Fenomena politik selebritas di Indonesia mencerminkan pergeseran lanskap representasi publik, di mana popularitas dan daya tarik media sering kali menjadi modal utama untuk masuk ke arena kekuasaan politik. Sejak era reformasi, partai-partai politik mulai merekrut figur publik; artis, presenter, musisi, bahkan influencer digital,sebagai calon legislatif, dengan harapan dapat menarik suara dari basis penggemar mereka. Strategi ini bukan hanya menunjukkan krisis kaderisasi dalam tubuh partai, tetapi juga mengindikasikan bagaimana politik semakin dipengaruhi oleh logika pencitraan dan konsumsi visual.
Dalam banyak kasus, selebritas yang terpilih menghadapi tantangan besar dalam menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan. Minimnya pengalaman politik dan pemahaman struktural membuat mereka kesulitan beradaptasi dengan ritme kerja parlemen. Akibatnya, muncul kritik dari publik dan media tentang dangkalnya representasi politik, serta kekhawatiran bahwa parlemen berubah menjadi panggung performatif alih-alih ruang deliberatif. Fenomena ini membuka pertanyaan penting: apakah demokrasi kita sedang bergeser dari partisipasi yang sifatnya substantif atau sekadar keterlibatan simbolik?
Sejumlah artis Indonesia telah menapaki jalur politik dengan latar belakang dan motivasi yang beragam, mencerminkan dinamika antara popularitas dan representasi publik. Figur seperti Ahmad Dhani dan Mulan Jameela, yang terpilih melalui Partai Gerindra, menunjukkan bagaimana basis penggemar dapat dikonversi menjadi kekuatan elektoral. Uya Kuya dan Astrid Kuya, yang sempat menjabat di DPR dan DPRD lewat PAN, menjadi sorotan karena keterlibatan mereka dalam isu tunjangan parlemen dan kemudian dinonaktifkan oleh partai.
Di sisi lain, ada sosok seperti Rieke Diah Pitaloka dan Komeng yang berhasil membangun citra sebagai politisi yang vokal dan dekat dengan isu rakyat, dari buruh hingga kesejahteraan masyarakat kecil. Krisdayanti, dengan keterbukaannya soal gaji DPR, memicu diskusi publik tentang transparansi lembaga legislative, dan ada juga mantan presenter om Farhan yang cukup sukses menjadi anggota dewan dan kemudian saat ini terpilih menjadi walikota kota Bandung.
Fenomena ini menunjukkan bahwa transisi dari dunia hiburan ke politik bukan sekadar soal citra, tetapi juga soal kapasitas dan komitmen personal. Ketika selebritas mampu melampaui persona panggung dan terlibat dalam kerja legislasi yang nyata, mereka berpotensi menjadi jembatan antara elite dan rakyat yang tepat. Namun jika hadir tanpa kesiapan dan kesadaran politik yang kuat, risiko terjebak dalam politik pencitraan tetap tinggi dan besar kemungkinan untuk tumbang.
Generalisasi bahwa semua selebritas tidak memahami politik kenegaraan tentu keliru. Justru, anggapan semacam itu mengaburkan kompleksitas peran figur publik dalam politik. Ada selebritas yang masuk ke dunia politik dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab representasi, bahkan membekali diri dengan pendidikan, pengalaman advokasi, atau kerja komunitas yang substansial. Beberapa di antaranya bahkan telah aktif dalam isu sosial, lingkungan, ekonomi atau pendidikan jauh sebelum terjun ke parlemen, dan mampu menjembatani komunikasi antara elite politik dan masyarakat akar rumput.
Namun tantangannya terletak pada bagaimana sistem politik kita menilai kapasitas. Apakah selebritas direkrut karena rekam jejak advokasi, atau sekadar karena daya tarik elektoral? Di sinilah pentingnya membedakan antara figur publik yang menjadikan popularitas sebagai alat perubahan, dan mereka yang hanya menjadi simbol kampanye tanpa arah kebijakan yang jelas. Kritik terhadap politik selebritas bukan berarti menolak kehadiran figur publik, melainkan mendorong agar representasi politik dibangun atas dasar kompetensi, integritas, dan komitmen terhadap rakyat.
Politik pencitraan memang menjadi medan yang akrab bagi banyak selebritas ketika terjun ke dunia politik. Mereka sudah terbiasa membangun persona publik, mengelola persepsi, dan berinteraksi dengan massa melalui media sosial dan televisi. Ketika masuk ke ranah politik, strategi ini sering terbawa, bahkan diperkuat, karena sistem elektoral kita masih sangat bergantung pada popularitas dan daya tarik visual.
Namun, penting untuk dicatat bahwa politik pencitraan bukanlah sesuatu yang eksklusif bagi selebritas. Politisi konvensional pun kerap mengandalkan simbol, gaya berpakaian, narasi personal, dan gestur publik untuk membentuk citra. Bedanya, selebritas memiliki modal visual dan emosional yang lebih kuat sejak awal, sehingga risiko terjebak dalam performa tanpa substansi menjadi lebih tinggi jika tidak dibarengi dengan kapasitas dan komitmen politik yang jelas. Ada pula selebritas yang mampu melampaui pencitraan, menjadikan popularitas sebagai alat advokasi, membangun gerakan, atau menyuarakan isu-isu yang jarang mendapat perhatian. Tapi untuk itu, mereka harus berani keluar dari zona nyaman industri hiburan dan masuk ke ruang politik yang penuh tekanan, kompromi, dan tuntutan kerja nyata.
Banyak selebritas yang terjun ke dunia politik akhirnya “tumbang” karena tidak mampu menjembatani antara citra publik dan tuntutan kerja politik yang kompleks. Popularitas yang mereka miliki memang efektif dalam menarik suara, namun tidak selalu dibarengi dengan kesiapan menghadapi dinamika legislatif, birokrasi, dan tekanan publik. Politik bukan sekadar panggung, melainkan ruang kerja yang menuntut pemahaman struktural, konsistensi sikap, dan kemampuan merumuskan kebijakan.
Ketika selebritas gagal menunjukkan kapasitas tersebut, mereka rentan terhadap kritik, kehilangan dukungan partai, bahkan dicopot dari jabatan. Selain itu, ekspektasi publik terhadap figur populer cenderung tinggi, mereka diharapkan mampu menjadi suara rakyat, bukan sekadar simbol kampanye. Ketidaksesuaian antara persona hiburan dan peran politik sering kali memunculkan konflik citra, yang pada akhirnya merusak kredibilitas mereka.
Pada akhirnya, masuknya selebritas ke dunia politik bukanlah persoalan hitam-putih antara kapasitas dan citra, melainkan cerminan dari bagaimana demokrasi kita menilai representasi. Popularitas bisa menjadi pintu masuk yang sah, tetapi tanpa komitmen terhadap kerja legislasi dan pemahaman struktural, figur publik berisiko memperkuat politik pencitraan yang dangkal.
Penonaktifan sejumlah artis dari parlemen menunjukkan bahwa daya tarik media tidak selalu sejalan dengan tanggung jawab politik. Di tengah krisis kepercayaan terhadap lembaga politik, publik semakin menuntut representasi yang berbasis substansi, bukan sekadar simbol. Maka, tantangan ke depan bukan hanya bagi selebritas yang ingin berpolitik, tetapi juga bagi partai dan pemilih untuk membangun politik yang lebih kritis, inklusif, dan berorientasi pada kerja nyata.