Minggu, April 28, 2024

Melesetnya Ramalan Marx tentang Revolusi Proletar

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Karl Marx lahir di Trier, Prusia (Jerman), 5 Mei 1818, dan meninggal 14 Maret 1883 di London, Inggris. Dia belajar hukum di Bonn dan Berlin, tetapi akhirnya menulis disertasi dalam bidang filsafat untuk mendapatkan ijazah doktor dari Universitas Jena tahun 1941.

Di kantor surat kabar Rheinische Zeitung di Koln pada Oktober 1842, Marx bertemu dengan Friedrich Engels (1820-1895) untuk pertama kalinya. Kesempatan pertama ini tidak meninggalkan kesan apa pun.

Kontak mereka baru terjalin ketika Engels mengirimkan jurnal ekonomi-politik yang berjudul Umrisse zu einer Kritik der Nationalökonomie (Ringkasan Kritik atas Ekonomi-Politik), ke jurnal buruh emigran Deutsch-Französische Jahrbücher, yang Marx adalah salah satu redakturnya.

Selanjutnya, Marx mengenang risalah ini dalam pengantar Contribution to the Critique of Political-Economy (1859) sebagai sebuah ringkasan brilian kritik atas kategori-kategori ekonomi. Sejak saat itu, keduanya menetapkan pembagian kerja tidak resmi. Marx berkonsentrasi pada studi ekonomi-politik, sedangkan Engels berkonsentrasi pada studi filsafat dan sains.

Ramalan Marx tentang Revolusi Proletar 

Salah satu gagasannya yang paling terkenal adalah teorinya tentang revolusi proletar yang tidak terhindarkan di negara-negara industri. Menurutnya, kapitalisme akan menuju kehancuran dan akan digantikan oleh sosialisme. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa ramalan ini tidak sepenuhnya benar.

Kenyataannya, kelas menengah tumbuh pesat dan menjadi lebih makmur di negara-negara industri Barat, dan tidak terjepit dalam kemiskinan seperti yang Marx perkirakan. Selain itu, revolusi yang diharapkan di negara-negara kapitalis Barat tidak pernah benar-benar terjadi.

Sebaliknya, revolusi malah terjadi di negara Dunia Ketiga yang sedang berkembang seperti China, Kuba, dan Vietnam. Salah satu rezim Marxis yang lain di abad ke-20 adalah rezim-rezim yang diciptakan oleh Rusia pada akhir Perang Dunia II.

Di bangsa-bangsa Eropa sendiri seperti Polandia, Jerman Timur, Cekoslovakia dan beberapa negara lain yang berada di ”Blok Timur”, rezim komunis ditegakkan dengan polay yang sama dengan Rusia.

Salah satu kelemahan yang paling terlihat dalam pandangan deterministik ekonomi Marxisme yang memilih proletar industri satu-satunya kekuatan yang bisa melancarkan revolusi sebagai akibat hukum besi ”ekonomi”.

Gramsci Menyisihkan Determinisme Ekonomi

Salah satu figur dalam pengembangan gagasan Marxisme klasik adalah seorang Komunis Italia, Antonio Gramsci (1891-1937). Ia menyisihkan determinisme ekonomi dan menggantinya dengan penjelasan tentang perubahan sosial yang terjadi di dalam suprastruktur–dalam dunia ide ketimbang ekonomi

Menurutnya ide kuncinya adalah ’ideologi’. yang Marx disebut sebagai “kesadaran palsu.” Menurut Gramsci kita tidak memandang dunia sebagai sesuatu yang netral dan objektif, melainkan dengan cara bahwa dunia ini ditentukan oleh seperangkat sikap yang secara alamiah kita terima begitu saja. Lalu ia berpikir ideologi tidak selalu ditentukan secara ekonomis saja tetapi secara relatif bersifat otonom dan krusial.

Selain itu, Gramsci menekankan peran keagenan manusia dan pilihan, sembari tetap menjaga realitas perjuangan kelas Marxis. Ia mengklaim bahwa perjuangan kelas harus selalu mengambil tempat melalui ideologi.

Ideologi dan Hegemoni

Ada dua cara yang meyakinkan di mana kelas borjuis kapitalis dapat mendominasi proletar. Kekuatan nyata, resiko kehilangan pekerjaan, atau dominasi ekonomi nyata adalah salah satu caranya.

Namun, ada cara yang berbeda: mengontrol ideologi, ide, dan kaum buruh. Gramsci menyebut kontrol ide ini sebagai homogen, yang memanipulasi kesadaran sosial. Dia percaya bahwa kontrol tidak dapat dicapai hanya dengan kekuatan fisik dan ekonomi.

Untuk membuat konsensus kepada masyarakat secara keseluruhan, kelas dominan harus mengembangkan apa yang disebut persetujuan spontan, yang terdiri dari berbagai persetujuan spontan.

Hegemoni sendiri dapat dikarakteristikan berbagai cara:

• Persetujuan mayoritas masyarakat terhadap “gambaran hidup” yang dibenarkan oleh mereka yang berkuasa;

• Mereka yang berkuasa secara luas akan memiliki nilai-nilai, baik moral maupun politik, yang ditetapkan.

• Ideologi dianggap sebagai “sesuatu yang masuk akal”, atau common sense, oleh mayoritas masyarakat. Adalah normal untuk berpikir dengan cara ini.

• Selama persetujuan mayoritas tetap ada, kekuatan fisik dapat digunakan untuk melawan sekelompok minoritas yang membangkang, meskipun persetujuan berada dalam suasana yang penuh damai.

Hegemoni merupakan produk dan negosiasi antara kelas yang dominan dan kelas yang dikuasai mengenai apa yang mesti diyakini dan tidak oleh kelas yang dikuasai.

Transformasi Ideologi menjadi Budaya

Dalam kebanyakan kasus, “budaya” didefinisikan sebagai keseluruhan sikap, nilai, dan norma yang menyatukan suatu komunitas sebagai satu kesatuan. Namun, adalah salah bagi Marx dan Gramsci untuk menganggap budaya sebagai sesuatu yang netral secara moral.

Marx menganggap budaya sebagai manifestasi ideologi yang dimaksudkan untuk melindungi dan mempromosikan kepentingan kelas tertentu. Menurut Gramsci, fungsi hegemoni adalah untuk mengubah ideologi menjadi budaya, mejadi suatu ‘cara pandang dunia’ yang dilihat sebagai suatu yang normal dan netral. Ini berarti mengubah perspektif normal dari seseorang yang berasal dari kelas yang menguasai ke kelas yang dikuasai.

Di masa lalu, lembaga kunci yang mengukuhkan hegemoni adalah lembaga keagamaan dan lembaga kebudayaan, seperti pendidikan. Kini, alat utama yang mengukuh hegemoni adalah media massa. Institusi media massa adalah pusat produksi ide-ide, pembaharuan, sikap, dan perspektif yang merupakan pabrik bagi terciptanya aksi sehat/nalar umum sehari-hari.

Pandangan yang kompleks ini telah diadopsi oleh banyak pemikir Marxis dan post-Marxis. Salah satu contoh adalah Mazhab Frankfurt, yang menggabungkan pemikiran Marxis dengan analisis budaya dan sosial. Pemikir seperti Michel Foucault, Louis Althusser, dan Stuart Hall juga telah mengambil elemen-elemen pemikiran Gramsci dan memperluasnya ke dalam konteks postmodernisme.

Salah satu aspek yang penting dari pemikiran Gramsci adalah pandangan bahwa dalam masyarakat liberal, perjuangan kelas tidak hanya berpusat pada aspek ekonomi dan politik. Sebaliknya, perjuangan tersebut melibatkan ide-ide dan kebudayaan.

Pentingnya sosok Gramsci bagi Marxisme alternatif adalah ia berhasil menjadikan budaya politik sehari-hari sebagai hasil dari determinisme ekonomi, sementara tetap mempertahankan pandangan dasar Marxisme dalam struktur teoritisnya.

Kesimpulan

Marxisme dan pemikiran Gramsci telah memberikan wawasan yang berharga tentang masyarakat, perubahan sosial, dan perjuangan kelas. Meskipun ada pertanyaan dan kontroversi seputar teori-teori ini, pemahaman akan peran kompleks ideologi dan budaya dalam menjaga hegemoni kelas yang berkuasa dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam dalam analisis sosial. Dengan mempertimbangkan kontribusi dan keterbatasan dari kedua teori ini, kita dapat terus memahami dinamika kompleks masyarakat modern dan bagaimana ideologi dan budaya mempengaruhinya.

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.