Di Indonesia, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) diperingati setiap tahun. Momen ini digunakan untuk merenungkan bahaya tersembunyi dari krisis politik yang muncul dari berbagai kemungkinan faktor. Setiap tahun perdebatan tentang faktor penyebab dan siapa yang harus bertanggung jawab atas peristiwa G30S dan peristiwa di baliknya selalu menjadi perdebatan yang sangat hangat dan menimbulkan perdebatan yang cukup serius di berbagai kalangan.
Di tempat lain di dunia, terutama di Afrika, pelajaran penting telah dipelajari dari manajemen konflik. Misalnya genosida antara suku Hutu dan Tutsi di Rwanda pada akhir abad ke-20. Sekitar 800 ribu orang Tutsi meninggal karena pembunuhan berantai oleh Hutu.
Konflik yang awalnya muncul dari krisis kepercayaan antara kedua suku terhadap kepemimpinan nasional, dengan “bumbu” politik identitas, membuka mata dunia internasional bahwa segala bentuk identitas harus dihindari. Pada saat yang sama, kesatuan bangsa harus dipelajari dalam kaitannya dengan nasionalisme etnis untuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan pemisahan diri yang muncul kemudian.
Dalam analisis konflik etnis yang terjadi di Rwanda yaitu etnis Hutu dan Tutsi digunakan level individu, karena konflik yang terjadi merupakan konflik internal antar kelompok yang terjadi di negara tersebut. Fokus utama dari konflik ini adalah genosida dua suku yang saling bermusuhan, karena kesalahan yang menyebabkan terjadinya genosida adalah faktor sejarah.
Penyebab pertama konflik adalah kecemburuan dan ketidaksetaraan sosial antara Hutu dan Tutsi pada periode pasca-Perang Dunia II. Pada saat itu, Rwanda adalah perwalian Belgia di bawah mandat LBB. Selama Belgia berkuasa, mereka lebih menyukai Tutsi daripada Hutu, dan mereka sering menerima pendidikan dan kehidupan yang layak sebagai Hutu, menciptakan ketegangan antara kedua kelompok etnis tersebut.
Dalam konflik etnis ini, kekuasaan menjadi sarana perebutan kekuasaan karena pihak lain merasa tidak aman atau ada ketidaksetaraan. Dalam Foundations of International Relations karya Umar Suryadi Bakr, kekuasaan sering dikaitkan dengan sebuah teori penting hubungan internasional, yaitu realisme, yang menganggap bahwa seorang aktor bertindak untuk memaksimalkan kekuasaannya agar dapat mencapai tujuannya dengan baik.
Menurut Hans J. Morgenthau, kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kepentingan nasional. Suku Hutu menggunakan kekuasaannya untuk mencapai suatu tujuan, yaitu menunjukkan bahwa ketimpangan sosial yang ada harus dihapuskan.
Politisasi dan Nasionalisme Etnis
Gilroy dan Wright menulis argumen tentang politisasi etnis yang dapat menimbulkan perasaan eksklusivitas ketika berbicara tentang suatu bangsa atau kebangsaan suatu negara.
Selain itu, politisasi bangsa dapat diilustrasikan dengan pengelompokan masyarakat ke dalam berbagai suku bangsa, contoh paling sederhana adalah politik yang mencantumkan kewarganegaraan pada kartu identitas. Motif asli kemunculan Hutu adalah kecemburuan sosial, karena suku Tutsi dianggap menguasai sektor ekonomi negara dan bercokol di pemerintahan.
Politisasi etnis dapat meningkat sangat tergantung pada skala kampanye, sedangkan aksi Hutu melawan Tutsi terstruktur, sistematis dan masif, menyebabkan konflik memanifestasikan dirinya dalam perasaan kebencian rasial.
Pandangan Yun dan Synder bahwa etnonasionalisme yang dibentuk oleh isu rasial dapat berdampak signifikan terhadap preferensi politik dalam skala luas. Hal ini dibuktikan dengan propaganda yang dilancarkan oleh Hutu dalam program radio dan majalah Kangura yang merupakan anak perusahaan dari majalah Kanguka.
Bertindak atas propaganda dua media, sayap Interahamwe dari partai yang berkuasa di Rwanda segera membunuh komunitas Tutsi dan memperkosa hampir 500.000 wanita Tutsi.
Nasionalisme etnis secara alami berkembang dalam konteks genosida dan memengaruhi wacana arus utama secara negatif untuk mendukung Hutu melawan Tutsi dan Twa.Semua gerakan perlawanan dilakukan oleh Tutsi, yang tidak memiliki kepentingan lain selain mengembalikan negara ke keadaan semula.
Paul Kagame kemudian membentuk Front Patriotik Rwanda, yang mendapat dukungan penuh dari komunitas internasional. Tak lama kemudian, pasukan penjaga perdamaian PBB segera bergabung, meski tak luput dari sasaran Interahamwe. Akibat konflik ini, banyak orang Tutsi dan Rwanda pada umumnya berusaha menghindari dampak yang lebih besar dengan mengungsi ke luar negeri. Salah satu negara yang memiliki banyak Rwanda adalah Zaire.
Gacaca: Bentuk Rekonsiliasi Tradisional
Konflik berkepanjangan di tahun 1990-an ini menemukan catatan bersama ketika RPF yang dipimpin oleh Kagame merebut kembali ibu kota, Kigali, dan segera mendeklarasikan perdamaian.
Setelah proklamasi perdamaian, diketahui bahwa pemerintah yang dipimpinnya langsung melancarkan kampanye rekonsiliasi meski Houthi kalah dalam perang. Meskipun demikian, penegak hukum terus memastikan bahwa calon pembunuh menerima hukuman yang sesuai atas tindakan mereka. Para tergugat memperoleh vonis yang menguntungkan.
Kemudian, untuk mempertahankan pemerintahan yang menunjukkan representasi yang adil, suku Hutu, yang digolongkan dengan ide-ide moderat, dimasukkan ke dalam pemerintahan. Tahap ini kemudian disebut akomodasi.
Gacaca adalah sistem tradisional yang memungkinkan orang saling memaafkan dan melupakan kesalahan terkait peristiwa menyedihkan antar tetangga. Perusahaan ini dianggap khas Rwanda.
Dalam artikel ini, penulis menjawab pertanyaan bagaimana konflik suku Hutu dan Tutsi di Rwanda dapat dijelaskan dengan politisasi etnis di era pascakolonial melalui studi kualitatif eksplanatori.
Dalam artikel yang secara kronologis dan historiografis dibahas dari berbagai dimensi hingga akhir kehidupan di Rwanda pasca-konflik, penulis dapat menyimpulkan bahwa ada politisasi etnis yang nyata yang akan mempengaruhi nasib negara Rwanda di masa depan. menunjukkan kehadirannya di antara negara-negara Afrika.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, rekonsiliasi, adaptasi dan Gacaca merupakan bentuk penyelesaian konflik yang terjadi di Rwanda. Artikel ini mengandung beberapa makna yang dapat diberikan kepada khalayak luas. Pertama, untuk perbandingan dengan konflik sejenis di Indonesia.
Kedua, ia menawarkan solusi alternatif terhadap konflik yang menekankan masyarakat sipil sebagai subjek yang memposisikan diri sebagai objek selama konflik. Ketiga, pelajari pelajaran berharga dari konflik tersembunyi yang dapat meningkat dari percikan serupa, seperti kasus Hutu-Tutsi di Rwanda.