Pada zaman dahulu banyak hal dilakukan untuk menguji keperawanan. Misalnya menguji keperawanan dengan benang dan bentuk payudaranya. Seperti yang dikemukakan oleh Helkiah Crooke, seorang dokter terhormat di masa Raja James I.
Crooke mengatakan bahwa pengujian keperawanan menggunakan benang dapat dilakukan dengan cara menarik sehelai benang dari hidung menuju ke dasar tengkoraknya, lalu jika ukuran itu dapat dilingkarkan mengelilingi lehernya maka seorang perempuan akan dianggap perawan, dan begitu juga sebaliknya.
Hal Serupa juga dapat ditemukan melalui tulisan Hanne Blank dalam “Virgin: The Untouched History,” salah satu cara untuk menguji keperawanan adalah dengan melihat payudaranya. Jika seseorang memiliki payudara yang kecil dengan puting merah muda dan naik, maka dia dianggap perawan.
Tes Keperawanan dalam Seleksi TNI
Indonesia adalah salah satu negara yang masih bersikap diskriminatif terhadap perempuan. Hal itu dapat kita lihat melalui pemberlakukan tes keperawanan secara legal dalam seleksi TNI. Maka patut dipertanyakan lagi mengenai keadilan dan kesetaraan yang ada hari ini.
Dalam lingkungan TNI, tes keperawanan sering dilakukan kepada prajurit-prajurit perempuan atau Kowad dan istri-istri prajurit.
Dilansir dari Sindonews.com, Anwar Saadi selaku Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) menyatakan bahwa “Pemeriksaan kesehatan merupakan kewenangan dari fungsi kesehatan dalam hal ini Puskes TNI, Dinas Kesehatan Angkatan Darat, Laut dan Udara, sehingga sudah merupakan aturan yang telah disepakati bersama,” ia juga mengatakan bahwa teskeperawanan bukan syarat mutlak seorang prajurit perempuan untuk diterima di TNI.
Meskipun begitu, tes keperawanan ini memiliki rasionalisasi yang kuat untuk dihapuskan. Tes yang sudah lama menuai pro-kontra ini dinilai sebagai bentuk kekerasan dan pelecehan yang merendahkan martabat perempuan. Selain itu, tes keperawanan juga tidak termaktub dalam Pasal 28 UU No. 34 tahun 2004 yang mengatur tentang syarat-syarat umum untuk menjadi prajurit.
Kabar baik disampaikan oleh Andika Perkasa KSAD, ia menyatakan bahwa,“Pemeriksaan kesehatan calon prajurit Kowad harus sama dengan pemeriksaan terhadap prajurit TNI AD”. Tes keperawanan dalam seleksi TNI dipersoalkan karena berbagai alasan. Pertama, karna tes keperawanan dianggap tidak ilmiah. Kedua, dianggap tidak mempengaruhi kemampuan prajurit. Ketiga, dianggap diskriminatif terhadap perempuan. (Sumber: Pinter Politik)
Maka dari itu, tes keperawanan yang selama ini diberlakukan di dalam proses seleksi TNI sudah sepatutnya untuk dihapuskan.
Mengapa Tes Keperawanan Harus Dihapuskan?
Jadi, sebenarnya apa sih tes keperawanan itu dan mengapa harus dihapuskan? Konsep keperawanan yang lahir dan hidup di masyarakat didefinisikan sebagai kondisi orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual. (Sumber: Instagram @velmadotme)
Keperawanan selalu dikaitkan dengan selaput dara, biasanya digunakan dua jari dan dimasukkan ke lubang vagina untuk mengujinya. Dilansir dari Tirto.id, seorang dokter spesialis kebidanan bernama dr. Robbi Asri Wicaksono menegaskan bahwa, “jika ada dokter yang berani mengklaim selaput dara koyak sebagai tanda ketidakperawanan, ilmunya patut dipertanyakan.”
Ia menjelaskan bahwa tidak semua perempuan terlahir dengan selaput dara. Ada yang lahir tanpa hymen (selaput dara), ada pula yang memiliki selaput dara tipis sehingga akan koyak hanya karena aktivitas-aktivitas ringan. Ada pula yang terlahir dengan selaput dara tebal, walaupun sudah berkali-kali penetrasi, bentuknya tetap utuh. Robbi juga menambahkan bahwa selaput dara bisa saja koyak tiba-tiba, tanpa harus ada penetrasi penis terlebih dahulu.
Selain itu, mitos-mitos mengenai “keperawanan” juga dapat dilihat dari cara seorang perempuan berjalan, bentuk pinggul atau bentuk payudara. Mitos lain berkaitan dengan “keperawanan” yakni ada beberapa hal yang menyebabkan hilangnya “keperawanan”, contohnya olahraga beladiri, loncat indah, bersepeda, dan berkuda.
Mitos-mitos tersebut semakin menguatkan bahwa istilah “keperawanan” yang dinilai sebagai kehormatan tertinggi pada seorang perempuan hanya dinilai dari selaput daranya saja.WHO dengan tegas menyatakan bahwa, “Tes keperawanan dikategorikan sebagai praktik kekerasan terhadap perempuan.”
Konsep “keperawanan” sendiri sejak awal sudah menempatkan perempuan pada titik yang rendah. Bagaimana bisa seornang manusia hanya dilihat dari bentuk selaput daranya saja? Jika tolok ukur “keperawanan” hanya dinilai dari longgar-tidak nya selaput dara, maka bagaimana nasib perempuan yang dianugerahi selaput dara longgar sejak ia lahir? Atau bagaimana nasib mereka yang lahir tanpa selaput dara?
Jika masyarakat dan pemerintah tentunya, sepakat dengan kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa syarat, maka sudah seharusnya menghentikan kebiasaan-kebiasaan yang diskriminatif terhadap perempuan. Tidak hanya istilah “keperawanan” saja, stigma-stigms negatif mengenai perempuan yang pulang malam, bertato, merokok dan lain sebaganya juga harus dihentikan, baik di lingkungan masyarakat atau instansi pemerintah.
Referensi:
Hanne Blank, Virgin: The Untouched History; Keperawanan dalam Dunia Medis,
Tirto.id; Keperawanan dan Mitos-Mitos Selaput Dara,
Tirto.id; Eliminating Virginity Testing: An Interagency Statement, World Health Organiization.