Minggu, November 10, 2024

UU MD3 dan Tantangan Demokrasi

Aladip
Aladip
Pendidikan Formal Terakhir Sementara : Alumnus S1 Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Brawijaya Pendidikan Non-formal terakhir : PPTQ Raudhatushsholihin, Wepas, Klojen, Malang
- Advertisement -

“Dengan demikian, masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana membatasi para pemegang kekuasaan, baik waktu maupun wewenangnya. Tanpa ada kepastian dalam hal itu, maka demokrasi tidak akan pernah berdiri dalam negara yang bersangkutan. Demokrasi bukanlah sekedar aturan permainan kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, melainkan menciptakan tradisi demokrasi yang benar-benar hidup di kalangan rakyat”

(Abdurrahman Wahid, 2006)

Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2104 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau yang dikenal dengan UU MD3. Ada beberapa pasal yang menjadi kontroversi dalam revisi UU tersebut, salah satunya adalah pasal 122 huruf K yang berbunyi, ”Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR”.

Pasal itu adalah upaya untuk membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR. Seakan DPR adalah lembaga yang otoriter, antikritik, dan mengancam kebebasan suara rakyat. Tidak akan ada lagi kritik terhadap kinerja anggota DPR yang buruk.

Tidak ada lagi baik itu twitter, meme, maupun kutipan di media sosial manapun yang mengkritik DPR. Jika individu atau pun atas nama komunitas apapun melakukan hal tersebut, mereka dapat terancam hukuman pidana karena menghina wakil rakyat.

Hal tersebut secara tidak langsung tentu menjadi upaya untuk membunuh tradisi demokrasi di lingkungan DPR (dibaca: lembaga demokrasi negara). Juga bertentangan dengan pasal 28E dari UUD 1945 ayat 3 yang berbunyi,” Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Pasal 122 huruf K telah membatasi suara publik baik itu pers, individu, atau kelompok untuk mengungkapkan pendapatnya tentang kinerje wakil rakyat mereka di DPR. Seolah-olah dengan pasal tersebut, kita dilarang untuk mengeluarkan pendapat (kritik) kita, kinerja DPR yang buruk.

Sudah seringkali sebelumnya di muat media massa, tentang kinerja buruk anggota DPR seperti tidur waktu rapat, banyak yang bolos ketika sidang, korupsi yang dilakukan oknum anggota DPR, dll. Bisa jadi, klaim kita sebagai penganut sistem demokrasi ternodai dengan adanya revisi UU MD3 yang menodai semangat menumbuhkembangkan tradisi demokrasi di negara kita.

Selain itu, ada pasal lain yang dalam UU MD3 yang dapat dianggap sebagai pembusukan demokrasi, pasal 245 yang berbunyi, ”Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang tersangkut persoalan hukum harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD”. Pasal ini dapat menjadi hambatan bagi lembaga yudikatif seperti kepolisian, KPK, dan lembaga hukum lainnya dalam menegakkan hukum.

Tidak ada lagi penangkapan terhadap oknum DPR yang melakukan korupsi, sperti baru-baru ini yang menerpa Setya Novanto, mantan pimpinan DPR RI. KPK setiap melakukan penyelidikan terhadap oknum anggota DPR yang diduga korupsi harus meminta  persetujuan dahulu terhadap presiden.

- Advertisement -

Selagi KPK meminta persetujuan presiden, oknum yang terduga melakukan korupsi sudah menghilangkan barang bukti yang mereka. Tentu, menjadi tantangan yang serius terhadap penegak hukum kita untuk menebas habis korupsi.

Dengan adanya pasal 245 tersebut, jangan harap jika ada oknum anggota DPR melakukan korupsi, mereka dapat ditangkap. Bukan mendeskreditkan jika DPR adalah lembaga yang korup, tetapi dengan pasal terebut membuat sistem check and balances dalam konsep trias politika yang kita anut menjadi terganggu. Justru, dengan adanya pasal 245 tersebut, menegaskan seolah-olah DPR adalah lembaga korup yang takut jika mereka tertangkap tangan melakukan korupsi.

Jelaslah dengan demikian, dari dua contoh pasal UU MD3 membuktikan jika revisi terhadap UU tersebut telah menghambat perkembangan demokrasi di negara kita. Membuat sistem checks and balances antara eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak berfungsi maksimal. Selain itu, revisi UU MD3 telah membuat DPR menjadi lembaga yang kebal hukum dan anti kritik. Meski tetap ada celah untuk membatalkan revisi UU MD3 dengan mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, tetap saja peristiwa ini telah mencederai semangat untuk menumbuhkembangkan tradisi demokrasi di negara kita.

Aladip
Aladip
Pendidikan Formal Terakhir Sementara : Alumnus S1 Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Brawijaya Pendidikan Non-formal terakhir : PPTQ Raudhatushsholihin, Wepas, Klojen, Malang
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.