nasional RI.

Barangkali Sangkuriang tidak akan menyangka, jika danau yang sepatutnya jadi tempat berlayar perahu buatannya waktu itu akan berhenti membendung aliran air dan kemudian nyatanya hari ini danau itu mengering.

Bahkan, tepat di atas kerak bekas danau itu pulalah, rumah saya berada. Pun ketika saya dilahirkan, dibesarkan, dan disekolahkan juga masih di atas tanah yang sama, yang kini bernama Bandung.

Bedanya, tanah-tanah itu sekarang telah sesak dengan beton jalanan, gedung bertingkat, perumahan, pasar, tempat ibadah, dan jutaan manusia yang akhirnya menciptakan kebisingan tersendiri. Dari realitas tersebut, saya perlu berpikir ulang: mengapa keberadaan saya perlu dirayakan?

Kesadaran eksistensial semacam itu agaknya tidak hanya muncul dari alam pikiran saya sendiri, tapi juga bisa hadir di dalam benak orang-orang yang tinggal di kota—apalagi mereka yang sejak lahir sampai besarnya tidak pernah beranjak ke lain tempat.

Pada satu waktu suara kesadaran itu terdengar sumbang dan pada saat yang lain terdengar jelas dan nyaring. Hiruk-pikuk perkotaan berhasil menyulap manusia-manusia yang ada di dalamnya untuk lebih sibuk pada rutinitas yang melelahkan daripada meluangkan kesempatan untuk merenungi diri mereka sendiri.

Di kota, waktu lebih sering diukur dengan jarum jam tangan, daftar jadwal, target yang begitu banyak, resolusi, dan banyak lagi gincu yang menyamarkan kegundahan di dalam isi kepala warganya. Dampaknya, tak jarang melahirkan frustasi yang berkepanjangan. Sedihnya lagi, hal itu menyisakan penyakit kejiwaan yang tersembunyi.

Satu dasawarsa terakhir ini, warga Bandung telah dan sedang menghadapi situasi seperti demikian. Meskipun, saya perlu tekankan di sini bahwa saya tidak bermaksud melakukan generalisasi jika semua warga Bandung berubah menjadi sangat sibuk dan memiliki ritme hidup yang sama.

Saya bermaksud membangun satu argumentasi dari suatu realitas sosial yang saya potret belakangan ini; terlihat fenomena menarik dari kebiasaan-kebiasaan baru warga Bandung di tengah-tengah laju pembangunan perkotaan yang semakin canggih dan cepat, bahkan tak jarang saling kejar dengan metropolitan besar lain seperti Jakarta atau Surabaya.

Kebiasaan baru tersebut senapas pula dengan perkembangan teknologi informasi yang ‘memaksa’ hampir semua orang menjadi warganet, lalu lebih sering berinteraksi dengan gawai mereka.

Bandung seakan-akan tak bisa menolak untuk menyediakan ruang bagi pembangunan alih-alih sebagai penampungan residu kesibukan dari kota besar lain. Wahana pekerjaan baru bertumbuh. Penduduk dari daerah lain mulai berdatangan, untuk sekadar bekerja atau sampai menjadi penduduk tetap. Efeknya, permintaan terhadap hunian baru makin besar. Perumahan baru dibangun. Apartemen semakin menjulang tinggi.

Rumah sewa atau kontrakan juga sepertinya bertambah. Semua orang datang ke kota dengan hajatnya masing-masing dan semakin kompleks untuk terurai ketika hajat personal itu bertemu dengan ekspansi kapital atas nama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Kemacetan menjadi menu makan sehari-hari, bahkan pada beberapa geguyon warganya, Bandung telah bersiap menjadi Jakarta yang lain.

Keberadaan Diri dan Kesepian Warga Kota: Perlu Dimaknai?

Seperti diungkapkan Lengauer (2018) Bandung telah lebih dulu terkenal memiliki kapital sosial berupa banyaknya komunitas yang beragam, kebanyakan diisi oleh anak-anak muda. Tambahnya lagi, Bandung juga memiliki potensi besar sebagai creative hub untuk melahirkan ragam inovasi dan ekonomi kreatif. Namun, yang perlu dicermati dari pendapat tersebut, siapakah yang kemudian mengisi kanal itu?

Jawaban yang paling mudah adalah kalangan warga kota kelas menengah. Banyak pemerhati menyebut kalangan ini banyak bertumbuh di kawasan urban seperti Kota Bandung dan diperkirakan paling aktif menggunakan media sosial dan internet (Barendregt dalam Lengauer, 2018).

Kalangan ini pula yang menikmati pertumbuhan ekonomi sehingga akses mereka terhadap kebutuhan hidupnya tampak begitu mudah didapatkan. Mereka pula yang mendominasi denyut nadi aktivitas perkotaan dan seperti yang saya ulas di muka tulisan, mereka pula yang acapkali alpa untuk merenungi keberadaan diri mereka di kota ini.

Ketika kesibukan dan rutinitas membelenggu keseharian, tentunya seseorang akan mencari celah untuk merehatkan dirinya barang sebentar. Lebih baik lagi jika masa relaksasi itu diisi dengan mengajukan gugatan dan pertanyaan tentang kehidupannya sendiri. Di kota ini, kita bisa melihat salah satu akibat dari kemungkinan itu adalah bertumbuhnya majelis-majelis ilmu agama.

Kemunculan Pemuda Hijrah belakangan ini bisa jadi fenomena yang tak biasa. Penceramah muda dengan perbawa yang gaul sekaligus nyantri jadi ikon tersendiri dan mampu menyerap banyak pengikut baru yang didominasi anak-anak muda dengan latar belakang sosial dan pengalaman personal yang berbeda-beda. Saya ingat betul, gejala seperti ini sangat langka ditemukan di Bandung sepuluh tahun terakhir ini, selain yang menjadi arus utama berita itu hanya urusan geng motor, tumpukan sampah, atau bahkan skandal video pornografi pelajar.

Pada saat yang bersamaan, di ruang yang jarang terlihat khalayak, tidak semua warga kota terutama kelas menengah ini mencari tempat ibadah untuk menghibur dirinya. Ada mereka yang diam-diam larut dengan sajian disc-jokey kekinian yang beraksi setiap malam di beberapa bar terkenal di pusat kota, sambil bertemu dengan teman-teman sepermainannya lalu sehabis itu mengunggah foto terbaiknya ke Instagram.

Ada pula yang mengasingkan diri dengan menyaksikan segala hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan kearifan lokal, sebut saja misalnya Celah Celah Langit di daerah Ledeng yang diampu Iman Soleh, salah seorang seniman kota, dan Saung Angklung Mang Udjo di Padasuka. Selain tentu saja, banyak alternatif ‘hiburan’ lainnya yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu di dalam tulisan ini.

Agaknya saya dan juga warga kota lain perlu untuk memperhitungkan gejala seperti di atas, baik sebagai subjek pelaku atau hanya sebagai pemerhati, agar setiap kita tidak terjebak dan hanya sampai pada pemenuhan kebutuhan yang relatif berubah-ubah dan menunduk pada tren dan selera kebanyakan.

Hal itu akan lebih baik jika didasari oleh kesadaran yang utuh atas rasa kewargaan kita sendiri, yang tidak hanya peduli pada perkembangan kota yang tercinta tetapi juga pada kemungkinan lahirnya interaksi yang menggairahkan di antara sesama warga kota, agar sepi itu hilang.

Satu yang bisa dipahami untuk segera menyudahi tulisan ini: di tengah-tengah berubahnya wajah kota Bandung, dengan begitu hati-hati kita perlu bertanya, “Setelah semua (perayaan eksistensial yang kita bincangkan) ini, lalu apa?”.

Referensi Bacaan

Lengauer, Dayana. (2018). Sharing semangat taqwa: social media and digital   Islamic socialities in Bandung. Dalam Jurnal Indonesia and the Malay World Vol.46, No. 134, Hlm. 5-23.

Hardiman, F. Budi. dkk. (2010). Ruang Publik – Melacak “Partisipasi     Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Tulisan Mudji Sutrisno berjudul “Krisis Ruang Publik Kultural”, hlm. 281-293.

Rizal B. Rahman
Rizal B. Rahman
Penikmat Teh dan Peminat Kajian Kebudayaan. Saat ini bekerja di Arsip Nasional RI.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.