Beberapa hari belakangan ini, kita dikagetkan dengan aksi brutal para teroris yang melancarkan bom bunuh diri tepatnya di depan halaman Gereja Katedral di Makasar dan aksi perempuan yang melakukan penyerangan di Mabes Polri. Semua pihak mengutuk keras aksi yang dilakukan oleh para teroris. Tentu semua tahu, aksi tersebut dilakukan secara terorganisir, sistematis dan menyasar kelompok-kelompok yang menurut mereka (teroris) harus dilenyapkan.
Barangkali ini bisa dibuktikan melalui surat yang ditinggalkan oleh seorang perempuan berinisial ZA (25) yang tewas ketika melakukan penyerangan di Mabes Polri. Isi surat tersebut tersirat memiliki nuansa politis serta ilusi identitas tunggal yang coba diciptakan oleh para teroris. Kita bebas menafsirkan isi surat tersebut.
Terlepas dari itu, bagaimanapun pesan yang disampaikan sebenarnya mengandung benih perpecahan, merusak nilai-nilai kebangsaan dan tentu saja mempertontonkan betapa sempit, dangkal dan dipenuhi naluri kejahatan paling bengis yang diciptakan untuk menguasai dan menindas yang lain.
Perlu dicatat, kemunculan teroris dan benih-benih teroris tidak serta-merta lahir begitu saja. Selalu ada faktor determinan yang membentuk akan hal itu. Bahkan pada tingkat tertentu, terorisme lahir dari sikap minimnya pemahaman dan kesadaran paling dalam dari seseorang memaknai toleransi diantara keberagaman. Hal ini bisa dibuktikan melalui aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral di Makasar dengan menyasar kelompok-kelompok yang berbeda keyakinan. Inilah salah satu bukti konkrit betapa pemahaman keberagaman itu terlalu sempit.
Menurut saya, persoalan terorisme tidak bisa terlepas dari dua hal. Pertama, ilusi identitas tunggal dan kedua, meluasnya ketimpangan ekonomi ditengah masyarakat. Saya akan menunjukan bahwa apa yang dimaksudkan dengan ilusi tunggal identitas dan ketimpangan ekonomi telah membentuk jaringan terorisme itu semakin berakar kuat di dalam masyarakat.
Ilusi Identitas Tunggal
Dalam buku Kekerasan dan Identitas, Amartya Sen (2016), menunjukan bahwa kekerasan terhadap identitas paling awal sebenarnya dibentuk dari sikap ilusi identitas tunggal yang diciptakan dan dipraktikan. Ilusi identitas tidak saja mendorong sikap sinisme terhadap identitas lain serta mengkotak-kotakan identitas.
Paling jauh justru menciptakan banyak kekerasan yang dilanggengkan oleh identitas lain terhadap identitas yang berbeda. Pada tingkat tertentu, ilusi yang telah diciptakan akan dikampanyekan kepada yang lain (kelompoknya) dalam rangka mendapatkan dukungan dalam melegitimasi ilusi identitas tunggal yang telah dikonsepkan. Hal ini tentu dilakukan melalui upaya mempolitisasi simbol-simbol identitas yang lain dan menciptakan rasa dendam untuk melenyapkan mereka.
Di sinilah sebenarnya keberagaman sebagai sebuah bangsa seketika lenyap dan tergerus dihadapan ilusi identitas tunggal. Mereka akan memaksakan identitasnya untuk diterima yang lain, sementara pada sisi yang lain mereka akan mencari-cari kelemahan-kelemahan dari identitas yang lain tersebut dalam rangka menunjukan superioritas akan identitas yang dianutnya. Persis disinilah sebenarnya kita menemukan bahwa ilusi identitas tunggal itu membawa kita kepada sebuah sikap untuk mendominasi seraya menundukan identitas lain.
Ilusi identitas tunggal ini bisa kita temukan dari aksi para teroris yang terus melancarkan aksi brutalnya terhadap identitas yang lain. Mereka menyasar identitas diluar mereka melalui aksi-aksi bom bunuh diri dalam rangka menciptakan ketakutan dari identitas yang mereka sasar.
Apa yang mereka lakukan sebenarnya dilatarbelakangi oleh ilusi yang mereka ciptakan sendiri dan mereka anut sendiri dilingkaran kelompoknya. Di sana tentu yang nampak adalah mereka ingin menguasai yang lain dan melenyapkan identitas yang lain yang menurut mereka sesat. Tidak heran jika untuk mencapai ilusi yang mereka ciptakan tersebut, mereka kerapkali melakukannya dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri. Sangat absurd.
Apa yang tampak dari aksi para teroris, sebenarnya menunjukan ilusi akan identitas yang mereka konseptualisasikan sendiri, dianutnya sendiri dan dianggap paling benar. Dari sikap semacam ini yang lahir adalah suatu pemikiran bahwa dengan melenyapkan identitas lain mereka menemukan kebenaran versi mereka.
Namun saat bersamaan pula mereka sebenarnya telah mendegradasi peradaban manusia sebagai identitas majemuk dengan hanya mereproduksi identitas tunggal mereka. Karena merasa identitas lain lebih unggul, pemaksaan identitasnya yang dibentuk oleh ilusi telah mendorong aksi-aksi brutal dalam rangka identitas yang mereka yakini diterima secara universal dikalangan identitas lain.
Selama ilusi identitas tunggal semacam itu terus dipraktikan dan dilanggengkan, selama itu pula pemaksaan identitas terhadap identitas lain terus dilakukan. Tidak heran jika Sen (2016: 24) menyebut bahwa ilusi tentang identitas tunggal sebenarnya jauh lebih memecah belah.
Ketimpangan Ekonomi
Sebagian kalangan tentu boleh tidak setuju bahwa keterkaitan terorisme dengan meluasnya ketimpangan ekonomi adalah salah satu faktor yang melatarbelakanginya. Sebab, kondisi suatu masyarakat yang timpang, dimana penguasaan akses terhadap sumber daya hanya dikuasai oleh kelompok-kelompok dari kalangan tertentu seketika melahirkan benih kebencian dan kecemburuan.
Bahkan lebih jauhnya lagi, ketimpangan ekonomi ini justru menyebabkan kelompok lain makin terdegradasi karena kurangnya akses bagi artikulasi kepentingan mereka. Di satu sisi, lemahnya kehadiran negara dalam memfasilitasi hak-hak dasar bagi pemenuhan kesejahteraan dasar bagi masyarakat menjadi pemicu seseorang meluapkan kemarahannya melalui aksi-aksi brutal.
Menurut saya, jika hanya mengkaitkan terorisme dengan agama tertentu, kita hanya terjebak kedalam pemahaman sempit. Karena toh semua agama pasti mengajarkan kebaikan, kebenaran dan cinta akan sesama. Maksud saya, kita mesti harus berangkat dari aspek yang selama ini terabaikan, yakni soal meluasnya ketimpangan ekonomi yang belakangan semakin menguat ditengah masyarakat.
Di tengah menguatnya ilusi identitas tunggal yang diciptakan dan tak pelak menemukan situasi ekonomi masyarakat yang timpang, tidak heran jika praktik ilusi identitas tunggal justru dilanggengkan terutama di kalangan masyarakat yang terpinggirkan dari domain pembangunan negara.
Untuk itu menurut saya, ada langkah yang perlu ditempuh. Pertama, mendorong penguatan nilai-nilai keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan ditengah masyarakat. Serta menunjukan keberagaman identitas yang mesti dirawat. Kedua, negara mesti harus bergerak lebih cepat melalui tawaran kebijakan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Dari sana negara akan menemukan bahwa ketimpangan ekonomi yang selama ini diciptakan dan absennya negara telah mendorong kelompok-kelompok ini untuk menegakkan keadilan meskipun dengan jalan yang brutal dan sadis.