Kamis, April 25, 2024

Tragedi Kanjuruhan, Salah Siapa?

Reza Raring
Reza Raring
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, Fakultas Hukum. instagram : @pur.reza

Laga lanjutan BRI Liga 1 2022/2023 pada pekan ke-6 harus dihentikan untuk sementara waktu. Hal tersebut merupakan imbas dari peristiwa yang terjadi pada laga Arema Vs Persebaya (1/10) lalu. Dimana pada laga tersebut Persebaya berhasil mencuri 3 poin dari rival abadinya dengan skor akhir Arema 2 – 3 Persebaya. Pertandingan dengan tensi panas tersebut sebetulnya sudah diantisipasi dari pihak panitia lokal dan PT LIB dengan menyiagakan personel sebanyak 2.034 guna mengawal laga tersebut.

Persebaya berhasil mematahkan rekor tak pernah menang di kandang Arema selama 23 tahun lamanya. Rekor manis yang ditoreh Persebaya ini, berbanding terbalik dengan Arema. Tren buruk Arema dari beberapa laga sebelumnya, ditambah dengan putusnya rekor “tak pernah kalah di kandang” saat melawan Persebaya lalu, membuat beberapa dari Aremania meluapkan kekecewaannya.

Sesaat setelah peluit panjang dibunyikan, para pemain Persebaya dan official team dari Persebaya segera masuk ke dalam stadion guna meminimalisir hal yang tidak diinginkan. Berbeda dengan Persebaya, para pemain dan official team dari Arema memutuskan untuk tetap berada di lapangan guna memberikan simbolik “maaf” kepada para pendukungnya karena telah mengalami kekalahan tersebut, dimana tidak lama dari itu, beberapa Aremania ada yang menorobos masuk untuk menghampiri pemain dan official team dari tim kebangaannya tersebut hanya untuk sekedar memberi semangat atau untuk mengkritik.

Kondisi yang dinilai semakin tidak kondusif tersebut, membuat terjadinya pergesekan antara pihak keamanan dengan Aremania. Terlihat dalam beberapa video yang tersebar di internet, ada beberapa suporter yang memaksa masuk yang kemudian dihalau oleh pihak kepolisian. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya pergesekan antara polisi dan Aremania sehingga terjadi beberapa kali pemukulan terhadap suporter tersebut.

Beberapa penonton lain yang tetap berada di tribun sebelumnya mulai emosi karena melihat kejadian pemukulan serta penendangan tersebut, akhirnya memutuskan untuk ikut turun ke lapangan.

Sehingga puncaknya, pihak kepolisian memutuskan mengeluarkan tembakan gas air mata yang diarahkan ke tribun penonton, sehingga terjadi beberapa penonton yang berdesekan dan berakibat kematian. Hingga tulisan ini dibuat (Senin, 3 Oktober 2022) jumlah korban jiwa mencapai 182 orang. Jumlah tersebut menjadikan Tragedi Kanjuruhan sebagai Tragedi Sepakbola terbesar nomor 2 yang pernah terjadi di dunia.

Perilaku suporter yang memasuki lapangan memang bukanlah sebuah tindakan yang dapat dibenarkan. Tindakan tersebut tentunya melanggar peraturan, apalagi hingga pelaku yang melakukan tindak anarkis.

Pihak kepolisian yang melakukan pemukulan atau bahkan penendangan juga menjadi pemantik dari para penonton lainnya. Para penonton lainnya yang tetap berada di Tribun, memutuskan untuk ikut masuk ke dalam lapangan karena adanya tindakan dari polisi maupun TNI yang melakukan pemukulan tersebut. Sifat arogansi dari pengamanan sebenarnya sudah disorot jauh hari oleh masyarakat luas Indonesia, karena pada contoh kasusnya sering terjadi tindak arogansi tersebut kepada masyarakat luas.

Hal lain yang disorot adalah penggunaan senjata gas air mata. Dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 dijelaskan bahwa penggunaan dari gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa di dalam stadion. Namun, menurut KAPOLDA Jawa Timur, justru menyatakan bahwa penggunaan gas air mata telah sesuai dengan prosedur.

Sebenarnya pelarangan akan penggunaan gas air mata saat pengamanan laga sepakbola sudah pernah terjadi. Bahkan sebelumnya pada final leg Piala Presiden yang dihelat pada tanggal 12 April 2019 lalu, yang juga mempertemukan kedua tim antara Arema Vs Persebaya, di Stadion Kanjuruhan, telah mendapatkan arahan dari Mabes Polri agar pengamanan tidak menggunakan Gas Air Mata. Karena dapat menimbulkan kepanikan dari para penonton.

Hal tersebut sebenarnya sudah dapat disadari oleh pihak kepolisian pada tahun 2019 lalu. Namun, berbeda pada tahun ini dimana pihak kepolisian justru menggunakan gas air mata guna mengamankan situasi penonton. Seharusnya menjadi pertanyaan besar, kenapa keputusan dari pertandingan yang mempertemukan dua tim yang sama, di tempat yang sama, justru berbeda regulasinya di tahun ini?

Keputusan untuk menembakkan gas air mata juga patut dipertanyakan tujuannya. Arah penembakan gas air mata ke arah tribun penonton pun harusnya dapat dipikirkan dahulu terkait sebab-akibat yang akan terjadi pada penonton yang masih berada di tribun. Tindak anarkis yang terjadi justru terdapat di dalam lapangan, bukan di atas tribun penonton, sehingga alasan guna menenangkan situasi anarkisme, tidak dapat diterima.

Alternatif penggunaan cara lain, sebenarnya dapat diterapkan oleh pihak kepolisian. Dimana pihak kepolisian dapat mengupayakan untuk menurunkan tim K9 yaitu tim yang berfokus pada anjing pelacak. Dapat diketahui bahwa masyarakat Indonesia kebanyakan masih takut dengan anjing, terlebih lagi anjing pelacak yang memiliki pengalaman dan dilatih oleh kepolisian seharusnya dapat menjadi opsi untuk menenangkan situasi para penonton.

Snowball Effect ini dapat dilihat dari terjadinya penerobosan penonton yang masuk ke lapangan yang diperparah dengan perlakuan arogansi dari pihak keamanan yang memantik amarah dari penonton lainnya dan diperparah oleh penembakan gas air mata ke arah tribun penonton lah yang mengakibatkan terjadinya Tragedi Sepak Bola Terbesar di dunia nomor dua ini, tak bisa dihindarkan.

Sikap arogansi dari pihak kepolisian sebenarnya sudah menjadi pembicaraan masyarakat luas sebenarnya telah lama terjadi hingga sekarang. Kepolisian yang sebenarnya merupakan salah satu struktur negara yang berhadapan langsung kepada masyarakat haruslah di seleksi dengan lebih selektif kembali.

Karena, anggota kepolisian nanti akan diberi wewenang dan hak untuk menggunakan senjata. Hak dan wewenang tersebut dapat terjadi penyelewengan apabila diberikan kepada orang yang tidak pantas mendapatkan hak dan wewenang tersebut. Contoh kasus lain dapat dilihat dari kasus yang terjadi pada Ferdy Sambo yang menembak salah satu anak buahnya.

Tragedi Kanjuruhan seperti puncak gunung es. Selain kasus dari Ferdy Sambo sebelumnya, kasus ini juga membuktikan bahwa kinerja dari Kepolisian Republik Indonesia kedepan haruslah lebih baik lagi. Karena sifat arogansi para oknum tersebut sering memicu suatu masalah ditambah pemberian wewenang kepada orang yang berisiko untuk melakukan penyelewengan wewenang harus diminimalisir seminim mungkin dan sedini mungkin, sehingga kepolisian dapat bekerja sebagaimana tugasnya yang melindungi dan mengayomi masyarakat dapat tercapai dan kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat kembali.

Reza Raring
Reza Raring
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, Fakultas Hukum. instagram : @pur.reza
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.