Indonesia sebagai negara berkembang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data dari BPS, pada kuartal II tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,18%. Dari segi fisik, indikasi adanya pertumbuhan ekonomi terutama di daerah urban adalah tingginya intensitas pergerakan masyarakat.
Transportasi merupakan permintaan turunan yang artinya kebutuhan terhadap transportasi berasal dari kebutuhan terhadap pergerakan masyarakatnya. Tingginya pergerakan masyarakat menunjukan tingginya aktivitas ekonomi. Pergerakan bisa dilihat dari adanya perpindahan masyarakat untuk bekerja, sekolah, melakukan distribusi barang logistik, dll. Di daerah urban sistem pergerakan ini begitu kompleks. Banyaknya commuters, shoppers dan pelajar yang memerlukan pergerakan ke kawasan tujuannya membentuk sistem jaringan pergerakan dengan pola sendiri. Contoh apabila ada suatu perumahan, maka tentu akan ada pola pergerakan masyarakat yang keluar dari perumahan tersebut untuk bersekolah di tempat lain atau untuk bekerja di pusat kota.
Di negara-negara berkembang, permasalahan kemacetan sendiri disebabkan oleh banyak hal. Pendapatan rendah, urbanisasi yang sangat cepat, terbatasnya sumber daya, khususnya dana, kualitas dan kuantitas data yang berkaitan dengan transportasi, kualitas sumber daya manusia, tingkat disiplin yang rendah, dan lemahnya sistem perencanaan dan kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi semakin parah (Ofyar Z Tamin: 2000).
Kemacetan biasa terjadi ketika mayoritas pergerakkan dilakukan oleh kendaraan pribadi. Dengan demikian, jalanan tidak mampu melayani pergerakan dengan baik karena adanya overcapacity yang berujung pada kemacetan. Solusi paling sederhana dan fundamental dalam masalah ini tentu adalah dengan menyediakan layanan transportasi umum yang memadai. Transportasi yang bisa mengurangi kemacetan karena masyarakat beralih untuk menggunakan transportasi umum. Namun apakah benar demikian?
Rupanya implementasi dari solusi tersebut memiliki banyak sekali kendala. Yang lazim adalah persoalan tren masyarakat yang belum memiliki kecenderungan untuk mau menggunakan kendaraan umum. Kendala lain yang jarang dibahas adalah persoalan otoritas. Banyak sekali kebijakan untuk mengurangi, menguraikan, dan menyelesaikan masalah kemacetan ini namun terbatas oleh posisi seorang pemangku kebijakan. Mengambil contoh di kota Bandung, dulu penyediaan layanan Trans Metro Bandung (TMB) direncanakan untuk meniru Transjakarta dengan jalur khusus. Penyediaan jalur tersebut tidak dapat terlaksana karena jalanan yang cukup lebar untuk dibuat jalur khusus seperti jalan Soekarno – Hatta adalah jalan nasional dan otoritasnya tidak berada di bawah kota Bandung.
Alih-alih menjadi solusi kemacetan, transportasi umum malah menambah beban jalan. Adanya Trans Metro Bandung, Bus Damri, ditambah angkutan umum yang memiliki ratusan unit tiap trayek dan dengan tidak berkuranganya penggunaan kendaraan pribadi, malah memperparah kondisi kemacetan yang ada. Pada akhirnya masyarakat tetap menggunakan kendaraan pribadi karena pada dasarnya menggunakan transportasi umum tidak menjamin dapat mengantarkan mereka lebih cepat daripada menggunakan kendaraan pribadi.
Penyelesaian masalah kemacetan yang dilakukan masih bersifat parsial dan tidak sistemik. Akibatnya tujuan penyelesaiannya tidak tercapai. Ini adalah hasil dari ketidakpahaman terhadap sistem transportasi dan kurangnya kordinasi antar otoritas pemangku kebijakan.
Studi kasus di Kota Bandung
Bandung tidak pernah direncanakan sebagai kota metropolitan. Tujuan utama kota Bandung ketika dibangun adalah untuk tempat peristirahatan bagi para pedagang, turis, ataupun pemilik kebun. Oleh karena itu ruas jalan di kota Bandung cenderung pendek dan sempit. Adanya ketimpangan pembangunan antara kota Bandung dan sekitarnya menyebabkan masyarakat sekitar mencari pekerjaan di kota Bandung. Akhirnya, penduduk kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, dan Cimahi mencari nafkah di kota Bandung. Hal itulah yang menyebabkan Bandung menjadi kota metropolitan.
Pola pergerakan masyarakat di kawasan metropolitan Bandung hampir mirip dengan kota-kota besar pada umumnya. Penduduk sekitar yang bekerja di kota Bandung tentu melakukan pergerakan yang masif menuju pusat kota Bandung. Setiap pagi dari arah timur dan barat banyak sekali kendaraan yang menuju ke pusat kota Bandung. Pergerakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh mereka yang mencari nafkah di kota Bandung, namun juga dilakukan oleh mereka yang akan bersekolah ke kota Bandung. Menurut Prof Ofyar, setiap hari senin sampai jumat, di pagi hari pelajar dan pekerja bergerak serentak menuju pusat kota. Pergerakan tersebut terjadi di seluruh kota besar di Indonesia.
Adakah sesuatu yang bisa pemerintah lakukan setelah memahami pola pergerakan itu?
Rekayasa Jaringan Transportasi
Pola-pola pergerakan masyarakat tersebut dapat menjadi acuan untuk mengelola sistem jaringan transportasi. Secara umum bentuk campur tangan manusia pada sistem dimungkinkan dengan cara:
• mengubah teknologi transportasi
• mengubah teknologi informasi
• mengubah ciri kendaraan
• mengubah ciri ruas jalan
• mengubah konfigurasi jaringan transportasi
• mengubah kebijakan operasional dan organisasi
• mengubah kebijakan kelembagaan
• mengubah perilaku perjalanan
• mengubah pilihan kegiatan
(Ofyar Z Tamin: 2000)
Di Kota Bandung, terdapat kebijakan mengenai rayonisasi sekolah yang pernah dilakukan oleh walikota Bandung Ridwan Kamil untuk mengubah perilaku perjalanan. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi adanya pergerakan jarak jauh yang dilakukan oleh siswa sekolahan dengan cara mengutamakan siswa untuk bersekolah di sekolah yang dekat dengan rumahnya. Pendekatan yang diambil Ridwan Kamil secara teknis sudah tepat meski belum bisa mengurangi kemacetan secara efektif.
Solusi lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan memaksimalkan pemerataan pendidikan. Setiap sekolah dibuat dengan fasilitas yang sama agar pelajar dapat menuntut ilmu di sekolah terdekat. Pemerataan pembangunan harus dilakukan agar tidak ada lagi ketimpangan sehingga masyarakat beramai-ramai mencari nafkah di sana. Namun ini adalah solusi jangka panjang.
Diperlukan kerjasama antar pemangku kebijakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta pemahaman secara teknis terhadap masyarakat dan kotanya. Koordinasi pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus lebih kuat. Sebab banyak sekali kebijakan yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengurangi kemacetan di daerahnya seperti kebijakan mempersulit kredit kendaraan, meningkatkan pajak, dan kebijakan lainnya yang dapat mengurangi jumlah kendaraan pribadi di jalan raya.
Solusi kemacetan memerlukan terobosan baru dan tidak bisa hanya dengan menyediakan transportasi umum. Seperti walikota Bandung yang telah melakukan pendekatan teknis untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan yang ada.
Daftar Pustaka:
Tamin, Ofyar Z. 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi: Edisi Kedua. Bandung. Penerbit ITB