Stabilitas sosial sering dianggap hal yang lumrah: apa yang terjadi sekarang pasti akan terjadi besok, hal yang sekarang wajar besok pun akan tetap begitu. Namun norma dan nilai-nilai sosial di masyarakat dapat bertahan dan berubah sepanjang waktu. Berbagai interaksi sosial dalam keseharian kita dapat mempertahankan tatanan sosial yang berlaku saat ini dan juga mengubahnya.
Biasanya, orang-orang serta kelompok yang diuntungkan oleh tatanan sosial yang berlaku akan berusaha mempertahankan tatanan tersebut (Clemens, 2016). Hal ini terjadi sebelum Revolusi Industri pada abad ke-XVIII di Inggris. Saat itu para aristokrat pemilik tanah memperkaya diri dengan sewa tanah yang dibayarkan oleh petani-petani yang menggarap lahan mereka (Tilly, 1990).
Selain tanah, kekayaan mereka juga berasal dari privilese monopoli dagang yang diberikan monarki Inggris (Acemoglu dan Robinson, 2012). Kelompok aristokrat inilah yang nantinya paling menentang Revolusi Industri yang mengguncang dominasi mereka.
Tatanan sosial yang hanya menguntungkan suatu pihak tentu bukannya tak tergoyahkan. Individu-individu serta kelompok yang menginginkan perubahan akan mendorong pergerakan sosial yang dapat mengubah tatanan tersebut.
Dalam kasus aristokrat Inggris ini misalnya, Revolusi Industri menciptakan kelompok elit baru yang memperoleh kekayaan mereka dari teknologi yang meningkatkan efisiensi kerja. Dengan mesin-mesin baru dan tingkat produksi yang lebih tinggi, mereka dapat menyaingi kekayaan para pemilik tanah.
Selain itu, para petani yang tadinya bekerja untuk para aristokrat mulai berpindah ke sektor industri baru di perkotaan. Urbanisasi tersebut melahirkan kelompok kelas pekerja dan kelas menengah yang turut menentang status quo lama.
Para pemilik tanah sebagai kelompok elit lama pun merasa dominasi mereka terancam oleh kelompok elit baru. Kelompok elit lama tersebut menekan parlemen untuk membuat peraturan-peraturan yang dapat membatasi gerak para elit baru. Tapi para pedagang dan pengusaha kaya, ditambah kelompok kelas pekerja dan kelas menengah baru di perkotaan, bisa mendorong parlemen untuk melindungi properti dan kepentingan bisnis mereka. Dominasi elit lama dalam pemerintahan Inggris pun berakhir karena perlawanan kelompok sosial dan elit baru.
Tanpa perlu jauh-jauh melihat cerita para aristokrat dan kelompok pro-Industri di Inggris, banyak orang di sekitar kita yang tengah mempertahankan serta mengusahakan perubahan sosial. Misalnya kelompok pro dan anti LGBT di Indonesia, gerakan Islamis yang menginginkan adopsi hukum syariah di Tanah Air, sampai gerakan feminisme yang mengusahakan kesetaraan gender. Gerakan-gerakan sosial tersebut dapat berwujud organisasi berpayung hukum hingga kelompok-kelompok informal dengan agenda mereka masing-masing.
Sayangnya, sering kali rasa antipati atas agenda suatu gerakan sosial membuat kita memukul rata semua orang dalam gerakan tersebut. Padahal suatu gerakan sosial dapat terdiri dari berbagai individu dan kelompok yang mungkin memiliki nilai-nilai dan pandangan yang berbeda mengenai agenda gerakan mereka (Haines, 1984).
Contoh sederhananya adalah gerakan feminisme di Indonesia. Sering kali warganet di sosial media menyikapi tulisan yang bernada feminis dengan reaksi negatif. Mengecap penulis sebagai ‘feminazi’ atau feminis garis keras adalah salah satu contohnya.
Namun tidak semua feminis berpandangan radikal. Gerakan sosial feminisme terdiri dari bermacam-macam paham, mulai dari kelompok yang menginginkan perempuan memiliki akses karir yang sama dengan laki-laki, sampai ke kelompok yang dengan gamblang mengutarakan kebencian mereka terhadap laki-laki.
Sama halnya dengan gerakan Islamis di Indonesia yang tidak semuanya beraliran radikal dan bersifat ‘tanpa kompromi’. Ada juga berbagai organisasi Islam di Indonesia yang menginginkan toleransi dan pluralisme berjalan berdampingan dengan nilai-nilai Islam. Faksionalisasi dan ragam perspektif dalam gerakan-gerakan sosial inilah yang sering tersederhanakan dalam berbagai narasi dan perdebatan kusir di beranda media sosial kita.
Tidak jarang kita menyematkan label ‘radikal’ atau ‘ekstrimis’ pada orang-orang yang belum tentu berpandangan seperti itu hanya karena paham mereka bersinggungan dengan suatu kelompok garis keras. Label-label tersebut dengan mudah menciptakan narasi antagonisme yang hitam putih: kamu radikal maka kamu buruk, dan akulah yang benar.
Selain antagonisme dari orang atau kelompok di luar gerakan yang tidak setuju dengan agenda gerakan tersebut, berbagai faksi dalam suatu gerakan sosial yang dapat bersitegang antara satu sama lainnya juga sering muncul. Biasanya suatu kelompok dalam sebuah gerakan ingin mengklaim legitimasi dan mendominasi narasi dalam gerakan mereka.
Ujaran-ujaran seperti “paham kami adalah paham yang murni” atau “kamilah representasi ‘gerakan’ yang sebenarnya” adalah klaim-klaim yang sering dibuat para aktivis gerakan tersebut. Tapi ini bukan berarti mereka benar-benar merupakan representasi tunggal gerakan tersebut. Biasanya kelompok-kelompok ekstrim mendapat perhatian lebih yang tidak proporsional dibanding jumlah mereka dalam suatu gerakan. Hal ini biasa terjadi karena meskipun jarang, hal-hal yang mencolok dan ekstrim lebih mudah diingat oleh orang-orang.
Adanya perbedaan pendapat di dalam gerakan wajar adanya. Ditambah lagi, ketidaksetujuan atas agenda suatu gerakan dapat mendorong kita untuk membuat narasi antagonis hitam-putih yang meletakkan mereka pada titik ekstrimnya. Tapi menyamaratakan pandangan seluruh anggota gerakan sosial tersebut tidak akan memfasilitasi perdebatan yang efektif. Pada akhirnya ujaran-ujaran derogatif yang terlalu disederhanakan seperti ‘feminazi’, ‘kecebong’, dan ‘kampret’ hanya akan berakhir pada perdebatan kosong yang tak berujung.
Daftar Pustaka
Acemoglu, Daron and James A. Robinson. 2012. “Why Nations Fail: The origins of power, prosperity and poverty.” New York City, NY: Crown Publishing House.
Clemens, Elisabeth S. 2016. “What is Political Sociology.” Cambridge: Polity Press.
Haines, Herbert H. 1984. “Black Radicalization and the Funding of Civil Rights: 1957-1970.” Social Problems 32(1): 31-43.
Tilly, Charles. 1990. “Coercion, Capital, and European States: AD 990–1992.” Oxford: Basil Blackwell.