Kita ini sering sekali kebanyakan mikir saat hendak travelling. Apalagi kalau sudah bekerja dan bekerjanya sama kompeni pula. Selesai dengan urusan izin dari kantor, masih harus mikirin lagi berapa biaya yang harus disiapkan, mulai dari ongkos perjalanan, penginapan, sampai uang buat makan.
Belum lagi kalau di saat-saat sudah akan berangkat, tiba-tiba muncul pikiran yang membanding-bandingkan mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting, semisal antara jalan-jalan dengan tabungan buat masa depan. Hmm, akhirnya travelling pun batal.
Sesekali coba tengok bule-bule yang datang ke tempat kita. Tidakkah kita bertanya-tanya, mereka kok sepertinya mudah sekali jalan-jalan? Ke luar negeri dan tidak cuma satu negara pula!
Di antara mereka itu, ada beberapa yang kere. Tapi kebanyakan dari kita mungkin mengira, ‘ah, yang namanya bule, sekere apapun tetep aje ade duitnye’. Inilah pikiran paling sering melintas di kepala kita. Penilaian yang sering lebih mendasarkan pada perkiraan ketimbang pembuktian.
Saya sendiri pernah 3-4 kali bertemu bule kere, yang bisa berbahasa Inggris dan sedikit bahasa Indonesia. Mereka biasa tidur di emperan jalan atau di bawah atap ruko. Saya tak ingin mengatakan bahwa mereka benar-benar kere, tapi saya yakin demikianlah adanya (apalagi jika patokan kere tidaknya seorang bule mengacu pada di hotel mana ia menginap).
Bule seperti ini biasanya sendirian. Tenda yang mereka bawa ke mana-mana dalam ransel menjadi andalan mereka untuk sekadar berteduh. Dengan mereka, saya biasanya menyempatkan mengobrol banyak. Tapi di sini saya tak akan menceritakan pengalaman mereka satu-satu. Saya cukupkan saja dengan Nicolo, bule terakhir yang saya temui. Nicolo berasal dari Italia, tepatnya dari Kota Modena. Bukan Niccolo Machiavelli, si filsuf politik itu ya, tapi Nicolo (c-nya satu). Nama lengkapnya Nicolo Marmirolli. Terus terang, 15 tahun saya ngikutin sepakbola Italia, belum pernah ketemu pemain yang bermarga satu ini.
Saya berjumpa dengan Nico sewaktu mendaki Gunung Prau di Dieng, Wonosobo, pekan lalu. Dari Nico, sapaan Nicolo, saya baru tahu bahwa bule kere seperti dia ternyata selalu berupaya berpergian tanpa mengeluarkan ongkos.
“Saya kemari nebeng. Ya, nebeng. Menumpang,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lucu, yang ia pelajari secara otodidak selama enam bulan di Indonesia.
Nebeng bukan hal yang baru dan hanya sekali Nico lakukan, tetapi hampir selalu. Untuk menuju Dieng saja, dia tiga kali nebeng. Saat dia memberitahu saya hal ini, saya agak kaget. Saya katakan padanya, sesama orang Indonesia saja, sangat sungkan (atau bahkan tak pernah berpikiran) untuk nebeng dengan orang yang tidak dikenal; dan orang yang hendak ditebengi pun, sering buang badan duluan sebelum ditebengi.
“Saya dari Tulungagung. Dari Tulungagung saya nebeng mobil ke Jogja. Dari Jogja, saya nebeng mobil ke Borobudur. Dari Borobudur saya nebeng lagi kemari,” terangnya, sambil menyeruput kopi sachet-an yang saya bikin.
Saat menyinggung soal Borobudur, saya sempat menanyakan bagaimana kesannya setelah menyaksikan salah satu candi paling terkenal di dunia itu. Namun, jawaban Nico justru membuat saya iba (terus terang, baru sekali ini saya kasihan sama bule).
“I didn’t see Borobudur. The ticket is too expensive for me. For foreigners, it costs almost 350 thousand rupiah (25 dolar yang berlaku saat ini). It’s too expensive for me,” katanya.
Selama di Indonesia, dengan keterbatasan uang yang ia punya, Nico tinggal di Tulungagung, di sebuah desa yang ia tak ingat namanya. Ia menumpang tidur di rumah kepala desa. Sudah tiga bulan dia di sana. Sebelumnya dia berkeliling ke Bali, Yogyakarta, Semarang, dan beberapa daerah lainnya di Jawa Tengah.
“They welcome me very very well. I learn many things about their culture. I pay nothing to them,” katanya lagi.
Sampai di sini, mungkin ada pikiran, lantaran dia orang bule, makanya orang kita mau memberikan tumpangan. Atau barangkali karena perasaan amazed sama orang bule itu memang belum hilang dari masyarakat kita sampai sekarang. Boleh-boleh saja berpikiran begitu, tapi marilah kita jangan melihat sisi itunya. Cukuplah ambil pelajaran bahwa menumpang itu akan sangat membantu kita jika ingin travelling ke banyak tujuan tapi bermodal cekak.
Intinya jangan malu. Harus berani menjalin komunikasi. Selain menghemat pengeluaran, otomatis kita juga akan mendapat kenalan dan pengetahuan baru dari orang-orang yang kita tumpangi.
Sambil memandangi gumpalan awan yang mengapung di antara dataran tinggi Dieng, berikutnya Nico bercerita soal bagaimana ia mengatasi kebutuhan akan makan selama perjalanan. Untuk perkara fundamental ini, Nico punya jawaban yang mirip anak kos-kosan.
“I eat only when I’m hungry. Usually once a day. I never think too much about eating,” katanya.
Setelah mengobrol banyak tentang perjalanannya selama di Indonesia, bagaimana kesan-kesannya, apa-apa saja yang telah dilaluinya, juga tak lupa tentang sepakbola Italia dengan Timnas Italia-nya sudah dipastikan absen di Piala Dunia tahun depan, akhirnya tibalah Nico ngomong agak serius. Seorang bohemian seperti dirinya tak terlalu percaya dengan uang, meski ia tahu ia butuh. Ia bisa saja bekerja dan menghasilkan banyak uang. Jikapun ia tak mendapatkan pekerjaan, ia masih bisa meneruskan bisnis desain grafis milik ayahnya di Italia. Tapi itu tak dilakukannya.
“I don’t want money to control my life. The time I want to go, I just go. And you, if you want to go, just go! Go wherever! Whenever!” katanya.
Satu hal lagi yang disampaikan Nico adalah, bahwa ketika kita berpergian, kita harus percaya dengan orang-orang, bukan sebaliknya, menghindar.
“I believe in God. And I believe in love. The two things convinced me to leave. As long as I trust people, people will help me,” Nico menambahi.
Menikmati hidup seperti Nico yang seorang bule kere pada akhirnya adalah merekonstruksi pandangan tentang hidup: apakah dalam hidup ini kita memang cuma lahir, tumbuh besar, cari uang, cari uang, cari uang, menikah, cari uang, cari uang, cari uang, lalu mati? Ya, mungkin kita bisa membangun ulang pandangan itu.