Jumat, April 26, 2024

Tiga Tahun Zonasi, Sudahkah Memberi Solusi?

Hanifatul Hijriati
Hanifatul Hijriati
Guru SMA yang suka ngopi

Sistem zonasi dalam perekrutan peserta didik baru untuk semua jenjang telah berlangsung selama tiga tahun. Dan jika untuk tahun ajaran baru kelak sistem ini masih berlaku maka akan genap empat tahun ajaran sistem ini berlangsung.

Sistem zonasi yang mulai diterapkan pada tahun ajaran 2018/2019 awalnya bertujuan untuk mengimplementasikan amanah undang-undang bahwa pendidikan adalah hak seluruh anak bangsa. Maka berarti tidak boleh lagi ada alasan seorang calon siswa ditolak untuk mendaftar sekolah negeri karena tidak memenuhi syarat nilai akademis.

Sistem zonasi yang diukur dari jauh dekatnya rumah siswa menuju sekolah dianggap sebagai sistem yang paling adil untuk menerima calon siswa. Tidak ada lagi standar nilai. Namun pada awal pencanangannya tentu saja tidak luput dari pro dan kontra.

Puluhan protes terutama dari orang tua calon siswa terlontar dengan bebas, ada yang langsung menghubungi kepala daerah, pak menteri hingga berkeluh kesah di media sosial. Mereka menolak sistem ini. Sistem zonasi dianggap mematikan potensi siswa unggul hingga mematahkan impian siswa unggul agar lebih berkembang potensinya.

Ketidakpercayaan Masyarakat

Mereka, terutama orang tua yang tinggal di daerah pinggiran tetapi memiliki anak yang berprestasi, merasa tidak diperlakukan adil. Mengekolahkan anak di sekolah favorit di perkotaan adalah salah satu cara yang mereka anggap mampu menaikkan derajat hidup. Apakah pemimpin tutup mata dengan protes mereka? Tentu saja tidak. Aturan sistem zonasi kemudian mengalami perombakan. Ganjar Pranowo sebagai pemimpin daerah yang pertama kali menyatakan keberatannya pada pak menteri Muhadjir Effendi.

Masukan beliau diterima. Dan terjadi perubahan signifikan pada aturan zonasi. Yaitu presentasi jumlah siswa berprestasi di luar zonasi mendapat porsi hingga 30 % untuk merebut bangku sekolah favorit di kota. Ini kabar menggembirakan. Itu berarti anak desa dengan kemampuan unggul bisa merebut kursi sekolah favorit di kota dengan mendaftar porsi 30 % tersebut.

Jika dipikir kembali, sesungguhnya aturan ini tidak terdengar begitu inovatif. Semenjak era tahun 2000 an sudah ada aturan yang mengatur berapa persen sekolah favorit terutama menerima siswa berprestasi di luar daerah atau kecamatan. Hanya saja aturan ini dulu masih bersifat parsial belum terpusat dengan standar yang seragam seluruh Indonesia.

Baik, kembali pada perombakan aturan zonasi. Seiring perkembangannya hingga memasuki tahun 2020, terjadi perubahan porsi siswa berprestasi yang bisa diterima di luar zonasi. Aturan ini disahkan oleh menteri pendidikan Nadiem Makarim. Porsi siswa berprestasi yang mendaftar di luar zonasi adalah 40 %. Jumlahnya meningkat 10 %.

Maka kesempatan siswa yang tinggal di daerah namun unggul dalam kemampuan akademisnya memiliki kesempatan lebih besar untuk mampu menerobos masuk ke sekolah favorit di kota kabupaten atau kotamadya.

Sebagian orang tua yang tinggal di daerah pinggiran dengan kemampuan ekonomi menengah, meyakini bahwa menyekolahkan anaknya di daerah pinggiran atau desa tidak memberikan mutu dan kualitas yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Mereka adalah golongan keluarga yang rela merogoh uang lebih banyak demi menyekolahkan anaknya ke kota.

Anggapan ini tidak selamanya salah. Permasalahan pemerataan sarana dan prasarana sekolah masih menjadi PR yang berat bagi pemerintah. Bukti tak meratanya sarana dan prasarana ini begitu nyata di depan mata. Sekolah pinggiran dengan kualitas rendah, memiliki standar sarana prasarana yang bisa dikatakan sangat minim, baik dari fisik seperti lapangan upacara dan tidak tersedianya lapangan untuk olahraga hingga fisik bangunan yang juga jauh dari berkualitas.

Kualitas manajemen sekolah yang juga masih mengalami kesenjangan yang cukup signifikan antara sekolah pinggiran dan sekolah favorit adalah permasalahan yang seharusnya diatasi terlebih dahulu sebelum sistem ini diterapkan.

Sistem manajemen sekolah ini tentu berkaitan dengan kompetensi sekolah kota yang lebih baik secara administrasi. Sekolah-sekolah kota secara geografis dekat dengan pengawasan otoritas daerah. Itu sangat berbeda dengan sekolah pinggiran. Dengan supervisi yang lebih baik, maka wajar sekolah di perkotaan memiliki kompetensi manajemen yang mumpuni daripada sekolah pinggiran.

Kesenjangan Pelayanan

Seorang siswa berprestasi yang tinggal di pinggiran merasa kecewa saat ia tidak bisa mendaftar sekolah kota setelah sistem zonasi berlaku. Tentu saja ia bisa bersaing dari porsi siswa berprestasi di luar zonasi tetapi tampaknya ia tidak beruntung. Siswa ini memiliki prestasi yang cukup baik secara akademis dan non akademis.

Dari ranah non akademis siswa ini mengantungi sertifikat juara taekwondo tingkat propinsi. Ini pastinya poin plus untuk bisa diterima di sekoah favorit. Tapi dia gagal. Ada satu hal yang sangat mengecewakannya yaitu sekolah pinggiran yang terpaksa ia masuki tidak memiliki ekstra kurikuler yang mumpuni untuk mengembangkan potensinya. Satu lagi alasan utama dia merasa sangat kecewa, di sekolah favorit kota impiannya, pelatih taekwondo sekolah tersebut adalah atlet berprestasi tingkat propinsi.

Seorang siswa berpretasi lainnya juga memutuskan untuk keluar dari sekolah yang terlanjur ia masuki karena sekolah tersebut tidak memiliki ekstra basket dengan fasilitas pelatih profesional. Dia sendiri seorang pemain basket yang sudah bergabung pada tim profesional.

Bicara mengenai kualitas pelayanan peserta didik itu berarti juga bicara mengenai layanan optimal pada perkembangan akademis mau pun akademis siswa. Sekolah kota dengan fasilitas yang baik cukup dikenal dengan jumlah ekstra yang bervariasi dengan instruktur yang juga berasal dari kalangan profesional. Nilai tambah ini banyak tidak ditemui di sekolah pinggiran.

Tahun ini sebagai tahun pertama lulusan generasi zonasi dan hasil menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan. Selama tiga tahun ini belum menunjukkan perbedaan signifikan pada pemerataan kualitas pendidikan. Juara akademis masih digondol sekolah-sekolah yang memang sudah favorit.

Jumlah penerima SNMPTN terbanyak juga masih digondol oleh SMA favorit. Sekolah pinggrian tetap setia menjadi peringkat bawah dalam hal kualitas akademis siswanya. Tentu saja karena porsi jalur prestasi tinggi, siswa-siswa unggul tetap berkumpul di sekolah favorit.

Jika sistem manajemen sekolah serta level supervisi yang tidak memberikan penekanan lebih pada penilaian manajemen sekolah, maka jangan harap sistem zonasi mampu memberikan keadilan. Yang ada kelak adalah berbondong-bondongnya keluarga menengah di pedesaan untuk memindahkan KK mereka.

Seperti salah seorang rekan saya, yang mana anaknya yang akan ke SMA. Ia mendaftarkan KK baru untuk anaknya pada keluarga saudaranya di kota agar dapat masuk ke SMA favorit di kota. Tentu saja rekan saya ini memiliki orang dalam untuk mempermudah pembuatan KK.

Lalu bagaimana dengan keluarga menengah dengan siswa unggul? Tentu saja tetap bisa bersekolah dengan sarana dan prasarana yang ada tanpa perlu menuntut lebih seperti sekolah di kota.

Hanifatul Hijriati
Hanifatul Hijriati
Guru SMA yang suka ngopi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.