Sabtu, April 27, 2024

Tragedi, Refleksi atas Kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610

Trio Kurniawan
Trio Kurniawan
# Dosen Filsafat di STKIP Pamane Talino Ngabang # Penulis Buku "Filsafat Pendidikan Demokratis-Deliberatif # "Kepala Sekolah" di Kelas Filsafat-Teologi Katarina Siena

“Ketika kita menemui tragedi nyata di dalam hidup, kita bisa bereaksi dalam dua cara; dengan kehilangan harapan dan jatuh ke dalam kebiasaan yang menghancurkan, atau dengan menggunakan tantangan tersebut untuk menemukan kekuatan batin kita. – Dalai Lama XIV-

Mari sejenak kita berdiam diri. Mengheningkan cipta. Menyatukan doa bagi segenap korban tragedi jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 beberapa waktu lalu. Mari kita bersama-sama merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Pencipta agar para korban diampuni segala dosa dan kesalahannya. Tak lupa kita juga menyatukan penderitaan dan duka keluarga yang ditinggalkan ke dalam diri kita. Ini adalah tragedi kita bersama.

Saya juga mengajak kita berdoa bagi manusia-manusia picik dan tidak berperikemanusiaan yang mengeksploitasi tragedi ini ke dalam persoalan politik. Kita berdoa agar nalar dan nurani mereka ditajamkan sehingga mampu peduli terhadap mereka yang berduka. Manusia-manusia picik semacam ini tampaknya kurang merasakan kasih sayang dan doa dari sesamanya sehingga tidak mampu berempati pada sesamanya yang kehilangan.

Saya tidak akan mengajak kita semua untuk memaknai data-data, mengkalkulasi kerugian atau memberikan solusi teknis kepada dunia penerbangan agar peristiwa semacam ini tidak terjadi lagi. Hal-hal semacam itu sangatlah jauh dari kapasitas saya. Sejenak saya mengajak kita melihat arti sebuah tragedi dalam konteks kecelakaan pesawat JT 610: Mengapa ada tragedi? Apa yang bisa kita selami dari tragedi? Di mana Tuhan saat tragedi terjadi?

Tragedi adalah sebuah peristiwa yang sangat menyedihkan. Tragedi selalu bersahabat dengan kematian dan duka yang mendalam. Tragedi tidak pernah mampu duduk bersama dengan tawa kebahagiaan. Ia menusuk sanubari manusia sampai terluka sehingga manusia merasa tak berdaya. Itu sebabnya ketika ada manusia yang mampu mempolitisasi tragedi demi tujuan kekuasaan dan tertawa di atasnya, ia sesungguhnya belum mampu menyelami kehidupannya secara lebih mendalam. Ia adalah manusia dangkal.

Dalam kebudayaan Yunani Klasik (bahkan hingga di seluruh dunia saat ini), tragedi kehidupan manusia dimasukkan ke dalam drama atau puisi. Plato, seorang filsuf Yunani Klasik, dalam buku kedua dan ketiga Republic mengatakan bahwa tidak ada satu puisipun yang mampu menggambarkan berat dan duka sebuah tragedi. Tragedi adalah sebuah bagian pahit dari peziarahan manusia.

Sedikit berbeda dari Plato, Martin Heidegger (Being and Time, 1996) melihat tragedi dalam perspektif yang lebih menyeluruh dalam peziarahan manusia. Tragedi yang berujung pada kematian, menurut Heidegger, adalah bagian dari perjalanan manusia untuk menjadi sejati, menjadi otentik. Kita mungkin kemudian bertanya: mengapa harus sebuah kematian yang tragis? Mengapa harus lewat kecelakaan? Mengapa bukan sebuah kematian yang tenang?

Bagi Heidegger, inilah poin penting sebuah kematian, sebuah  tragedi yang menyesakkan hati. Manusia tidak pernah tahu kapan kematian datang dan membuka tangannya untuk menyambut manusia. Oleh karena itu, manusia harus selalu bersiap. Manusia harus selalu berupaya untuk menjadi otentik setiap hari sehingga kapanpun kematian datang manusia selalu siap menyambutnya dengan senyuman. Prof. Armada Riyanto (Guru Besar Filsafat di STFT Widya Sasana Malang) pernah mengatakan: “Mengapa harus takut pada kematian? Bukankah mati berarti pulang dan disambut dengan pelukan?”.

Kutipan Dalai Lama XIV pada bagian awal di atas bisa menjadi panduan bagi kita dalam menyikapi tragedi kecelakaan pesawat Lion Air JT 610: atau menghancurkan diri atau memiliki harapan? Tragedi ini sangat mungkin merusak kehidupan manusia dan imannya. Namun di satu sisi, tragedi ini juga bisa menjadi kesempatan bagi manusia untuk membangun harapan akan kehidupan yang lebih baik.

Manusia tidak bisa menghindari tragedi. Manusia juga tidak akan mampu untuk selalu menyalahkan Tuhan atas segala tragedi dan kematian. Tragedi adalah bagian dari kehidupan manusia. Hari ini mungkin saja mereka, besok bisa jadi kita yang dipeluk tragedi. Secara filosofis, tragedi tidak serta-merta dialamatkan kepada Tuhan. Tragedi mungkin saja adalah sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi manusia untuk bisa saling peduli, saling berempati. Tragedi juga menjadi ruang bagi manusia untuk memurnikan dirinya, menjadi otentik. Tragedi adalah bagian dari kehidupan kita.

Sekali lagi, doa kami bagi mereka yang berduka.

BACAAN:

Heidegger, Martin, 1996. Being and Time (trans. Joan Stambaugh). Albany: State University of New York.

Platon. 1997. Plato Complete Works (Ed. John M. Cooper). Indianapolis: Hackett Publishing Company.

_______. 1945. The Republic of Plato (trans. F.M. Cornford). New York: Oxford UP.

Sumber Grafis: http://www.kedaipena.com/penjelasan-kemenhub-soal-pesawat-jt-610-rute-jakarta-pangkal-pinang/

Trio Kurniawan
Trio Kurniawan
# Dosen Filsafat di STKIP Pamane Talino Ngabang # Penulis Buku "Filsafat Pendidikan Demokratis-Deliberatif # "Kepala Sekolah" di Kelas Filsafat-Teologi Katarina Siena
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.