HMI selalu layak dan menarik diperbincangkan dari aneka ragam perspektif dan berbagai macam sudut pandang. Sebab, HMI telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi kemajuan bangsa dan telah melahirkan banyak insan akademis yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat dan bangsa.
Sebut saja seperti sosok (almarhum) Lafran Pane, Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Akbar Tanjung, Mukti Ali, Azyumardi Azra, Mahfud MD dan banyak lagi lainnya, yang tentu tidak perlu disebutkan semua.
Sehingga HMI tidak akan pernah setara apabila disandingkan dengan organisasi kemahasiswaan mana pun. Apalagi yang lahir belakangan, sekitar tahun 60-an. Karena HMI ikut andil dalam mengusir penjajah di masa-masa awal berdirinya. Dan ia acap kali mendistribusikan kader-kadernya di pos-pos pemerintahan sejak pemerintahan orde lama hingga pemerintahan era reformasi sekarang ini.
Menariknya lagi, HMI tidak hanya berstatus sebagai organisasi mahasiswa, sebagaimana pernah dikatakan Agussalim Sitompul dalam “44 Indikator Kemunduran HMI” (2005), tetapi ia berfungsi sebagai organisasi kader, juga berperan sebagai organisasi perjuangan yang bertujuan melakukan perubahan terhadap segala tatanan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan kontemporer, sehingga tercipta suana baru.
Maka eksistensi HMI, tugasnya adalah melakukan perombakan, perubahan, perbaikan dan penyempurnaan terhadap segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, ke arah yang lebih baik dan sempurna dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sungguh merupakan tugas suci, serupa tugas-tugas kenabian (prophetik).
Tugas semacam ini hanya bisa ditunaikan HMI sepanjang tetap konsisten menjalankan amanah perkaderan yang termaktub dalam lima kualitas insan cita. Yaitu, terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertangung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Tetapi di usianya yang sudah uzur, HMI mustahil dapat menunaikan tugasnya sebagaimana diamanahkan konstitusi dan para founding father kita. Sebab HMI hari ini telah terjangkiti kepikunan yang akut, serupa para tetua yang sering kali lupa, apakah sudah makan atau tidak. Akibatnya, tugas dan tanggung jawabnya terabaikan.
HMI terlalu asyik dengan kenikmatan-kenikmatan sesaat yang menyilaukan matanya, sehingga buta bahwa tugasnya adalah berjuang bersama kaum mustad’afin dan kelompok tertindas melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa dan para kelompok penindas.
Sedikit kita melihat (untuk tidak dikatakan tidak ada) HMI melakukan pembelaan dan pendampingan terhadap masyarakat yang menjadi korban kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Bikin proposal permohonan dana dan menjadi budak kekuasaan ternyata lebih menggoda dan tentu mengasyikan dari pada berteriak di jalanan menuntut keadilan para penguasa yang dzalim.
Padahal selama puluhan tahun, HMI tidak pernah absen membela hak-hak rakyat yang dirampas oleh kesewenang-wenagan dalam berbagai macam bentuknya. Ia konsisten bersama rakyat, mendengarkan keluh kesahnya dan menangkap setiap aspiranya yang setiap saat harus diteriakkan ke setiap telinga para penguasa. Sehingga tidak berlebihan ketka Jenderal Sudirman menyebut HMI bukan sekedar Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan harapan masyarakat Indonesia.
Potret buram HMI masa kini tidak terlepas dari beberapa faktor. Di antaranya, pudarnya tradisi intelektual di tubuh HMI. Di mana, intelektualitas adalah ciri khas utama bagi HMI. HMI dan intelektualitas adalah dua entitas tak terpisahkan, serupa dua mata uang. Di mana ada intelektual, di situlah ada HMI, dan begitu juga sebaliknya, di mana ada HMI, di situlah ada intelektualitas.
Memudarnya tradisi intelektual ini disebabkan rutinitas membaca, berdiskusi, dan menulis lenyap di tubuh HMI. Nyaris tanpa jejak. Padahal membaca, berdiskusi dan menulis adalah ritual yang bersifat fardhu ain bagi HMI. Jadi tidak perlu heran, jika HMI, dulu konsisten melahirkan banyak tokoh terkemuka dan akademisi yang intelektual semacam Cak Nur dan Akbar Tandjung, karena mereka dekat dengan buku, rajin berdiskusi, dan inten menulis.
Tradisi intelektual ini lah sebenarnya yang menjadi pembeda antara HMI dengan organisasi-organisasi yang lain. Baik yang hadir mendahuluinya, maupun yang datang kemudian. HMI benar-benar berada dalam kemiskinan intelektual.
Kemudian faktor selanjutnya adalah krisis pemikiran. Krisis pemikiran atau kejumudan berpikir (meminjam istilah Muhammad Abduh) tengah menggerogoti tubuh HMI yang sudah tua bangka ini, diakui atau pun tidak. Krisis pemikiran ini disebabkan HMI suka beruforia dengan kejayaan masa lalunya. Suka berpesta ria dengan masa keemasannya. HMI serasa dinina bobokkan oleh euforia dan pesta pora tersebut.
HMI ter lalu percaya diri (over confidence) akan keyajaan masa lalunya yang terus diagung-agungkan. Padahal kejayaan itu hanya ada atas kertas, di buku-buku sejarah HMI, juga di dokumentasi-dokumentasi HMI. Tidak lebih.
Dulu, HMI acap kali terlibat perang pemikiran, baik dengan kelompok eksternal, maupun dengan kelompok internal HMI itu sendiri. Isu-isu yang dibangun cukup variatif. Dari persoalan pembaruan pemikiran Islam, reformasi politik, kesenjangan sosial dan ekonomi, hingga persoalan bagaimana menjawab setiap problem yang muncul di tengah-tengah umat dan bangsa. Sehingga HMI benar-benar menjadi tumpuan dan harapan masyarakat Indoesia.
Bertolak punggung dengan kondisi HMI hari ini. Di mana, HMI lebih sering terlibat konflik kepentingan (conflict of interest) di antara sesamanya. Berebut kuasa dan jabatan adalah kelebihan HMI hari ini. Maka sudah menjadi sesuatu yang lazim, saling menjatuhkan antara satu kader dengan kader yang lain, demi meraih hasrat politik dan syahwat kuasanya.
HMI lebih suka ribut-ribut ihwal bagi-bagi kursi jabatan sejak di tingkat komisariat, cabang, terlebih hingga di pengurus besar (PB), dari pada ribut-ribut ihwal kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat kecil, keserakahan yang meraja lela atau maraknya eksploitasi terhadap sumber daya alam kita. Jadi fenomena dualisme kepengurusan menjadi sesuatu yang lazim di tubuh HMI.
Dualisme kepengurusan di tubuh HMI sering kali dipicu oleh kepentingan yang berseberangan dan acap kali tidak menemukan kesamaan pandangan (comments sense) atau sulit merajut perbedaan pandangan dalam menyelesaikan persoalan semacam itu. HMI acap kali kesulitan menemukan problem solving atas persoalan yang menimpanya.
Menyelesaikan konflik internal saja sudah kesulitan, bagaimana bisa menyelesaikan persoalan keumatan dan kebangsaan. Pikiran itulah yang sering kali tertancap dalam benak saya, setiap kali membincang HMI masa kini. Hal ini adalah satu impac dari miskinnya gagasan HMI.
Hal ini menjadi satu indikasi, bahwa HMI sedang berada dalam titik nadir yang cukup menghawatirkan. Sebab HMI jauh panggang dan beradu punggung dengan cita-cita para founding father-nya dan amanat konstitusi.
Jika kondisi semacam ini terus menjangkiti HMI, lambat laun HMI kita akan mati dan hanya tinggal nama. Dan kemudian HMI layak dimusiumkan, serupa barang antik peninggalan nenek moyang.