Jumat, Maret 29, 2024

Toleransi; Hak Bagi Mayoritas, Wajib Bagi Minoritas

Tjokronegoro setiawan
Tjokronegoro setiawan
Santri Penulis

Riuh rendah perhelatan pemilu telah selesai pasca diketoknya palu hakim Mahkamah Konstitusi. Tapi berakhirnya kontestasi politik lima tahunan ini tidak serta merta membuat keriuhan jagad maya menjadi tidak menarik lagi untuk diikuti.

Belakangan warganet yang maha benar disuguhi tontonan perdebatan yang tidak kalah menarik, masih seputar isu primordialisme tentu saja. Sepertinya orang Indonesia memang diberi keutamaan oleh Tuhan untuk tabah memperdebatkan isu-isu seperti Rahmat Baequni, Felix Siauw, Hanan Attaki, Irene Suhandono sampai SPBU bersyariat.

Keramaian ini masih ditimpali oleh seorang ibu dengan membawa seekor anjing mencari suaminya yang sedang menjalani akad nikah di masjid. Ada lagi seorang wisman berteriak-teriak di dalam pura mempromosikan agamanya.

Dan atas peristiwa itu semua warga net saling berebut memberikan komentar mulai dari argumen yang logis ataupun terlihat logis sampai paling absurd sekalipun.

Pada kasus yang membawa nama Felix Siauw dan Hanan Attaki malah disertai dengan aksi demonstrasi dan penolakan. Dengan alasan konten ceramah yang berisi provokasi dan pemateri merupakan pendukung HTI, ormas yang sudah ditetapkan sebagai organisasi terlarang.

Aksi satu akan berbalas aksi yang lain, sesuatu yang tidak bisa dihindari bahwa jargon Bhineka Tunggal Ika tidaklah seindah gambaran pelajaran yang kita terima saat di bangku sekolah.

Ini terjadi karena masing-masing hanya setia kepada kebhinekaan saja tanpa ada upaya untuk jadi Tunggal Ika. Kalaupun ingin ber Tunggal Ika ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Bagaimana mungkin menyatukan isi kepala jutaan orang? Cukuplah sebagai warga bangsa Indonesia sebagai syaratnya.

Lantas ada yang berkata pelangi itu indah karena warnanya yang berbeda, iya benar. Asalkan tiap warna pelangi itu bisa menempatkan diri sesuai dengan porsinya, tidak mendominasi satu dengan lainnya. Ini yang kita sering lupa.

Realitas inilah yang mau tidak mau harus kita hadapi hari ini. Ironisnya ormas-ormas yang mengklaim sebagai paling moderat kadang ikut terbawa arus bahkan sering terlalu reaktif dalam melakukan tindakan. Bisa jadi karena merasa menjadi mayoritas dan tidak ada yang berani melakukan kritik dan otokritik.

Hal ini tentu saja tidak bisa dibenarkan dengan dalil hukum agama sekalipun. Apalagi tindakan yang lebih mengarah persekusi ini didalihkan demi membela NKRI atau demi tegaknya syariat, terlalu berlebihan kiranya.

Dalam keadaan seperti ini bersikap netral pun dianggap sebagai kesalahan. Mendapat cap sebagai pro khilafah di satu sisi dan stigma sebagai penista agama pada sisi yang lain.

Apakah kita tidak lelah mempertahankan argumen dengan dalil -sesahih apapun- untuk bertikai dan mementahkan dalil lain yang bagi sebagian orang  bisa jadi dianggap sebagai sebuah kebenaran? Tidak bisakah hal-hal seperti ini dilakukan dengan diskusi yang lebih beradab di ruang privat?

Kita mungkin merasa jumawa ketika ada segolongan lain memberikan dukungan, tapi apakah kita tahu dibelakang mereka justru sedang menertawakan?

Alih-alih berdakwah untuk mendapatkan simpati kita justru terperangkap dengan mempertontonkan kebodohan kita sendiri di depan orang yang sebenarnya sudah muak dengan perdebatan ini.

Secara kasat mata mimbar-mimbar dakwah sekarang lebih mirip seminar bisnis multi level marketing. Memoles pembicara dan membanggakan produknya tapi disaat yang sama juga mendowngrade produk pesaingnya. Upaya itu dilakukan agar bisa mendapatkan downline sebanyak mungkin.

Tidak jarang juga terjadi benturan jika kompetitornya berusaha merebut pasar yang sebelumnya mereka kuasai. Bukannya merubah strategi bisnisnya tapi justru menuduh produk yang dijual kompetitor adalah palsu bukan didatangkan dari negara asalnya.

Kadang sering terlintas dalam pikiran, orang-orang ini sebenarnya sedang membela siapa sih? Tuhannya, agamanya, atau ormas tempat mereka bernaung? Bukannya Tuhan tidak butuh pembelaan mahluknya?

Sebuah lembaga survey international pernah merilis Indonesia merupakan negara yg masyarakatnya memiliki tingkat religiusitas tertinggi di bawah Pakistan dan Ethiopia.

Anehnya penerapan nilai Islami di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini masih jauh panggang dari api. Dan yang kontradiktif adalah justru negara sekuler dan jauh dari kesan religius terbukti kehidupan masyarakatnya lebih islami.

Dalam release yang dikeluarkan tahun 2018 ini Indonesia menempati posisi ke 64 sebagai negara yang menerapkan nilai-nilai Islami. (Sumber : http://islamicity-index.org/wp/latest-indices-2018/ ).

Dan bukan rahasia lagi jika kejahatan dengan predikat white collar crime dan extra ordinary crime tumbuh subur di negara kita. Kementrian agama saja tersandung kasus jual beli jabatan, pengadaan kitab suci di korupsi, ketua partai berlambang Ka’bah tertangkap KPK. Lalu religiusitas macam apa yang sedang kita bangga-banggakan?

Jika boleh beropini religiusitas kita masih sebatas pada tenggorokan dan dimanifestasikan dalam simbol-simbol keagamaan. Tapi dalam prakteknya kita masih sering menghakimi orang yg berbeda pendapat dengan kita.

Satu lagi yang menjadi PR besar adalah menempatkan kaum minoritas sehingga memiliki hak yang sama dengan mayoritas. Sebagian masyarakat di negara kita menganggap toleransi sebagai yang minoritas menghormati yang mayoritas ketimbang memilih diksi mayoritas wajib melindungi minoritas.

Hal ini tercermin dari bagaimana teman-teman kita yang minoritas begitu sulit untuk mendapatkan izin mendirikan tempat ibadah. Sampai ada yang berkata mendirikan rumah ibadah selain masjid lebih sulit daripada mendirikan mall dan tempat hiburan.

Mungkin solusi terbaik untuk sekarang ini adalah memberikan kursi menteri agama kepada teman-teman selain muslim. Kalau posisi panglima TNI saja bisa digilir dari 3 matra kenapa tidak berlaku juga untuk menteri agama?

Tidak bisa dipungkiri semua ini adalah residu dari pemilu yang kental mengedepankan politik identitas. Repot memang jika agama sebagai sarana yang diberikan untuk komunikasi seseorang dengan Tuhan lalu dibawa ke ranah publik dan jadi alat politik.

Oleh karenanya jangan salahkan mereka yang kemudian memilih jalan agnotisme karena fakta agama yang terjadi saat ini adalah gambaran tentang kekerasan.

Begitu sulitnya memeluk suatu agama di negara ini dengan penuh kedamaian sehingga banyak fenomena lebih baik bertuhan meskipun tanpa agama daripada sibuk beragama tapi lupa cara ber-Tuhan.

Tjokronegoro setiawan
Tjokronegoro setiawan
Santri Penulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.