Beberapa desain pengembangan ekonomi atau visi masa depan negara Timur Tengah telah dideklarasikan, misal Oman Vision 2040, UAE Vision 2021, Bahrain Economic Vision 2030, dan Saudi Vison 2030. Meskipun berbeda latar dan cakupannya, benang merah pengembangan masing-masing wilayah atau koridor ekonomi tersebut adalah untuk mengembangkan area ekonomi baru. Menariknya, Israel seperti menggoda dan membayangi beragam visi masa depan negara-negara Arab tersebut dengan konsep pengembangan transportasi darat dan laut mereka, disamping tawaran kemajuan teknologi dan sains.
Berbagai visi futuristik negara Timur Tengah tersebut banyak berbicara tentang perlunya pembangunan insfrastruktur secara masif dengan ikon pembangunan masing-masing. Salah satu yang paling mencolok adalah pengembangan kawasan Neom City senilai 500 Miliar USD oleh Saudi Arabia di Propinsi Tabuk. Kawasan ini berbatasan langsung dengan Sharm El Sheikh di Selat Tiran yang menghubungkan Mesir, Arab Saudi, dan Israel.
Neom City tengah dibangun secara besar-besaran dan digambarkan pada tahun 2025 akan menjadi kawasan hijau dengan keunggulan teknologi dan lingkungan, serta dukungan yurisprudensi fleksibel.
Lebih dari itu, Saudi, UEA, Bahrain, dan Oman juga menekankan pentingnya keterhubungan transportasi dalam pengembangan kawasan-kawasan ekonomi sebagaimana tertuang dalam masing-masing visi masa depan mereka. Hal ini seperti menghembuskan satu hal, bahwa jauh sebelum ditandatanganinya kesepakatan damai dengan Israel pada 2020, negara-negara Arab tersebut telah “menyiapkan” cetak biru konsep kolaborasi ekonomi, dengan Israel sebagai mitra penting didalamnya.
Godaan Israel
Visi masa depan berbagai negara Arab tersebut terlihat menjadi ajang berbalas pantun dengan konsep pengembangan serupa oleh Israel. Yesrael Katz, Menteri Intelijen dan Transportasi Israel, menyatakan kepada harian Haaretz pada 2017 bahwa Israel berkeinginan untuk mengajukan proposal jalur kereta yang menghubungkan Israel dan Saudi Arabia.
Jika ditarik garis lurus, jalur kereta yang digagas Israel tersebut seperti ingin membangkitkan jalur kereta yang pernah dibangun Dinasti Usmaniyah pada 1908. Israel menjadi bagian dari jalur kereta yang dulunya membentang 1.300 km dari Damaskus hingga Madinah itu, dengan ketersambungan Pelabuhan Haifa yang menghadap langsung ke laut Mediterania melalui jalur Lembah Jazreel di Jordania.
Niat Israel jelas sangat ambisius. Banyak pihak bahkan menuding hal tersebut sebagai bagian dari berita besar yang sengaja dihembuskan pihak Benyamin Netanyahu atas dugaan korupsi dalam pemerintahannya. Yesrael Katz adalah orang kepercayaan Netanyahu.
Namun, dengan ditandatanganinya perjanjian damai antara Israel dan negara-negara Arab kini, mimpi Katz terasa tidak terlalu jauh dan imaji berbalas pantun tersebut cenderung bisa berkembang menjadi senyatanya pembicaraan kerja sama antarnegara.
Kecenderungan ini menegaskan empat hal mendasar. Pertama, runtuhnya Pan-Arabisme. Pan-Arabisme adalah gerakan untuk “penyatuan” bangsa-bangsa Arab, dari Samudra Atlantik sampai ke Laut Arab. Pan-Arabisme terhubung erat dengan budaya nasionalisme yang menegaskan bahwa bangsa Arab merupakan satu kesatuan dalam sebuah paham kebangsaan. Dalam konteks konflik Palestina-Israel sebagai perwujudan permusuhan Arab-Yahudi, Pan-Arabisme telah runtuh begitu kesepakatan damai dengan Israel ditandatangani Mesir (1979) dan Jordania (1994). “Abraham Accord” yang ditandangani pada September 2020 memastikan keruntuhan tersebut menjadi lebih nyata dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko sebagai pelakunya
Kedua, motif kerja sama ekonomi dan teknologi. Saat ini, Israel adalah negara di Timur Tengah dengan segala keunggulannya di bidang sains, teknologi, militer, dan pendidikan. Dengan dukungan penuh Amerika Serikat, Israel mengembangkan kemampuan di berbagai bidang tersebut pada saat negara-negara Timur Tengah berkutat dengan konflik internal, friksi antarnegara tetangga, dan berbagai perang berkepanjangan.
Jelas, kontradiksi demikian menjadikan negara-negara Arab tertinggal dibanding Israel. Hal demikian juga membuat mereka mau tak mau menimbang ulang derajat hubungan diplomasi, ekonomi, dan teknologi dengan Israel. Direncanakan, Gulf Information and Security Expo and Conference (GISEC), sebuah even expo keamanan siber negara-negara Teluk akan digelar di Doha pada Mei 2021. Even ini menandai keikutsertaan perusahaan-perusahaan sekuriti siber Israel untuk pertama kalinya memasarkan diri ke publik secara terbuka.
Sebelumnya langkah serupa mereka tempuh lewat pihak ketiga. Pada bidang lainnya, kemampuan rekayasa teknologi Israel juga menjadi pertimbangan pilihan damai negara-negara Timur Tengah. Kemampuan teknologi rekayasa merubah udara menjadi air milik Israel, misalnya, jelas menggoda negara-negara Arab yang diperkirakan menghadapi krisis air bersih tidak lama lagi.Ketiga, upaya menghadang kekuatan Iran.
Israel tentu berkepentingan membendung pengaruh Iran yang telah menyebar ke Irak, Suriah, Yaman, dan Lebanon. Hubungan kerja sama dengan berbagai negara Arab tentu akan dimanfaatkan Israel untuk memberi tekanan dan melokalisir pengaruh Iran sedemikian rupa.
Keempat, motif pengembangan ekonomi kawasan. Israel berambisi menjadi pusat kelautan di Timur Tengah. Dalam konteks ini, konsep Red Sea – Mediterranian High-Speed Railway pada tahun 2012 sangat relevan diingat. Dalam rancangan ini, Israel berniat menahbiskan diri sebagai penghubung utama kepentingan perdagangan dan hub pipa minyak dari laut Mediterania dan Laut Merah ke wilayah Eropa dan sekitarny.
Hubungan harmonis Israel dengan beberapa negara Arab juga memungkinkan mereka menjadi hub antarpipa minyak dari negara-negara Teluk dan Saudi Arabia ke Eropa. Israel memiliki peluang ini lewat Europe Asia Pipeline Company Ltd (EACP) yang membentang dari Eliat hingga Ashkalon.
Niat Israel untuk menjadi pemain penting dalam hub darat dan laut tersebut secara internal didukung oleh lokasi geografis Israel yang unik, konteks politik dan tatanan sosial yang relatif stabil, dan dukungan sains dan teknologi yang demikian maju.Namun demikian, langkah ambisius Israel akan menghadapi jalan terjal dan keras dari beberapa negara sekitar yang tidak sejalan.
Suriah, Yaman, Lebanon, Iran, dan Libya memperlihatkan sikap yang sama sekali berlawanan dengan Israel hingga saat ini dan entah sampai kapan. Sikap berlawanan ini masih mewujud pada beragam langkah mengangkat senjata yang tak kunjung padam.Di sisi lain, berbagai kecenderungan faktor di atas menunjukkan tiadanya kejelasan nasib dan peran bangsa Palestina di dalamnya.
Padahal, Palestina berada di garis terdepan dalam konteks hubungan bangsa Arab dan Israel. Nyatanya, banyak negara Arab sepenuhnya memalingkan muka terhadap nasib yang dialami warga Pelestina dengan lebih menekankan pentingnya urusan ekonomi. Pada titik ini, damai yang sesungguhnya bagi bangsa Palestina menjadi urusan belakangan. Akhirnya, beragam bentuk visi ekonomi masa depan negara negara Arab dan Israel perlu menimbang ulang faktor keamanan dan perdamaian secara lebih komprehensif.