Sabtu, April 20, 2024

UNBK: Antara Kejujuran, Gengsi, dan Digitalisasi Pendidikan

Satriwan Salim
Satriwan Salim
Penulis adalah guru di SMA Labschool Jakarta. Organisasi: Saat ini sebagai Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G); Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI (2017-2020); Plt. Ketua Umum Serikat Guru Indonesia/SEGI Jakarta (2017-2020); Pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI); dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia/AGPPKnI (2019-2024). Karya Buku: 1. Judul: Guru Menggugat! (Penerbit Indie Publishing, 2013) 2. Judul: Guru untuk Republik, Refleksi Kritis tentang Isu-isu Pendidikan, Kebangsaan dan Kewarganegaraan (Penerbit Indie Publishing, 2017)

Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun ajaran 2017/2018 sudah mulai dilaksanakan. Untuk jenjang SMK telah terlaksana 2-5 April 2018. Sedangkan jenjang SMA/MA dilaksanakan 9-12 April 2018. Terakhir di tingkat SMP/MTs pada 23-26 April 2018.

UNBK sebagai bentuk digitalisasi tes siswa (computer based test), yang sebelumnya berbasis kertas & pensil (paper based test) atau UNKP (Ujian Nasional Berbasis Kertas dan Pensil).

Kehadiran UNBK diharapkan mengurangi tingkat kebocoran soal dan kecurangan seperti waktu pelaksanaan UN yang acap kali terjadi. UNBK juga memotivasi sekolah-sekolah untuk melengkapi sarana-prasarana berupa komputer, pengelolaan berbasis TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dan mendorong peningkatan literasi siswa/guru berbasis teknologi digital.

Serta demi alasan efisiensi dan efektivitas ujian. UNBK adalah cara baru yang dibuat pemerintah sebagai bagian dari ujian akhir bagi siswa telah dimulai pada 2015. Menurut data, 34,6% sekolah (di semua jenjang) tetap melaksanakan UNKP dan 16,5% UNBK menumpang di sekolah lain. Secara nasional yang mengikuti UNBK mandiri sebesar 48,9% sekolah.

Jujur kita harus mengapresiasi niatan pemerintah untuk melakukan komputerisasi UN siswa, dengan berbagai tujuan mulia di atas. Tingkat integritas (kejujuran) pelaksanaan UNBK mengalami kenaikan, walaupun untuk hasil UNBK trennya menurun. Bagi saya ini taklah menjadi soal, karena orientasi kita lebih pada proses pelaksanaan ujian yang berintegritas, ketimbang sekedar hasil akhir.

Implementasi UNBK dan Kesulitannya

Dalam hal implementasi UNBK terasa masih banyak kekurangan yang mesti segera dibenahi. Alih-alih ingin digitalisasi tes siswa dan pemanfataan TIK, yang terjadi adalah sekolah-sekolah yang belum mampu menyediakan komputer/laptop dan prasyarat teknis UNBK lainnya di sekolah justru merasa didiskriminasikan.

Bahkan dengan “terpaksa”, bagaimanapun caranya para kepala sekolah; meminjam laptop siswa, guru, orang tua, masyarakat bahkan menumpang di sekolah terdekat agar sekolahnya tetap melaksanakan UNBK tadi. Bagi sebagian kalangan (mungkin pemerintah) ini dianggap dapat memacu dan mendorong sekolah memperbaiki sarana, menyediakan kelengkapan berbasis TIK. Tapi sebenarnya semua itu tanggung jawab utama pemerintah memenuhinya.

Harus dipahami wilayah Indonesia itu luas. Bahkan ada daerah yang dikenal dengan 3T (terluar, terdepan dan tertinggal). Kemampuan dan finansial daerah (sekolah) itu bermacam-macam. Di Pulau Jawa saja masih ada daerah yang belum mampu melaksanakan UNBK karena keterbatasan tadi.

Jangankan bicara komputer dan jaringan internet, wong gurunya saja hanya seorang yang bangunannya hampir roboh pula. Ditambah akses jalan menuju sekolah sangat sulit, berbahaya dan butuh waktu tempuh berjam-jam. Itu bukan ilusi di negeri merdeka ini, tapi fakta yang mencemaskan kita sebagai anak bangsa. Potret sekolah dan perjuangan siswa/guru menuju sekolah serupa yang dikisahkan Andrea Hirata di Film Laskar Pelangi (2008) itu masih tetap ada, bukan mengada-ada.

Di daerah 3T, cerita bahwa siswanya mau bersekolah saja sudah alhamdulillah, sebab akses yang sulit dan berbahaya. Bicara 8 standar nasional pendidikan; standar isi, proses, kompetensi lulusan, penilaian (disediakan dan diatur pemerintah) mungkin taklah begitu berat memenuhinya.

Guru dan Sarana-Prasarana

Tapi untuk standar sarana-prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pembiayaan dan pengelolaan, rasa-rasanya akan sulit memenuhinya secara sempurna. Sebab empat (4) hal terakhir ini bicara kualitas guru, kelengkapan fasilitas dan sarana sekolah. Untuk kualitas guru saja menjadi perhatian serius hingga kini, seperti yang dilaporkan Bank Dunia dan dikeluhkan banyak kalangan.

Lalu, kita teringat lagi Keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang Pelaksanaan Ujian Nasional No. 2596K/PDT/2008 yang menyatakan bahwa pemerintah telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban Ujian Nasional (UN) khususnya hak atas pendidikan dan hak-hak anak.

MA memerintahkan kepada para tergugat yakni pemerintah untuk; meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut.

Berkaca pada putusan MA, kita terus mendorong pemerintah memenuhi setidaknya standar sarana-prasarana dan standar pendidik. Walaupun idealnya semua standar nasional pendidikan tersebut harus terpenuhi secara ideal.

UNBK dan Kejujuran Kita

Walaupun UNBK bukan lagi penentu mutlak kelulusan siswa semenjak 2015, tetapi apakah sekolah, orang tua, sampai kepala daerah dan pemerintah pusat tidak lagi serius menyelenggarakan UNBK? Jawabannya tetap serius. Bahkan makin serius tampaknya, lihat saja persiapan try out yang berkali-kali. Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) semakin ramai menjelang UNBK.

Dari segi persepsi siswa, guru, orang tua, sekolah dan pemerintah terhadap UNBK tampaknya juga belum berubah. UNBK tetap diseriusi, proyek rutin tahunan pemerintah, berbiaya besar, dan menentukan kredibilitas atau integritas sekolah. Yang berarti hasil capaian UNBK akan menjadi tolok ukur kualitas satuan pendidikan tersebut.

Bahasa lainnya, sedari dulu hasil UN itu selalu menjadi prestise (kalau tak dibilang gengsi) yang tinggi bagi sekolah sampai kepala daerah. Hasil UNBK memengaruhi dan membentuk wibawa mulai dari guru, siswa, orang tua, kepala sekolah, pengawas, kepala dinas pendidikan sampai kepala daerah.

Dari segi pembiayaan, pelaksanaan UNBK pun sepertinya makin besar. Walaupun tersedia dan dimbil dari dana BOS. Pembiayaan yang khas UNBK (di era UN tertulis belum ada) mencakup; honor proktor, teknisi, biaya sinkronisasi, pengadaan modem, biaya pengamanan 24 jam agar komputer atau laptop tidak dicuri, biaya penambahan daya bagi sekolah yang belum memenuhi minimal daya listrik, biaya penyediaan jenset dan solar untuk berjaga-jaga ketika listrik mati.

Belum termasuk honor dan konsumsi panitia, pengawas dan biaya try out UNBK yang berkali-kali dilakukan sebelumnya. Bagaimana dengan sekolah swasta yang kurang mampu? Hanya Allah dan kepala sekolahnya yang tahu.

Memang kita harus menginsafi, makin canggih pendidikan, rasa-rasanya makin mahal biayanya. Sekolah dan daerah yang masih terkendala karena keterbatasan sarana dan fasilitas tadi harusnya jujur saja. Jangan memaksakan kelengkapan fasilitas itu, apalagi demi gengsi sekolah, merasa sekolahnya “rendahan” kalau belum mengikuti UNBK.

Bukankah salah satu tujuan UNBK itu ingin melatih siswanya berpikir dan bertindak jujur,mengutamakan kejujuran? Jika demikian wahai para guru, kepala sekolah,pengawas, kepala dinas, kepala daerah sampai pemerintah pusat, mulailah jujur,terbuka dan bersikap apa adanya, jika masih banyak sekolah yang belum mampu memenuhisarana dan fasilitas UNBK! Dan kita dukung pemerintah untuk segera memenuhinya.

Satriwan Salim
Satriwan Salim
Penulis adalah guru di SMA Labschool Jakarta. Organisasi: Saat ini sebagai Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G); Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI (2017-2020); Plt. Ketua Umum Serikat Guru Indonesia/SEGI Jakarta (2017-2020); Pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI); dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia/AGPPKnI (2019-2024). Karya Buku: 1. Judul: Guru Menggugat! (Penerbit Indie Publishing, 2013) 2. Judul: Guru untuk Republik, Refleksi Kritis tentang Isu-isu Pendidikan, Kebangsaan dan Kewarganegaraan (Penerbit Indie Publishing, 2017)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.