Dengan berlakunya Revisi UU KPK pada 17 Oktober, menjadi babak baru dalam pemberantasan pidana korupsi di Indonesia. Tercatat, setidaknya terdapat beberapa bentuk persoalan menurut kalangan masyarakat akan menjadi faktor penghambat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Berbagai bentuk pelemahan terhadap KPK yang diakomodir didalam Revisi UU tersebut antara lain meliputi, Pertama, KPK bukan lagi sebagai lembaga negara Independen, revisi UU KPK menjadikan lembaga tersebut berada pada rumpun kekuasaan eksekutif sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Revisi UU KPK berikut;
“KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini. sehingga KPK akan bekerja untuk kepentingan eksekutif bersangkutan.”
Kedua, lumpuhnya fungsi penindakan KPK, jika sebelumnya KPK memiliki kewenangan yang luas dalam ranah penindakan, fungsi tersebut kemudian dipersempit sehingga memperlemah KPK dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga, adanya bentuk ancaman pemidanaan terhadap pegawai KPK.
Pasal 12 D Revisi UU KPK misal mengatur semua penyadapan yang tidak terkait dengan perkara korupsi harus dihapuskan, jika tidak maka pihak yang bersangkutan akan dikenakan sanksi pidana.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (3) Revisi UU KPK; Keempat, penyadapan, penggeledahan dan penyitaan harus meminta izin terlebih dahulu terhadap Dewan Pengawas, rentan untuk disalahgunakan. Oleh karena, tidak terdapatnya kode etik yang akan mengikat Dewan Pengawas dalam menjalankan tugasnya.
“dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksankaan, pejabat dan atau orang yang menyimpan hasil penyelidakan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Perbandingan dengan Singapura dan Hongkong
Praktik pelemahan terhadap KPK di Indonesia tidak berbanding lurus dengan praktik pemberantasan pidana korupsi di luar negeri. Sebut saja Singapura dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) maupun Hongkong dengan Independent Commission Against Corruption (ICAC), perbandingan tersebut meliputi antara lain pertama, dalam melakukan penangkapan dan penahanan KPK berdasarkan pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP hanya dapat melakukan penangkapan atau penahanan dengan melampirkan surat perintah sebagai syarat formal.
Pada praktik, CPIB Singapura berwenang melakukan penangkapan maupun penahanan tanpa surat perintah terhadap setiap pihak yang dicurigai melakukan pelanggaran hukum tipikor sebagaimana tertuang dalam Preventon Of Corruption Act Part IV Power of Arrest and Investigation, Article 15 (1). Terlebih saat ini, penyitaan, harus menggunakan izin dewan pengawas yang dapat menimbulkan persoalan lebih kompleks.
Kedua, pada praktik CPIB Singapura pengalihan kasus korupsi dari pihak kepolisian kepada CPIB tanpa adanya persyaratan tertentu, berbeda halnya KPK Indonesia pada revisi UU KPK, hanya bisa mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan oleh jaksa penuntut umum maupun kepolisian dengan persyaratan tertentu sebagaimana diatur Pasal 10 ayat (2) Revisi UU KPK.
Ketiga, merujuk pada ICAC Hongkong pada praktik tahapan investigasi terhadap pelaku tipikor dapat dilakukan dengan kewenangan yang amat luas, salah satunya mencegat telekomunikasi selular pihak yang bersangkutan. Sehingga, melahirkan bentuk penindakan investigasi yang maksimal.
Keempat, merujuk pada praktik ICAC, dewan penasihat hendaknya dipilih dari tokoh masyarakat. Terdapat empat komite penasehat yang terdiri dari warga negara terkemuka yang ditunjuk oleh Kepala Eksekutif untuk mengawasi pekerjaan ICAC. Keempat Dewan penasehat diketuai oleh masuarakat sipil.
Yakni terdiri atas komite-komite meliputi Komite Penasihat dalam memberikan arah kerja pemberantasan korupsi(Advisory Comitte On Corruption) yang bertugas memberikan nasihat tentang masalah kebijakan, Komite Pengawas kinerja investigasi (Operation Review Committee), Komite yang memberikan saran tentang prioritas studi pencegahan korupsi dan memeriksa semua laporan (Corruption Prevention Advisory Comitte), dan Komite yang bertugas memberikan saran strategi pendidikan public kepada publik (Citizens Advisory Comitte On Community Relations).
Dengan adanya perbandingan tersebut, diharapkan pemerintah kiranya dapat mempertimbangkan kajian ini menjadi bahan penudukung, sebagai wujud komitmen atau kemauan politik (political will) dari Presiden untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak korupsi. Pengkajian tersebut dilakukan terhadap beberapa negara yang telah terbukti memiliki efektifitas tinggi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya Singapura dan Hongkong.