Rabu, April 24, 2024

Urgensi Kamp Konsentrasi Terhadap Etnis Uighur

Ahmad Sulthon Zainawi
Ahmad Sulthon Zainawi
Mahasiswa dan Asisten Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Bai wen bu ru yi jian

“Informasi yang didapat dari mendengar penturan orang sebanyak seratus kali, keakuratannya kalah dengan melihat meski hanya satu kali”

Salah satu kalimat dalam kitab Han (Han Shu) susunan Ban Gu (32-39) tersebut sengaja saya jadikan rujukan atas ricuhnya gerakan seperatis kaum Uighur yang yang menjadikan agama sebagai kedoknya. Isu agama yang dimainkan akhirnya menyedot simpati khalayak ramai, tak terkecuali kaum intelektual serta media di luar China. Akibatnya, banyak pihak menunding otoritas China telah melakukan pelanggaran HAM.

Misalnya, dalam salah satu jurnal yang ditulis oleh Muhammad Fajrin Saragih dalam memperoleh gelar sarjananya di Universitas Sumatera Utara (2015) disebutkan bahwa Pemerintah China telah melakukan kejahatan genosida dengan melarang etnis Uighur di Xinjiang melakukan kegiatan dan kewajiban beribadah menurut agamanya.

Kesalah pahaman yang cukup krusial ini tak lain disebabkan oleh pemberitaan media yang memberikan informasi hanya didasari oleh fakta lapangan tanpa menganalisis lebih mendalam terkait maksud putusan pemerintah China terhadap Kaum Uighur. Padahal dalam Undang-Undang dasar China Bab 2 pasal 36, pemerintah China telah menjamin kebebasan beragama bagi rakyatnya selagi aktifitas keagamaan itu dilakukan dalam koridor normal.

Problematika

Kelompok separatis Uighur selalu berupaya untuk memisahkan diri dari China dengan mengatasnamakan agama untuk meraih agenda politiknya semenjak China dikuasai oleh Dinasti Qin hingga dikuasai oleh Partai Komunis (1949-sekarang) sebagaimana yang dipaparkan Wang ke dalam maha karyanya berjudul Dong Tujuestian Duli Yundong: 1930 Niandai zhi 1940 Niandai.

Buktinya, jika kelompok separatis tersebut memang benar-benar mengupayakan Islam yang tidak cocok berada di bawah rezim komunis yang tidak ramah agama, mereka justru melakukan hal yang sama sekali tidak islami dengan membunuh imam besar Masjid Id Kah Xinjiang atas nama Jumi Tahir, padahal ia seorang muslim moderat. Mirisnya lagi, pembunuhan tersebut yang terjadi pada tanggal 30 Juli 2014 dilakukan dengan mekanisme pembunuhan yang sangat keji.

Justru muslim garis kaku seperti ini yang merusak citra dan pemahaman pubilk terhadap Islam sebagai agama yang damai, indah, dan penuh toleransi menjadi Islam sebagai agama yang bernuansa radikal sehingga menyebabkan islamophobia mempunyai pangsa pasar yang cukup signifikan.

Putusan Pemerintah China: Bijak atau Diskriminatif?

Pada periode kepemimpinan Chen Quanguo yang menggantikan Zhang Chunxian pada tahun 2016 silam, digalakkanlah reedukasi dan pendidikan vokasi yang oleh pegiat HAM yang disebut sebagai “kamp konsentrasi” dengan tujuan mengajarkan dan menanamkan jiwa nasionalisme kepada kaum Uighur yang terpapar paham keagamaan (islam) secara radikal.

Penggalakan kamp konstentrasi ini didukung langsung oleh tokoh PBNU, KH. Said Aqil Siradj melalui hasil investigasinya, yang mana beliau menyarankan agar orang luar China hanya boleh memberikan saran atas gerakan politik separatisme yang menggunakan nama agama ini namun tidak boleh mengecam pemerintah China karena itu urusan dalam negeri, sebagaimana di Indonesia apabila terdapat pemberontakan di Papua atau Aceh maka orang atau tokoh luar negeri tidak boleh ikut campur.

Di sisi lain sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Muth’i juga mendukung digalakkannya upaya pendidikan vokasi melalui kamp konsentrasi hanya saja beliau berpesan kepada Dubes Xiao agar penangan masalah kelompok separatis Uighur dilakukan dengan cara pendekatan kesejahteraan bukan dengan cara militeristik.

Namun terbukti cara pendekatan kesejahteraan tidak berjalan dengan efektif ketika Xinjiang dimpimpin oleh Zhang Chunxian. Buktinya pada hari kunjungan presiden Xi Jinping ke Xinjinag pada 30 april 2014, dua orang Uighur melakukan penyerangan dan bom bunuh diri yang mengakibatkan 3 orang meninggal dan 79 orang luka-luka di stasiun Umruqi selatan. Lebih parahnya lagi pada tanggal 22 Mei 2014 peledakan bom oleh orang Uighur menumpaskan nyawa 39 orang di salah satu pasar pagi Umruqi.

Jika cara pendekatan terus diupayakan sedangkan tidak memberikan hasil yang siginifikan, maka cara tersebut layaknya upaya memberikan pisau kepada seorang perampok. Artinya, pisau yang jelas kebermanfaatnnya untuk mengelupas makanan, buah-buahan, atau sayur-sayuran, di tangan seorang perampok ia akan digunakan untuk mengelupas leher orang alias membunuh.

Ringkas kata, penulis berpendapat bahwa putusan pemerintah China ini merupakan putusan yang bijak karena upaya kamp konsentrasi ini merupakan jalan tengah untuk mentaubatkan kaum uighur yang ditempuh oleh pemerintah provinsi Xinjinag setelah gagal menempuh jalur militeristik dan jalur kesejahteraan.

Pentingnya Harmonisasi China-Xinjiang  

Pertama, Xinjiang yang didominasi oleh kaum Uighur merupakan wilayah yang mampu menopang perekonomian China karena letak geografisnya yang luas, strategis, dan kaya sumber daya alam (SDA). Mengutip data dari China.org yang diterbitkan melalui CNBC (22/12/2019), Xinjiang menyumbang 38% cadangan batu bara nasional, sedangkan minyak-gas menyumbang lebih dari seperempat total cadangan nasional. Bahkan Perut bumi Xinjiang menyimpan lebih dari 70 mineral non-logam, utamanya batu akik (gemstone), permata Khotan, giok (serpentine), dan muscovite.

Disamping kekayaan tersebut, Xinjiang disebut sebagai wilayah yang strategis karena menjadi pintu gerbang Cina menuju Asia Tengah, perbatasan Kazakhstan, Kyrgyztan, Tajikistan, Afganistan, Mongolia dan Rusia. Maka dapat disimpulkan bahwa nasib perekonomian China sangat bergantung pada Xinjiang dan apabila keduanya berpisah kemungkinan besar keterpurukan ekonomi dan kemiskinan akan dialami oleh China yang bisa berdampak buruk kepada kesejahteraan rakyatnya.

Kedua, aliansi poltik  Partai Komunis China (PKC) sebagai partai tunggal yang menguasai pemerintahan dengan penganut agama terkemuka mampu melawan imperialisme dan feodalisme. Sebagaimana yang difatwakan oleh Mao Zedong melalui artikelnya: “Xin Minzhuzhuyi Lun” (Teori Demokrasi Baru) yang dimuat mingguan Pembebasan edisi 20 Februari 1940 sekalipun anggota Partai Komunis terlepas dari iktan konstitusi China (Zhonghua Renmin Gongheguo Xianf) pasal 36 yang disahkan pada 4 Desember 1982 tentang kebebasan beragama  sebagaimana ditegaskan yang ditegaskan dalam dokumen nomor 19 yang dikeluarkan Komite Sentral PKC pada 11 Maret 1982.

Bahkan lebih tegasanya lagi dalam pidato yang disampaikan pada 27 Februari 1957 tentang Penanganan yang Benar Konflik Internal Rakyat (Guanyu Zhengque Chuli Renmin Neibu Maodun de Wenti), Mao Zedong dengan lantangnya menyatakan: “Kita tidak boleh memusnahkan agama, tidak boleh memaksa orang-orang untuk tidak menganut agama, dan tidak boleh memaksa orang-orang untuk memercayai Marxisme.”

Maka jelas maksud dari harmonisasi hubungan China-Xinjiang (etnis) Uighur ialah bermaksud untuk menjaga stabilitas ekonomi, ketahanan, ketertiban negara dari imperialisme maupun feodalisme meski rezim komunis yang didominasi oleh anggota PKC memiliki paham, sistem, dan ideologi yang berebeda dengan kaum Uighur. Dalam konteks sosiologis masyarakat Indonesia, dapat juga disebut sebagai “Bhinneka Tunggal Ika”.

Ahmad Sulthon Zainawi
Ahmad Sulthon Zainawi
Mahasiswa dan Asisten Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.