Jumat, Juni 27, 2025

Tradisi Gotong Royong di Tanah Minang: Mengantar Mimpi Tan Malaka

- Advertisement -

Pada tahun 1897, seorang anak bernama Sutan Ibrahim lahir di sebuah desa kecil di Sumatera Barat. Kelak, ia dikenal sebagai Tan Malaka, tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Saat remaja, Tan Malaka menempuh pendidikan di Kweekschool, sekolah guru negara di Fort de Kock. Karena dinilai cerdas, gurunya menyarankan agar ia melanjutkan studi ke Belanda. Warga desa tempat ia tinggal kemudian bergotong royong mengumpulkan uang agar Tan Malaka bisa berangkat ke Eropa. Lebih dari satu abad kemudian, kisah serupa kembali terjadi.

Lebih dari satu abad berselang, semangat serupa kembali hidup di kampung yang berbeda. Di Nagari Malalak Timur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, warga ikut membantu biaya keberangkatan Devit Febriansyah, seorang anak kuli angkut dan tukang sisir kulit kayu manis, yang diterima kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) lewat jalur SNBP. Ada yang menyumbang puluhan ribu, ada yang jutaan, semuanya demi satu tujuan: agar Devit bisa menggapai cita-citanya.

Baik Tan Malaka maupun Devit datang dari keluarga sederhana namun punya semangat belajar yang kuat. Meski terpaut waktu lebih dari seabad, keduanya mendapat dukungan yang sama dari lingkungan sekitar. Cerita ini tidak berdiri sendiri, karena gotong royong memang telah lama menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat Minangkabau.

Nilai Gotong Royong yang Masih Hidup

Gotong royong bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Di banyak daerah, nilai ini diwariskan lintas generasi sebagai bentuk kepedulian bersama. Salah satu yang masih memelihara semangat ini dengan kuat adalah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Dalam budaya Minang, konsep gotong royong dikenal dengan sebutan “batolong-tolongan”, atau “saling bantu”. Masyarakat di sana terbiasa bekerja bersama dalam kegiatan adat, keagamaan, hingga hal-hal yang menyangkut masa depan anak-anak di kampung.

Tradisi ini terlihat jelas dalam kisah Devit Febriansyah. Saat keluarga Devit kesulitan membiayai kuliah ke ITB, warga Nagari Malalak Timur secara sukarela menggalang dana. Semua murni dari kesadaran bersama bahwa keberhasilan Devit bukan hanya milik keluarganya, tapi juga kebanggaan seluruh kampung. Di Minang, keberhasilan seorang anak berarti keberhasilan nagari.

Simbol gotong royong yang mencolok dalam budaya Minangkabau adalah tradisi batagak kudo-kudo, yakni prosesi menegakkan tiang Rumah Gadang secara bersama-sama oleh warga kampung. Istilah ini berasal dari kata batagak yang berarti “menegakkan” dan kudo-kudo yang merujuk pada struktur utama penyangga atap rumah. Tradisi ini telah berlangsung selama berabad-abad, khususnya di wilayah Padang Pariaman, dan menjadi bagian penting dari kehidupan sosial masyarakat Minang.

Prosesi biasanya diawali dengan doa serta ucapan syukur, lalu masyarakat bergotong royong mengangkat kayu-kayu penyangga atap dengan semangat kebersamaan. Diiringi musik tradisional dan sorak semangat, tiang-tiang tersebut ditegakkan menjadi fondasi rumah gadang yang akan menjadi tempat berkumpul dan berlindung bagi keluarga besar. Tradisi ini bukan hanya soal ritual atau tradisi dalam membangun rumah adat, tetapi juga perwujudan dari semangat kerja sama dan solidaritas masyarakat Minangkabau.

Cerita yang terjadi pada Tan Malaka dan Devit mengingatkan kita bahwa nilai-nilai masyarakat lokal seperti gotong royong masih terus hidup dan relevan. Bahkan ketika sistem yang ada belum bisa menjangkau semua lapisan, masyarakat tetap bergerak atas inisiatif sendiri. Gotong royong bukan hanya soal membantu, tapi juga bentuk dukungan moral dan sosial terhadap mereka yang punya mimpi besar namun terbentur keterbatasan.

Harapan yang Bertahan Berkat Kebersamaan

Tradisi gotong royong yang masih hidup hingga kini tidak hanya mencerminkan solidaritas yang masih hidup, tetapi juga menjadi penanda betapa pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Ketika akses pendidikan yang merata masih menjadi tantangan, terutama di daerah pelosok, masyarakat justru menunjukkan inisiatif luar biasa untuk mengatasi keterbatasan itu secara mandiri. Kisah Devit menjadi contoh nyata bahwa di tengah keterbatasan ekonomi dan jauhnya akses ke pendidikan yang unggul, masyarakat tetap bergerak bersama agar satu anak bisa melanjutkan mimpinya.

Namun, di balik kisah yang menyentuh itu tersimpan sebuah ironi. Ketika negara belum sepenuhnya mampu hadir di setiap sudut kehidupan rakyatnya, masyarakatlah yang mengambil alih peran, seolah mengatakan bahwa pendidikan tetap harus berjalan, bagaimanapun caranya. Hal ini menjadi ruang refleksi bersama bahwa sekuat apa pun nilai gotong royong dan solidaritas masyarakat, peran negara tetap-lah vital untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia dari kota hingga pelosok kampung memiliki peluang yang setara untuk mengenyam pendidikan. Jika kita menoleh kembali ke akar semangat ini, masyarakat minang telah memberikan contoh konkret bagaimana nilai tersebut ditanam sejak dini.

- Advertisement -

Di tanah Minang, gotong royong telah menjadi napas kehidupan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi seperti batagak kudo-kudo menjadi bukti bahwa kebersamaan telah menjadi budaya yang hidup dan menyatu dalam keseharian masyarakat. Gotong royong tak hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga menjadi kekuatan yang menjaga harapan agar tetap menyala, terutama bagi mereka yang hidup dalam keterbatasan. Semangat ini perlu terus dialirkan, dijaga, dan dikobarkan sebagai bagian dari identitas masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan.

Kisah Tan Malaka dan Devit menjadi potret nyata bahwa solidaritas masyarakat tidak pernah lekang oleh waktu. Keduanya lahir dari kesederhanaan, namun dibesarkan oleh keyakinan bersama bahwa pendidikan adalah jembatan menuju masa depan. Seperti yang pernah ditegaskan Tan Malaka, tujuan pendidikan sejatinya adalah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Nilai inilah yang tercermin dalam perjuangan mereka, bukan hanya belajar demi gelar, tetapi demi memanusiakan manusia. Mereka membuktikan bahwa cita-cita besar bisa tumbuh dari akar rumput, dan selama masyarakat saling percaya dan saling bantu, bangsa ini akan selalu punya alasan untuk optimis menghadapi masa depan.

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.