Pasca Dirgahayu Republik Indonesia, dari demo Pati 10 Agustus 2025 hingga rentetan aksi 25-29 Agustus, seolah kurang menginspirasi pejabat publik untuk melakukan pertobatan atas kegaduhan yang tercipta akibat kebijakannya. Masalah ini belum termasuk dengan sikap pejabat publik yang kurang berempati terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat.
Misalnya, konten Eko Patrio, politisi Nasional Demokrat (Nasdem), yang membuat konten video parodi dengan caption “Biar jogednya lebih keren pakai sound ini aja”, yang menurut laporan Kompas.com pada artikel “Eko Patrio Klarifikasi Video Parodi DJ Sound Horeg: Saya Pribadi Minta Maaf…”, disinyalir menyinggung soal protes kebijakan gaji anggota DPR. Bandingkan dengan Menteri Pertanian Jepang, Taku Eto, yang mengundurkan diri setelah mendapatkan reaksi keras dan penilaian “tidak pantas” dari masyarakat akibat pengakuannya tentang dirinya yang tidak membeli bahan makanan pokok karena menerima banyak beras dari pendukungnya di tengah kondisi kenaikan harga beras di Jepang.
Bila segalanya harus viral agar menumbuhkan rasa empati, untuk apa hukum dibentuk hingga semua pelajaran etika dan moral dilaksanakan. Apakah, rumus no viral no justice memang benar adanya? Padahal, viralitas tidak bisa menggantikan legitimasi hukum dalam memberikan keadilan, tetapi justru diskursus viralitas sebagai keadilan alternatif menggantikan hukum. Hal berpotensi melemahkan legitimasi hukum, bahkan negara sebagai tempat menuntut keadilan.
Viralitas dan Pandora Kejahatan
Dalam mitologi Yunani, kotak Pandora merupakan kisah tentang manusia pertama, Pandora, yang membuka guci (bukan kotak) yang berisi segala macam kejahatan, penderitaan, dan bencana dunia. Seiring berjalannya waktu, kotak Pandora menjadi idiom yang berarti “sumber masalah”. Sedangkan, “viral” diartikan persebaran masif dan cepat, seperti halnya virus. Umumnya, viralitas dipakai dalam strategi pemasaran berbasis digital. Akpinar dan Berger (2017) dalam risetnya “Valuable Virality” menemukan bahwa dibandingkan dengan daya tarik informatif (yang berfokus pada fitur produk), daya tarik emosional (yang menggunakan drama, suasana hati, musik, dan strategi pembangkit emosi lainnya) lebih mungkin dibagikan, sehingga membuka potensi produk untuk lebih dikenal dengan cara yang kreatif dan menyenangkan.
Apabila ditautkan, viralitas Pandora bisa diartikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh viral. Tentunya, syaratnya adalah terekspos. Meskipun begitu, ia kerap bergema sebagai suara bagi pemburu keadilan yang tersisihkan, sekaligus penuntut efektif dari apa yang selama ini sulit terselesaikan, hukum misalnya. Di sisi lain, viralitas menjadi bunuh diri (karakter) bagi siapapun, sekaligus berkah bagi warganet karena bisa memperbaharui informasinya mengenai suatu topik yang tengah diperbincangkan.
Tapi, bagi hukum, viral adalah bukti buruknya penegakan hukum. Rustamaji, dkk., (2025) dalam penelitiannya berjudul “The Reduction of Criminal Justice Policy in Indonesia: Justice versus Virality” menemukan bahwa: 1) Viralitas telah menggeser orientasi penegakan hukum di Indonesia, misalnya kasus viral pada Ferdy Sambo dan Mario Dandy, yang diproses lebih cepat karena tekanan publik, alih-alih urgensi hukum; 2) Adanya penurunan signifikan terhadap prinsip-prinsip legalitas, kesetaraan, dan proses hukum yang semestinya. Hal ini diperparah dengan peran legislasi ad hoc dan intervensi eksekutif yang reaktif; dan, 3) Meskipun, publik digital dapat mendorong akuntabilitas, Indonesia masih membutuhkan strategi kelembagaan untuk menyeimbangkan tekanan-tekanan ini tanpa mengorbankan integritas hukum.
Riset tersebut seolah menegaskan bahwa no viral no justice benar adanya. Masalah ini pula lah yang akhirnya memaksa Eko Patrio, Uya Kuya, hingga Ketua DPR RI, Puan Maharani, meminta maaf kepada rakyat Indonesia, terlebih pasca viralitas konten joget-joget dan bernyanyi lagu Imagine karya John Lennon di Sidang Tahunan MPR RI 2025. Begitu juga dengan Sadewo, yang akhirnya meminta maaf atas kebijakan PBB-P2 250% (juga karena tekanan politik internal dan demo besar-besaran warga Pati), sebagaimana dilaporkan oleh Kompas.com pada 7 Agustus 2025.
Hal yang perlu disadari hari ini, untuk warganet dan terutama pejabat tinggi di Indonesia, bahwa sorot mata media dan masyarakat akan selalu terbuka dan terbaharui secepat kilat, sebagai dampak dari disrupsi teknologi. Oleh karena itu, saran terbaik bagi siapapun adalah jangan membuka sembarangan kotak Pandora viralitas, terkecuali dia yang membuka memiliki kemurnian hati, tanpa atau minim kecacatan. Atau, sedari awal menyembunyikan identitas akunnya.
Mantra Pertobatan
Ucapan dan tindakan pejabat publik Indonesia beberapa waktu ini memang kerap menimbulkan kontroversi. Terbaru adalah ketika mantan Wakil Ketua Komisi III DPR dan anggota DPR Fraksi Partai Nasdem, Ahmad Sahroni, melontarkan kata “orang paling tolol sedunia” kepada para pengkritik yang berharap DPR dibubarkan. Kompas.com dalam artikelnya “Profil Ahmad Sahroni, dari Pernyataan ‘Tolol’ Kini Dicopot dari Komisi III DPR”, mengutip pertanyaan Sahroni, menyebut: “Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia. Kenapa? Kita nih memang orang semua pintar semua? Enggak bodoh semua kita,” ujarnya ketika kunjungan kerja di Polda Sumut, Jumat, 22 Agustus 2025.
Guna menyelesaikan masalah-masalah semacam ini, hal paling terdekat adalah permohonan maaf dan pengakuan rasa malu atas tindakannya. Mantra ini memang sulit karena berhubungan dengan “harga diri”, namun bagi pejabat publik ini adalah kemewahan dan kesempatan memperbaiki (citra) diri. Terlepas derajat ketulusannya, dengan hanya mengucap “saya meminta maaf dan malu”, setidaknya sudah menyejukan hati rakyat.
Sayang, rakyat Indonesia sudah jengah dengan penyelesaian masalah berbasis viral dan klarifikasi minta maaf di atas perjanjian bermaterai 10.000. Wajib evaluasi moral dan etis besar-besaran di institusi negara, semisal DPR. Selain itu, diperlukan pelatihan komunikasi publik kepada para pemangku jabatan di institusi kenegaraan. Dan, demi menjaga marwah, para terduga pelanggaran etik hingga hukum harus dievaluasi dan dipecat tanpa melepaskan pertanggungjawabannya hingga tuntas. Hal terpenting, terutama bagi pejabat, berpikir sebelum berbicara rasanya sangat relevan untuk digunakan saat ini.
Rakyat tidak ingin viralitas menjadi instrumen mencari keadilan. Indonesia wajib mewujudkan “Negara Hukum” sebagai disebutkan dalam Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945. Jangan sampai muncul pertanyaan, “kalau tidak viral, memangnya akan dikerjakan?” Berarti, negara masih belum mampu mewujudkannya. Tunjukan sebuah langkah konkret penegakan etika dan hukum, dan pulihkan kepercayaan publik atas legitimasi dari politik dan hukum Indonesia. Viralitas tidak akan menggantikan wibawa hukum, selama negara serius mewujudkan keadilan lewat ketegasannya dalam menegakan etika dan hukum. Viralitas bukan semestinya menjadi instrumen mengais keadilan.