Jargon perkotaan yang dipakai anak muda jaman now penuh dengan perkataan ironis dan absurd. Jargon ini biasa dipakai dalam dunia pertwitteran Indonesia untuk mengemukakan rasa cringe atau jijik kepada sebuah konten yang absurd. Maksud dari konten absurd itu apa? Konten yang sudah ditakdirkan untuk gagal karena subtansi nya tidak benar, tujuan nya tidak jelas dan gaya nya tidak “masuk”.
Keabsurdan dari ini di tuliskan oleh Albert Camus di tahun 1942, dalam buku nya berjudul The Myth of Sisyphus. Melansir dari paham Soren Kierkegaard, tulisan Camus mencetuskan gerakan absurdism atau absurdisme yang dikenal intim oleh jejeran Salihara.
Camus mengatakan bahwa penjelajahan manusia untuk menemukan arti dari kehidupan di dunia itu absurd atau bodoh karena pada hakikatnya, arti tidak ada. Seperti figur Yunani bernama Sisyphus yang mendorong sebuah bongkahan batu raksasa keatas bukit namun terus terjatuh ke bawah, dimana ia mengulangi tugas tersebut sampai mendaki ke atas namun terus gagal untuk mencapai atas bukit yang dia pikir sebagai arti. Seperti kehidupan manusia yang terus mencari arti di balik sastra, budaya dan agama menurut Camus, tetapi apa yang dilakukan nya menjadi repetisi sia-sia.
Kamisan di Indonesia sama seperti Sisyphus mendorong bongkahan batu raksasa tersebut keatas bukit. Mustahil. Penuh dengan keringat, teriakan dan rintihan usaha. Ketika terjatuh, bangkit lagi, ketika terdorong jauh, balik lagi. Ternyata banyak kesamaan diantara dua. Menuntut keadilaan HAM tahun jebot adalah sebuah tugas yang sulit.
Tapi seperti yang kita ketahui, pemerintah bisa berubah wujud menghadapi situasi dan topik tertentu. Dalam pajak dan investasi mereka mengebu gebu, dalam HAM mereka terdiam, tak kulakukan.
Sama seperti tembok. Namun siapa berkata bahwa ini sia-sia? Perlu diketahui Kamisan ada bagus nya. Yang bagus nya adalah semangat! Iya betul, hanya semangat nya saja yang bagus. Semangat berteriak terus kepada tembok. Semangat itu patut dicontoh karena ada nya rasa optimisme bahwa suatu hari tembok tersebut akan menjawab kembali. Itulah pandangan kehidupan yang seharusnya ambil dalam menempuh perubahan. Tapi tidak begitu metode nya.
Einstein mengatakan “Definisi kegilaan adalah melakukan sesuatu berulang-ulang kali berharap akan memberikan hasil yang beda”. Jika kita terus melakukan sesuatu namun gagal, maka yang harus kita lakukan adalah mengevaluasi kembali langkah yang kita ambil terhadap apa yang kita lakukan. Refleksi diri adalah salah satu anugerah manusia yang diberikan dunia jadi gunakan secara bijak. Menuntut keadilan HAM tahun jebot adalah sebuah tugas yang sulit.
Mungkin karena figur-figur yang bertanggung jawab sudah lama diatas atau sudah mati. Semakin kesini, beberapa pendemo Kamisan juga mempunyai motif yang dipertanyakan karena kurang nya pengetahuan tentang apa yang di tuntut atau hanya sekedar mahasiswa yang ingin merasakan demo saja tapi takut dihantam Polisi dan takut gas air mata. Belum lagi beberapa relawan dan simpatisan disisipi oleh kepentingan-kepentingan pihak lain untuk mengganggu pemerintah atau berkampanye yang membuat tujuan Kamisan semakin tidak afdal.
Penurunan kualitas Kamisan ini menjadi perhatian bagi mereka yang benar-benar ingin menuntut keadilan di Indonesia. Dengan ini, Kamisan sekarang hanya menjadi wahana atraksi bagi mahasiswa-mahasiswi privileged tapi ingin merasakan demo, platform agen-agen partai yang ingin berkampanye lewat menuntut HAM dan menggoreng Istana, dan pasar bagi pedagang kaki lima dan donatur “kiri” cari duit. Sedikit saja yang memang berniat untuk menuntut keadilan.
Seharusnya rakyat mempunyai kuasa atas pemerintah, namun kalau diketahui, dinamika kekuasaan mengalir dari atas. Walaupun rakyat bisa menuntut perubahan, yang diatas berkuasa mempunyai kendali atas perubahan. Oleh karena itu, perubahan sebenarnya hanya bisa dilakukan dengan menginfiltrasi struktur dan mendaki keatas kursi kekuasaan agar kita dapat bisa membawa perubahan yang masiv. Pencetus perubahan harus terus mengejar posisi atas dan tahan terhadap godaan sistem agar perubahan tidak hanya masiv tapi juga permanen.
Cara nya gimana? Belajar yang bener dan kerja yang bener kalo emang mau naik keatas terus bawa perubahan mah. Demo terus apa ujung nya kalo yang di demo itu tembok? Kalo kata Einstein mah lu udah gila.
Tapi tanpa mengurangi rasa hormat kepada pengabdi keadilan HAM di Indonesia, Kamisan itu memang dibutuhkan. Perubahan internal harus disandingkan dengan desakan eksternal guna untuk mengingatkan masyarakat dan pemerintah bahwa keadilan harus ditegakkan berdasarkan dengan UUD 1945 yang dijelaskan oleh Soepomo. Walaupun dalam naskah tersebut, “hak asasi manusia” tidak disebutkan, namun ide dan nilai tersebut terkandung dalam UUD 1945.
Penyelesaian kasus-kasus HAM di Indonesia untuk korban dan keluarga memenuhi komitmen Indonesia terhadap hukum dan konstitusi, serta kelak menciptakan sebuah bangsa yang adil dan makmur, dengan pemerintah yang berintegritas dan rakyat yang percaya kuat terhadap pemerintah. Jika tidak ada pendemo Kamisan, siapa yang akan mengingatkan Indonesia kepada dosa-dosa nya? Siapa yang akan melawan dan menolak lupa?
Jadi kawan, seperti yang anak-anak tongkrongan dan Twitter suka bilang, Tetap Putus Asa Dan Jangan Semangat dalam berdemo, tapi sebalik nya Tetap Semangat Dan Jangan Putus Asa dalam mengejar perubahan dan keadilan.