Minggu, Oktober 6, 2024

Urgensi Membaca Marx di Era Kapitalisme Digital

Di dalam tradisi Marxis, kajian mengenai kapitalisme digital belum menjadi hal yang umum dan bahkan dapat dikatakan marginal. Beragama studi dalam tradisi marxis lebih banyak berkutat pada analisa industri, petani, buruh, urbanisasi, kapitalisme finansial dsb. Ini bisa dilihat dari berbagai forum, diskusi, konferensi, jurnal dan companions dalam pemikiran marxis yang jarang atau bahkan tidak sama sekali menguak dan menguliti isu-isu yang ada dalam kapitalisme digital.

Tentu saja persoalan tersebut tidak boleh dibaikan terus menerus mengingat komunikasi dengan komputer, internet, media dsb merupakan fenomena krusial dalam kapitalisme digital. Sehingga, kaum marxis mesti memahami femomena ini dengan jernih sebelum bertindak untuk menghancurkannya. Dalam arti ini, kaum marxis mesti sadar bahwa kapitalisme mengalami perkembangan bentuk—walau tanpa meniadakan misi mengeruk keuntungan dan akumulasi terus-menerus sebagai inti produktivitasnya.

Upaya untuk memahami kapitalisme mendapatkan titik terang setelah Cristian Fuchs menerbitkan buku yang yang berjudul Marx in the Age of Digital Capitalism. Buku ini adalah suatu usaha Fuch untuk mengkontekstualisasikan pemikiran Marx di era yang ditandai oleh kapitalisasi internet, komputer, media, cyber-media dan komponen digital lainnya.

Dengan berpedoman pada metode materealisme dialektis-historis, Fuchs menunjukkan bahwa Marx sebenarnya sudah jauh-jauh hari membayangkan bahwa perkembangan kapitalisme akan diikuti oleh kemajuan teknologi. Kapitalisme butuh untuk memajukan teknologi demi memaksimalkan keuntungan. Namun, harga yang harus dibayar adalah penindasan terhadap buruh yang semakin parah.

Kapitalisme digital ditandai salah satunya oleh automasi mesin. Dalam arti ini, mesin hampir memiliki kontrol atas dirinya sendiri bahkan tanpa intervensi manusia. Pada tahun 1960-an, problem tersebut sempat mengemuka di kalangan kaum marxis dan menjadi perdebatan. Intelektual yang terlibat dalam polemik tersebut ialah Harry Braverman, Andre Gorz dan David F. Noble.

Harry Braverman adalah ekonom politik asal Amerika yang mengkaji tentang penerapan komputerisasi pada masanya. Ia menegaskan bahwa komputerisasi telah mengakibatkan degradasi kerja yang meliputi penurunan ketrampilan, penurunan kualitas, proletarianisasi, membludaknya pengangguran dan tingginya pengawasan serta kontrol.

Ia menyebut “Makin kompleks proses produksi, makin sedikit yang dipahami pekerja. Makin banyak sains yang dimasukkan ke dalam teknologi, makin sedikit sains yang dipunyai pekerja; dan makin banyak mesin dikembangkan sebagai bantuan untuk proses kerja. Makin banyak buruh menjadi pelayan mesin”. Jadi, automasi mesin dalam produksi kapitalis telah mendehumanisasi dan memiskinkan pengetahuan buruh.

Senafas dengan Braverman, David F, Noble melihat dampak negatif dari automasi mesin lewat komputerisasi. Menurutnya. Automasi mesin telah menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, pengikisan sumber daya alam, penghilangan ketrampilan manusia, pemiskinan kekayaan bangsa dan pengetatan kontrol. Ia pun menantang ideologi perkembangan teknologi yang diamini oleh kaum tekno-optimistik sebagai “delusi yang berbahaya”. Ia pun akhirnya menaruh pada perjuangan kelas untuk membawa kesejahteraan bagi umat manusia.

Berbeda dengan Braverman maupun Noble yang hanya melihat dampak negatif dari automasi mesin, Andre Gorz justru bergerak lebih jauh dengan membayangkan masyarakat sosialisme pasca industrial. Ia memang setuju dengan dampak negatif automasi mesin sebagaimana diuatarakan oleh Bracerman, namun ia menambahkan bahwa pengurangan waktu kerja yang diperlukan secara sosial oleh automasi mesin perlu dipertahankan dalam masyarakat sosialisme.

Dengan slogan Work Less, Live More, ia membayangkan suatu masyarakat yang tak lagi bekerja secara penuh dan lebih banyak mengisi hidupnya dengan aktivitas seni, budaya, sosial dan pendidikan. Ia percaya bahwa tujuan politik kiri bukanlah masyarakat yang bekerja secara penuh, melainkan masyarakat yang setiap individu berhak atas pemenuhan kebutuhan hidupnya melalui waktu senggang.

Fuchs mencatat bahwa jauh sebelum perdebatan itu mengemuka, Marx sebenarnya sudah berbicara tentang automasi mesin dalam produksi kapitalisme. Dalam Capital Volume I, Marx melihat bahwa automasi mesin dapat menjadi alat dominasi dan kontrol bagi pekerja. Tranformasi corak produksi dari tenaga manusia ke mesin telah mengakibatkan buruh tak banyak memiliki andil dalam proses produksi. Seperti halnya ahli pemain musik yang bermain dengan jiwanya sendiri—sebut Marx—mesin juga bekerja sesuai dengan mekanismenya sendiri.

Buruh hanya menjadi tautan untuk mengaktivasi mesin. Buruh tak memiliki kesadaran atau pengetahuan untuk memproduksi komoditas karena semuanya sudah dilakukan oleh mesin. Karena itu, Marx mengklaim automasi mesin telah mengakibatkan dehumanisasi pada buruh.

Meski demkian, Marx di sisi lain menganggap perlu apa yang disebut dengan pengambilan mesin komunis melalui perjuangan kelas. Dalam Grundrise ia menilai bahwa meski pemakaiaan teknologi dapat membuahkan kerentanan pada pekerja dan massifnya pengangguran, namun teknologi juga dapat mengurangi waktu kerja yang diperlukan secara sosial dan memperbanyak waktu senggang.

Oleh karenanya, Marx melihat bahwa dampak dari automasi mesin tergantung dari relasi sosial produksi yang ada. Dalam kapitalisme penggunaan automasi mesin memiliki dampak yang destruktif karena bekerja melalui logika akumulasi dan keuntungan; sementara dalam komunisme penggunaan automasi memiliki banyak sisi positif karena bekerja melalui logika kepentingan dan kesejahteraan bersama.

Dalam konteks ini, Fuchs berbicara tentang komunisme digital yang “memungkinkan waktu kerja yang diperlukan seminimal mungkin, waktu senggang semakin mungkin dan ruang publik yang demokratis”. (hal 89). Untuk menuju masyarakat yang demikian perlu perubahan mendasar yang ditempuh melalui perjuangan dan reformasi radikal sehingga demokrasi digital yang partisipatoris dan masyarakat kepemilikan kolektif digital menjadi kenyataan.

Dengan demikian, Marx bukanlah seorang tekno-optimistik yang percaya bahwa perkembangan teknologi membawa pada kemajuan dan kesejahteraan manussia atau tekno-pesimistik yang melihat teknologi membawa kehancuran pada umat manusia sembari mengajak manusia untuk kembali pada kehidupan rimba.

Marx adalah seorang tekno-kritis yang mana tidak melihat teknologi berdampak buruk per se atau menciptakan masyarakat yang lebih baik. Ia melihat sisi eksploitatif teknologi ketika berada dalam genggaman kapitalisme dan berusaha dilampauinya dalam masyarakat komunisme.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.