Jumat, Maret 29, 2024

Usia Senja dan Kegelisahan Buya Syafii Maarif

Muhammad Ridha Basri
Muhammad Ridha Basri
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Quran dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(Sumber foto: Fb Darraz)

“Saya adalah orang yang gelisah,” kata Buya Ahmad Syafii Maarif, seraya sejenak berusaha mengingat-ngingat sesuatu dan kemudian menyusun kalimat selanjutnya. Usia senja sedikit memperlambat daya koordinasi memori, syaraf, dan pita suara.

Pagi itu, di hari Sabtu pekan pertama Agustus 2017, Buya Syafii bersama segenap jajaran redaksi Suara Muhammadiyah menerima tamu dari Malaysia. Mereka di antaranya mewakili Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Islamic Reinaissance Malaysia (IRM), Sekolah Pemikiran Asy-Syatibi, Himpunan Lepasan Institusi Pendidikan Malaysia (HALUAN), mahasiswa dari Universiti Sultan Azlan Shah (USAS) Perak, dan mahasiswa Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) Negeri Sembilan.

Kedatangan para pemuda negeri jiran ini mengagendakan untuk menimba pengetahuan dan pengalaman pada organisasi civil society di Indonesia dan khususnya pada sosok guru bangsa Syafii Maarif. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir sedianya juga dijadwalkan ikut hadir, namun tiba-tiba berhalangan karena harus ke Jakarta. Penulis termasuk salah satu yang ikut dalam forum yang berlangsung santai itu. Dalam pengantarnya, beberapa anak muda ini sudah sangat familiar dengan pemikiran Ahmad Syafii Maarif. Beberapa kali, Buya pernah diundang ke Malaysia untuk memberikan kuliah umum. Terlebih, mentor para pemuda ini, Dato’ Ahmad Farouk Musa, tak lain adalah karib dekat Buya.

Dalam kalimat selanjutnya, Buya Syafii terlihat berusaha menumpahkan apa yang selama ini membebani pikirannya. Seperti biasa, Buya Syafii selalu bersemangat dan seolah menemukan harapan baru setiap bertemu dengan anak-anak muda. Di pundak anak muda, Buya menitipkan segenggam harapan bahwa seburuk apa pun keadaan sekarang dan masa silam, tidak ada alasan untuk pesimis. Seberkas cahaya mungkin akan segera terbit dari ufuk timur yang akan segera menjelang di tangan intelektual muda yang tercerahkan.

Kegelisahan yang pertama, ujar Buya Syafii, adalah kondisi dunia Arab yang sedang jatuh. Menurutnya, peradaban Arab sedang berada di titik nadir. Dunia Arab harus diselamatkan. Peradaban yang telah runtuh ini jangan lagi direproduksi dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Peradaban Arab yang pernah berjaya ratusan tahun yang lalu, kini tinggal kenangan. Sulit untuk bisa berharap, dunia Arab akan segera bangkit dalam waktu dekat.

Ditinjau dari sisi historis dan antropologis, karakter orang Arab banyak yang harus dikritisi. Kecenderungan ananiyah-hizbiyah atau syu’ubiyah (sektarianisme) yang terlalu tinggi, misalnya. Namun, oleh banyak umat muslim, Arab dipandang sebagai representasi dari Islam itu sendiri. Sehingga, apa pun yang datang dari Arab, dibungkus dengan sesuatu yang berbau Arab, maka akan segera diterima mentah-mentah. Padahal menurut Buya, dalam ajaran Islam itu, Allah menginginkan manusia untuk bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan. Kondisi ini menjadi kegelisahan kedua Buya Syafii Maarif, yang disebutnya dengan istilah misguided Arabism.

Supaya omongannya tidak disalahpahami, Buya langsung meneruskan kalimatnya, “Saya tidak anti Arab. (orang) Arab yang bagus-bagus juga banyak,” tuturnya. Namun, kata Buya, para cerdik cendekia Arab yang menurutnya bagus dan progresif, justru tidak bertempat tinggal di dunia Arab. “Jika mereka tinggal di Arab, maka akan dimusuhi. Musuhnya ada dua. Yaitu para mufti dan negara,” ulasnya. Beberapa contoh semisal Khaled Abou Fadl hingga Fatimah Mernissi. Buya melihat harapan lahirnya pemikir-pemikir di dunia Arab akan datang dari Maroko, Tunisia, dan Qatar.

Kekecewaan Buya Syafii pada dunia Arab saat ini pernah ditumpahkan di hadapan syeikh Yusuf al-Qardhawi, suatu ketika. Kata Buya, “Ya Syeikh, aina al-Islam al-aan?” Saat itu, kata Buya, Yusuf Qrdhawi juga tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Bahwa ajaran luhur Islam sebagai rahmatan lil alamin justru tertutupi dengan perilaku binal beberapa oknum pemeluknya. Padahal umat Islam dinyatakan sebagai umat yang menjadi saksi atas semua manusia.

Fenomena itu menjadi kegelisahan bersama bagi mereka yang peduli dengan peradaban Arab dan lebih luas lagi dengan urusan kemanusiaan universal. Sebab, buntut dari pertikaian di tanah Arab telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. “Puncaknya telah melahirkan ISIS dan Boko Haram,” ujar Buya. Paham mereka juga tumbuh di Indonesia. Buya menyebut, mereka mengembangkan theologi maut. Berani mati atas nama iman tetapi tidak berani hidup.

Menyikapi hal itu, Buya menegaskan bahwa umat Islam harus diingatkan supaya siuman. Terutama di dunia melayu dengan muslim mayoritas, dengan wajah Islam yang khas. “Kita perlu rethinking,” katanya. Bahwa umat Islam di dunia melayu, Indonesia dan Malaysia khususnya perlu untuk melakukan pembaharuan dalam penafsiran teks-teks agama. Para mufassir Nusantara perlu untuk merumuskan corak baru.

Buya Syafii menyebut sosok Buya Hamka sebagai salah satu pemikir muslim Nusantara yang berani untuk berbeda. Karya tafsir Hamka, misalnya, dianggap Buya berani untuk melawan konstruksi konsep perempuan. Penafsiran yang sudah mapan cenderung bias dan bisa disebut misoginis. Hamka dengan argumen yang kokoh, telah menafsirkan ayat-ayat tentang perempuan secara berbeda dan keluar dari arus utama.

Perlunya reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis merupakan kenisyaan. Al-Qur’an itu hudan lin nas, hudan lil muttaqin. Artinya bahwa kitab suci bukan hanya diturunkan untuk orang Arab dan hanya berhak dipahami oleh orang Arab. Justru, al-Qur’an dengan pesan-pesan universalitasnya menantang semua umat manusia untuk mengambil pelajaran. Ibarat sebuah batu permata, al-Qur’an merupakan teks terbuka yang akan selalu menampilkan cahaya dari sisi manapun ia dipandang. Terlebih jika dilihat oleh orang berbeda, maka cahaya yang beragam akan selalu terpancar. Mutiara kandungan Al-Qur’an yang tidak akan pernah habis-habisnya itu perlu terus digali. Jangan hanya dimonopoli oleh mufassir tertentu, terlebih oleh pembajak pesan ilahi untuk tujuan politis, yang asal memakai bungkus agama atau sekedar berbaju Arab.

Demikian halnya dalam bidang hadis. Buya Syafii menantang pemikir hadis di Indoensia untuk berhimpun dan berani melakukan kajian ulang. Buya mengapresiasi pemikir hadis di Turki telah mulai melakukan ini. Buya Syafii menyebut beberapa hal yang perlu dipertanyakan ulang. Semisal, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, apakah otomatis shahih semua. “Bukhari itu orang baik, tapi dia manusia,” tuturnya.

Buya lalu membacakan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Pemimpin itu harus dari kalangan Quraisy.” Buya Syafii meragukan jika nabi benar-benar bermaksud seperti itu. Nabi Muhammad sebagai sosok yang penyayang dan menjadi rahmat bagi sekalian alam tidak akan mengeluarkan ujaran diskriminatif seperti itu. Oleh karena itu, dalam memahami hadis-hadis seperti ini, kata Buya Syafii, perlu mengujinya dengan al-Qur’an dan menimbangnya dengan akal sehat serta dengan data dan fakta ilmiyah yang kokoh.

Kesadaran tentang misguided Arabism menjadi penting. Sebab, dengan kesadaran lah, umat Islam mau untuk berubah. Keinginan untuk berubah juga niscaya. Buya membaca dua potongan ayat. “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu mau untuk berubah” dan ayat “Jika kamu menolong agama Allah, maka Allah akan menolongmu dan mengokohkan kedudukanmu.” Kedua ayat ini sering disuarakan Buya di banyak forum. “Dalam pemahaman saya, Allah mau melakukan intervensi jika kita mau untuk berubah,” tutur sosok yang sudah berusa 83 tahun itu.

Di hadapan pemuda Malaysia, Buya berpesan supaya mempelajari Islam dan pemikiran keislaman serta memahami peta global secara serius. “Pelajari itu dengan baik dan jelaskan kepada masyarakat Melayu,” pesan Buya. Dalam melakukan perubahan, tidak bisa dilakukan dengan tiba-tiba dan sporadis. Harus dimulai dengan landasan epistemologi yang kokoh dan dilakukan dengan pendekatan yang bijaksana dan perlahan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap bahasa Arab dan penguasaan turas klasik menjadi penting dan utama. Dari sini, kemudian baru bisa dipadukan dengan semangat tajdid atau pembaharuan yang berangkat dari hasil kajian yang matang dan mendalam sesuai dengan konteks kekinian.

Dari sini, Buya Syafii kembali mengingatkan supaya anak-anak muda ini mau belajar sungguh-sungguh. “Jangan menjadi manusia kepalang tanggung,” kalimat yang sering diucapkan Buya Syafii, supaya anak-anak muda berani bermimpi besar. Jika ingin menjadi ilmuwan, maka jadilah ilmuwan besar yang bisa dijadikan rujukan. Jika ingin menjadi pengusaha, maka jadilah pengusaha besar yang berhati nurani. Jika ingin menjadi politisi, maka jadilah politisi kelas satu yang berintegritas dan teguh menjadi negarawan. “Kalau mau mendapat sesuatu, menyelamlah hingga ke dasar samudera, jangan hanya berenang di permukaan,” kata Buya Syafii mengutip kata pepatah.

Kegelisahan yang ketiga, tentang kondisi bangsa Indonesia yang sedang carut-marut. Menurutnya, para elit bangsa dan politisi saat ini masih terlalu berpikiran sempit, hanya untuk dirinya dan kelompoknya. Sedikit di antara mereka yang memiliki pandangan yang visioner demi masa depan bangsa. Mereka tidak mau naik kelas dari politisi menjadi negarawan. Para negarawan adalah mereka yang berani menentang arus dan pemilik modal, berdiri membela kepentingan rakyat.

Kondisi Indonesia yang digelisahkan Buya bertautan dengan persoalan kesenjangan sosial-ekonomi yang terus meningkat. Berbagai data menunjukkan bahwa belum ada tanda-tanda kesenjangan ini menurun. Para pemilik modal semakin rakus untuk menguasai segala. Sementara kaum miskin papa semakin kehilangan semua. Oleh karena itu, kata Buya Syafii, pemerintah perlu tegas dalam memotong lingkaran disparitas ini. Buya mencontohkan apa yang dilakukan oleh perdana menteri Malaysia, Najib Tun Razak.

Menurutnya, Najib berani untuk memberi keluasaan lebih bagi pribumi Melayu supaya bisa mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi. Kebijakan ‘diskriminasi positif’ ini dianggap lumayan berhasil dalam mencegah kesenjangan antara minoritas etnis tertentu yang kuat secara ekonomi dengan mayoritas yang belum berdaya. Namun, Buya tetap memberi catatan bahwa beberapa kebijakan Najib Tun Razak juga perlu dikritisi.

Tiga kegelisahan itu menjadi topik utama perbincangan Buya Syafii Maarif pada pagi hingga siang itu. Usianya yang sudah semakin senja tidak menjadikan Buya abai begitu saja pada situasi dan kondisi kekinian. Sebagai guru bangsa, Buya Syafii bukanlah sosok pragmatis yang tidak punya prinsip. Rekam jejak telah membuktikan, bahwa ia telah selesai dengan dirinya. Pemikirannya yang jernih, semata-mata dalam rangka menaikkan derajat kemanusiaan dan kemuliaan agama serta memperbaiki nasib bangsa yang sangat dicintainya.

Muhammad Ridha Basri
Muhammad Ridha Basri
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Quran dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.