Sebulan lalu, sahabat kecil saya sebutlah Turmudi, mengundang saya datang ke rumahnya. Tasyakuran anaknya lolos tenaga kontrak pabrik pengolahan kayu di kota. Turmudi sangat bersyukur dan bangga, meskipun anak pekerja serabutan bisa lolos pabrikan. Baginya, anaknya telah berhasil meningkatkan strata sosial dari kasaran ke kantoran (setidaknya yang dirasakan Turmudi).
Seumuran kami di desa umumnya pekerja kasar setelah ratusan bahkan ribuan hektar hutan warisan orangtua dikuasai pemodal. Bahkan Turmudi, satu diantara pernah merantau keluar Jawa sebagai buruh penebang kayu alias pembalak. Baginya rela bekerja apapun asal keluarga bahagia.
Teringat, kebanyakan orangtua jaman dulu kalau ngudang (menimang) anak cidera karena benda-benda tajam/tumpul, maka benda itulah sasaran kesalahannya. Seketika anak terdiam dari tangisnya merasa dibela. Meskipun setelah dewasa kusadari hanya sebuah penghiburan semata. Sebagian lainnya menganggap sebuah pembelaan atas pembenarannya sendiri.
Bagi Turmudi, kehilangan puluhan hektar hutan lebih baik ketimbang menciderai anak-anaknya. Ia rela bekerja serabutan bahkan penebang kayu milik orang, asal pekerjaan anak-anaknya alusan (ASN). Ucap syukur Turmudi setelah anaknya bekerja di pabrik, dan tanpa disadari pekerjaannya berpeluang eksploitasi kayu hutan bahan pembuatan kayu lapis.
***
Ribuan bahkan jutaan Turmudi-Turmudi di masyarakat Jawa. Anak muda yang hidup di lereng pegunungan memilih turun mengadu nasib ke kota. Sebagai pulau terpadat di Indonesia penduduk perkotaan justru memilih berpindah ke pegunungan agar terbebas dari kebisingan kota. Fenomena ini menyebabkan ribuan hektar hutan dibebaskan, dan penggundulan tanpa terelakkan.
Saat berkunjung di rumah Turmudi, saya menyempatkan sowan ke rumah kakek, biasa saya panggil mbahlik (adiknya kakek). Semasa hidup beliau berprofesi sebagai polisi hutan, dan sesuai nama tidak jauh-jauh dari perhutanan. Di seperempat masa kerja tersisa sebelum pensiun mbahlik tidak pernah melakukan pengawasan hutan lagi.
Ketiadaan hutan semakin saya rasakan ketika anak-cucu mbahlik tidak mengikuti profesi sebagai pengawas kehutanan. Orangtua saya pernah tinggal satu desa dengan mbahlik, dan tepat di belakang rumah kami terdapat gunung bernama Gunung Wijil. Karena tidak terlalu tinggi dan tandus, karenanya setiap hujan lebat rumah kami terdesak dua aliran banjir dari gunung tersebut, dan luapan Sungai Grindulu.
Kondisi banjir yang menimpa desa kami saat itu tentu bukan representasi keadaan secara umum. Namun, saat ini gunung tersebut banyak berdiri rumah-rumah penduduk. Sehingga mereka terhindar dari banjir bandang. Sebagai pendatang yang masih mengontrak, orangtua memboyong kami urban ke kota bebas banjir.
***
Praktik-praktik pengalihan fungsi hutan dan gunung sebagai pengikat air semakin nyata. Penebangan, pemangkasan, pemotongan dan penambangan berlangsung dimana-mana. Hutan-hutan dikapitalisasi dengan melibatkan golongan muda desa sebagai tenaga kasar. Golongan tua penduduk setempat terhibur menyaksikan tractor-traktor menggilas lahan subur diganti gedung-gedung, dan anak-anaknya menerima upah atas tenaga kasarnya.
Sepekan terakhir, banyak beredar di instatory IG teman-teman mengabarkan luasan hutan di Pulau Jawa semakin mengecil. Kawasan hutan di pulau terpadat di Indonesia ini hanya menyisakan 24 persen dari luas keseluruhannya. Dan, dari 24 persen kawasan tutupan hutannya menyisakan 19 persen.
Bencana kepunahan habitat hewan di depan mata. Modulator arus hidrologika terganggu, dan kelestarian bumi terancam. Keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan terganggu seiring hilangnya fungsi ekosistem dari hutan. Pada akhirnya mengancam kesehatan masyarakat.
Semburan nafas kita mengeluarkan karbondioksida. Zat beracun berbahaya kalau tidak ada yang mengikat di udara. Keberadaan hutan sangat vital sebagai penyerap karbondioksida tersebut. Mesin kendaraan, mobil, sepeda motor mengeluarkan gas beracun ke udara dan diserap oleh hutan.
Dari udara yang bersih, diharapkan menghasilkan oksigen bersih yang kita hirup setiap saat. Seluruh makhluk hidup membutuhkan asupan oksigen untuk bernafas. Dapat dibayangkan, ketika oksigen yang dihasilkan hutan terkontaminasi gas beracun karbondioksida.
Siklus pohon-daun-gugur-busuk-terurai. Hasil penguraian dapat menyuburkan tanah, dan kita dapat mengolahnya menjadi lahan penanaman pohon kembali. Berbagai macam tumbuhan dan tanaman yang berkembang biak di hutan menjadi sumber keanekaragaman hayati yang bermanfaat bagi manusia.
Kecenderungan manusia dan hewan memilih hunian di sekitar perhutanan. Peluang rumah huni akan sirna ketika hutan-hutan mengalami kerusakan. Hutan sebagai sarana tempat tinggal makhluk hidup merupakan satu di antara fungsi yang terus dijaga kelestariannya.
Ketika hutan kita gundul tidak ada akar untuk menahan air tanah. Bencana longsor, banjir, dapat sewaktu-waktu mengancam. Diperlukan keseimbangan dengan melakukan reboisasi atau penanaman kembali agar hutan tetap lebat dan subur serta tidak menimbulkan dampak buruk bagi manusia atau lingkungan sekitar.
Kepedulian kita sangat diharapkan. Teringat kita sosok penyanyi legendaris Gombloh. Dengan penampilan seadanya bahkan terkesan cuek tapi justru memiliki tingkat kepedulian alam tinggi, minimal lewat lagu-lagu hits nya saat itu. Sebuah mahakarya berjudul “Berita Cuaca”, almarhum pengen menyampaikan pesan pentingnya menjaga kelestarian alam agar anak-cucu kita tetap tersenyum.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.