Salah satu asas penyelenggara pemilu adalah profesionalitas dan proporsional. Kedua kata ini menjadi salah satu alasan bagi penyelenggara pemilu setiap memulai langkah. Kerja-kerja penyelenggara harus profesional dan proporsional.
Namun, Komisi Pemilihan Umum sepertinya khilaf di awal tahapan penyelenggaraan pemilu serentak 2019. KPU lalai dalam menerbitkan aturan teknis terkait pendaftaran calon peserta pemilu. KPU menerbitkan Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2017 dengan pemaksaan frasa ‘wajib’ untuk menghidupkan aplikasi Sistem Informasi Partai Politik, SIPOL.
Pertama, SIPOL tidak pernah muncul di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Sehingga penafsiran menggunakan kata ‘wajib’ dan ‘SIPOL’ sebagai alat verifikasi pendaftaran lemah secara hukum. Untuk lebih mudah, kita akan memulai pembahasan kelalaian KPU dengan teori hierarki peraturan perundang-undangan.
Hirarki Regulasi
Tokoh hukum mengenal kata hirarti peraturan perundang-undangan. Hens Kelsen adalah salah satu tokoh hukum yang mengajarkan adanya tingkatan dalam peraturan perundang-undangan. Teori hirarki peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa norma tertinggi adalah konstitusi. Kemudian badan legislasi, menurut Kelsen, memuat aturan turunan yang tidak boleh menggunakan norma lain atau norma yang lebih tinggi.
Tingkatan peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. urutan tingkatan terdiri dari UUD 1945, TAP MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
Untuk peraturan kepemiluan, urutannya adalah UUD 1945, UU 7/2017, PKPU/Perbawaslu. Logika pembentukan aturannya adalah UU Pemilu dibentuk atas perintah UUD. Nah, urusan teknis, KPU dan Bawaslu menerbitkan PKPU/Perbawaslu berdasarkan perintah UU Pemilu.
Akan tetapi, Bagir Manan (2004:56), menyatakan bahwa salah satu asas dalam proses produksi regulasi sangat penting. Bagir mengatakan bahwa asas lex specialis darojat legi generalis adalah asas yang penting dalam hukum positif. Aturan khusus mengesampingkan aturan yang umum.
Namun, Apabila ada pertentangan dalam dua undang-undang atau peraturan, maka harus dipastikan norma tertingginya. Setelah itu kita melihat peraturan dibawahnya. Bagir mengatakan bahwa pemahaman lex superior darojat legi infiori mengacu pada tertib hukum, yaitu asas pertingkatan. Lex superior darojat legi infiori berarti peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.
Dalam hal ini, saya ingin mengungkap persoalan tingkatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dengan PKPU Nomor 11 Tahun 2017. Terjadi pertentangan antara dua regulasi yang sudah jelas beda tingkatan secara asas hirarki peraturan perundang-undangan. Di dalam UU Pemilu, khususnya Pasal 173 sampai dengan Pasal 176, mengatur terkait peserta pemilu.
UU Pemilu tidak pernah mewajibkan calon peserta pemilu dalam hal mengikuti SIPOL. Parpol cukup memenuhi syarat yang termuat dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017. Di luar ketentuan itu dianggap tidak ada atau tidak berlaku. Meskipun Pasal 174 ayat (1), (2) dan (3) UU 7/2017 mengatur terkait ‘melakukan penelitian keabsahan abministrasi yang teknisnya diatur dalam PKPU’.
Tetap saja, KPU harus mengetahui bahwa kata ‘wajib’ mengikuti SIPOL yang termuat di Pasal 13 ayat (1) PKPU 11/2011 bisa dikatakan sebuah ‘kelalaian’. Karena KPU sebagai badan penerbit regulasi aturan teknis pemilu dianggap menyalahi aturan tertib tingkatan regulasi. KPU membuat norma baru (wajib) yang tidak diatur dalam norma UU Pemilu.
Ranah Gugatan
Oleh sebab itu, KPU akan menghadapi gugatan atas kelalaiannya tersebut. Menurut saya, gugatan atas PKPU 11/2017 ini terdiri dari gugatan ke ruang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan Mahkamah Konstitusi.
Parpol bisa saja melaporkan KPU ke Bawaslu dan DKPP. Alasannya adalah KPU tidak menjalankan asas profesionalitas dan proporsionalitas dalam membahas dan menerbitkan PKPU. sehingga, KPU memuat aturan yang melanggar tata cara dan tertib tingkatan peraturan perundang-undangan.
Saut H. Sirait, anggota DKPP periode 2012-2017, pernah mengingatkan bahwa dua dari 12 modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu terkait profesionalitas. Pertama, tidak teliti atau tidak cermat (sloppy) yang dapat menimbulkan kesalahan dalam proses pemilu. Kedua, tidak memperbaiki kesalahan (absence of fault remedies) yaitu kesalahan yang dapat ditolerir sejauh tidak merusak integritas, krebiltas dan kemandirian penyelanggara pemilu.
Dengan menggunakan dua modul dan dua asas, partai politik dan bisa melapor ke Bawaslu lalu ke DKPP. Atau Parpol dan Bawaslu sama-sama melaporkan KPU ke DKPP. Mengingat proses yang hampir sama waktu KPU di gugat pada tahun 2012 soal pendaftaran peserta pemilu 2014. Saya menilai, para penggugat akan mengulang aktifitas tersebut.
Selain itu, Bawaslu juga menyatakan bahwa SIPOL tidak diatur dalam UU Pemilu. Sehingga tidak ada kewajiban Bawaslu untuk mengawasi proses aktifasi SIPOL. Potensi Bawaslu menyurati atau melaporkan KPU ke DKPP sangat besar. Terlebih, PKPU 11/2017 baru seminggu diterbitkan yang membuat Bawaslu ‘terpaksa’ maraton memuat Perbawaslu mengawasi SIPOL.
Adapun gugatan kedua adalah ranah sengketa di Mahkamah Konstitusi. Tahun 2012, Yusril Ihza Mahendra berhasil memenangi judicial riview atas ketentuan syarat peserta pemilu. Dengan kecerobohan KPU yang melupakan asas profesionalitas dan proporsionalitas menerbitkan PKPU 11/2017.
KPU sepertinya lupa keberadaan PBB yang dipimpin oleh Yusril Ihza Mahendra. Di tambah pengalaman Yusril dalam hal gugat-menggugat di MK. Terlebih saat menggugat peserta pemilu 2014 pada tahun 2012. Kemungkinan MK memenangkan gugatan Yusril dengan objek PKPU 11/2017, cukup besar.
Terakhir, apabila MK membatalkan PKPU 11/2017, gugatan ke DKPP bisa ditambah. Dengan demikian, dua sanksi peringatan bisa berubah menjadi sanksi keras. Saya berharap KPU sudah menyiapkan kemungkinan terburuk atas blunder SIPOL.
…………………………………………………………………………………………………………………………….
Andrian Habibi adalah paralegal di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional dan Deputi Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia juga Fungsionaris Bidang Hukum dan Ham Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Saat ini Andrian Habibi berstatus mahasiswa Paskasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya dengan program khusus Hukum Tata Negara. Sehari-hari menulis opini terkait hukum, ham, pemilu dan politik. Informasi selanjutnya bisa dilihat melalui http://www.andrianhabibi.com, atau email ke andrianhabibi@gmail.com dan telp/WA ke nomor 085364472778.