Perhelatan pesta demokrasi di Indonesia memasuki babak baru. Bukan, bukan karena ada kejutan dari Partai Politik atau kedua kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden kita. Memang ada progresifitas seperti perang urat saraf dan blunder dalam berkampanye. Akan tetapi, hal tersebut juga telah terjadi pada pemilu dan pilpres tahun-tahun lalu, jadi bukan hal yang baru dan berbeda.
Malah hal yang menarik sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama penulis dan generasi milenial lainnya, adalah kedatangan seorang pasangan calon presiden dan wakil presiden fiktif bernama Nurhadi-Aldo.
Sejak awal kemunculannya pada akhir Desember 2018 melalui media sosial Instagram dan Facebook, ketenaran mereka berdua melejit . Bahkan dilansir dari BBC Indonesia (04/01), hanya berkisar dua minggu pasca diluncurkan, akun resmi “relawan Nurhadi-Aldo” di Instagram telah mencapai 73.000 ribu orang yang mengikuti (sekarang 182.000), sementara di Facebook sebanyak 81.000 dan 18.600 di Twitter [1]. Hal ini tidak terlepas dari penggunaan media sosial dalam berpolitik di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak Pilpres 2014, media sosial menjadi salah satu senjata ampuh dalam berkampanye. Dalam sebuah studi, seperti yang diungkapkan oleh humas Facebook, Andy Stone, dalam masa kampanye pilpres 2014 kemarin, dari 69 juta pengguna aktif Facebook per bulan, terdapat jumlah perbincangan terkait pilpres yang mencapai angka 200 juta [2]. Setelah lima tahun, jelas terjadi peningkatan pula dalam penggunaan media sosial dalam fungsinya sebagai media politik dan kampanye. Selain itu, adanya liputan dari media nasional menjadi katalis yang semakin menggiring lebih banyak orang terhadap fenomena ini.
Sedikit latar belakang, tokoh Nurhadi-Aldo adalah buah cipta dari delapan orang pemuda usia 17-23 tahun yang tinggal di beberapa kota di Indonesia. Sekalipun belum pernah bertatap muka secara langsung, semua komunikasi dilakukan secara online dan semuanya memiliki pembagian tugas yang amat jelas [1]. Nurhadi sendiri sebenarnya merupakan tokoh nyata, namun ia bekerja sebagai tukang urut di Kudus sedangkan Aldo adalah tokoh rekayasa hasil fusi wajah beberapa tokoh politik. Lantas satu pertanyaan penting mengemuka: Apa yang membuat pasangan absurd ini mampu mendapat tempat di hati para warga dunia maya?
Jika dilihat dari penampilan, dalam posternya Nurhadi-Aldo digambarkan sebagai dua pria paruh baya yang menggunakan kemeja merah-putih lengkap dengan songkok, tampak seperti politisi yang ingin memikat hati warga. Jelas tidak jauh berbeda dengan identitas yang sering dibawakan oleh kedua kontestan resmi pilpres kita.
Jadi jika bukan citra penampilan, lalu apa? Jika dilihat lebih seksama di poster, adalah singkatan nama mereka yang membentuk suatu kata yang masih menjadi “tabu” untuk diucapkan di negeri ini, selain itu mereka juga diceritakan diusung oleh “Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asik”.
Ya, nada mesum dan vulgar. Konsep inilah yang menjadi nilai jual dan strategi marketing di akun mereka. Hal ini sendiri juga diakui oleh salah satu anggota tim sukses Nurhadi-Aldo saat diwawancarai oleh BBC Indonesia, Kamis (03/01) [1]. Hal tersebut ditambah konten komedi yang dibungkus dalam bingkai kampanye untuk Pilpres sukses menyedot animo warga dunia maya. Kalau begitu, akun ini hanya untuk bersenang-senang dengan menonjolkan konten tidak senonoh saja? Penulis rasa ada sesuatu yang lebih dalam, jika ingin dianalisa, dari fenomena ini.
Satu hal yang patut diperhatikan adalah, konten mereka sekalipun dibalut dalam kalimat-kalimat vulgar namun seringkali juga berisi mengenai isu-isu sensitif di masyarakat tanah air. Toh, mereka mengakui bahwa konten tersebut dibungkus dalam konteks humor sehingga menimbulkan pertentangan antara bercanda tapi bermaksud serius. Memang manifestasi humor dalam politik telah ada sejak zaman Yunani dan Romawi kuno, bahkan Sokrates sering kali menggunakan komedi satir dalam mengkiritik masyarakat Athena [3].
Namun di era digital ini, humor dalam politik menjelma melalui kemunculan-kemunculan meme yang berlatar belakang tokoh-tokoh politik dan kebijakan maupun tingkah laku mereka yang seringkali mengandung unsur lucu. Fungsinya pun masih tetap sama, sebagai media aspirasi dan kritik. Nurhadi-Aldo adalah salah satu sintesis dari dinamika humor dalam politik gaya kekinian itu.
Bagi penulis, Nurhadi-Aldo bukan sebuah penghinaan jika definisinya sebagai merendahkan martabat hakikat politik itu sendiri, melainkan menjelma sebagai bentuk perlawanan terhadap status quo politik Indonesia.
Sudah diketahui sebagai rahasia umum bahwa dinasti perpolitikan di Indonesia dikuasai oleh elit-elit politik dalam bentuk oligarki, atau kata lainnya mereka yang berkuasa adalah yang memiliki modal relasi dan harta. Sedangkan Nurhadi-Aldo seolah mewakili gerakan akar rumput (grassroot movement) yang bersifat bottom-up, muncul dari bawah sekumpulan masyarakat biasa (melihat identitas Nurhadi sebagai tukang urut yang merefleksikan kelas pekerja) untuk menumbangkan calon-calon yang berperan sebagai elit politik tadi.
Keduanya digambarkan tidak didukung oleh parpol manapun dan juga menggunakan dana kampanye swadaya, berbanding terbalik dengan elit politik yang didukung oleh berbagai parpol dan mengeluarkan miliaran rupiah untuk berkampanye. Keduanya juga merangkul dan menjadi corong dari suara-suara yang terpinggirkan, yang mengkritik sampai sejauh mana batas antara hak otoritasi terhadap kebenaran pribadi dan golongan serta kesopanan di tengah masyarakat Indonesia melalui pemunculan isu-isu sensitif tersebut.
Menariknya lagi, mereka juga banyak memberikan program yang ditawarkan jika mereka terpilih (tetap dengan konten vulgar) yang menurut penulis sebagai bentuk “satir” janji-janji para politisi pada masa kampanye yang dikemas dalam ucapan-ucapan manis sekalipun tidak rasional dan jauh dari realitas yang ada, bahkan nanti tidak jadi direalisasikan.
Pada akhirnya, tujuan utama mereka, seperti yang dikatakan oleh para timsesnya yaitu untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang sebelumnya tersegregasi akibat perbedaan kutub politik. “ketika ada orang yang berkomentar sesuatu yang syur, debat itu akan damai dan teralihkan membahas hal-hal syur itu” ungkap salah satu timsesnya. “Kalau kita lihat di kolom komentar partai politik, pasti ada debat ini itu. Di kolom komentar Nurhadi-Aldo, tidak ada pertengkaran. Adem ayem, semua orang tertawa” tambahnya pula seperti yang dikutip dalam BBC Indonesia (04/01) [1]. Setuju atau tidak, nampaknya cara mereka benar membuahkan hasil.
Sudah sejak lama wajah politik Indonesia dihiasi oleh lumpur kotor politik kampanye hitam dan elitis. Barangkali, kehadiran Nurhadi-Aldo dapat menjadi semacam antitesis terhadap fenomena itu dan juga penyegar dari terlalu baper-nya kita menyelami dunia politik Indonesia.
Sumber:1. BBC Indonesia. 2019. Nurhadi-Aldo: Dari Tukang Pijat Sampai Jadi Pasangan Capres Guyonan. (www.bbc.com/indonesia/trensosial-46751492, diakses 6 Januari 2019).
2. Qeis, M. I. 2014. Branding dalam Pilpres 2014: Mengurai Desain Citra Prabowo dan Jokowi dalam Media Digital. ResearchGate.
3. Young, D. G. 2014. Theories and Effects of Political Humor. Oxford.