Jika Brian May, gitaris grup band Queen, menulis lagu berjudul “Too Much Love Will Kill You”, dalam terorisme barangkali judul yang lebih tepat, “Too Much Believe Will Kill You.” Setidaknya itulah yang tercermin dari aksi terorisme bermodus agama yang seringkali mengganggu kondusifitas kehidupan sosial kita.
Bagaimana bisa seseorang menukar nyawanya dengan janji kemuliaan yang belum pernah terbukti adanya? Ya, setidaknya sampai saat ini belum ada martir bom bunuh diri yang kembali dari surga ke bumi untuk memberikan kesaksian bahwa setelah meledakkan diri, ia terbang ke surga, disambut 72 bidadari dan mendapatkan pelayanan first class dari para malaikat di sana. Belum ada!
Jika tidak ada kepastian, lalu apa yang membuat orang bisa melakukan aksi teror hingga rela menghilangkan nyawanya sendiri? Ada sebuah anekdot klasik yang mungkin dapat memberi sedikit gambaran tentang fenomena tindakan radikal ini. Anekdot ini tentang Neils Bohr, seorang ilmuwan besar asal Denmark, pelopor fisika kuantum dan pemenang nobel fisika tahun 1922.
Suatu hari seorang teman berkunjung ke rumah Neils Bohr di Copenhagen. Masyarakat di sana memiliki kepercayaan tentang khasiat tapal kuda yang dapat mencegah roh-roh jahat masuk ke dalam rumah. Saat masuk ke rumah, teman Neils Bohr heran melihat tapal kuda menggantung di daun pintu rumah Bohr, dia bertanya: “bukankah kamu seorang ilmuwan yang berpikir rasional, bagaimana bisa kamu percaya pada takhayul semacam ini?” Neils Bohr menimpali dengan jawaban yang bagus: “ya benar, sebagai seorang ilmuwan tentu saja aku tidak percaya dengan takhayul semacam itu. Hanya saja, aku tetap memasangnya karena orang-orang bilang padaku kalau tapal kuda itu akan tetap berfungsi walaupun aku tidak mempercayainya.”
Anekdot tersebut dengan apik menggambarkan tentang paradoks keyakinan. Dalam The Sublime Object of Ideology, filsuf Slovenia, Slavoj Zizek mengatakan, “keyakinan kita bernilai melalui tindakan kita, lebih dari pikiran kita.” Zizek menyebut ini sebagai kekuatan ideologi yang termaterialisasi melalui praktik tindakan subjek, tanpa ia perlu benar-benar percaya pada makna tindakannya. Inilah kenapa manusia dikatakan disebut Zizek sebagai subjek sinis (cynical subject).
Bagi Zizek, sikap sinis adalah keadaan ‘normal’ subjek. Pada dasarnya kita tidak benar-benar percaya pada nilai atau konsep-konsep di kepala kita yang mendeterminasi praktik sosial kita. Contoh kesinisan dalam praktik sehari-hari semisal saat kita bertanya “apa kabar” kepada teman.
Coba kita refleksikan lagi, sungguhkah kita peduli dengan kabar teman kita? Saya tidak yakin. Buktinya kita merasa cukup ketika teman kita menanggapi dengan jawaban template: “baik”, tanpa perlu ia menjelaskan keadaannya secara terperinci; semisal dia sedang dililit hutang, berantem dengan pacarnya dan lain sebagainya. Begitu pula sebaliknya saat teman kita bertanya balik tentang kabar kita, sebenarnya kita juga tahu kalau dia tidak sungguh peduli dengan saat menanyakan itu. Karenanya kita beri dia jawaban template serupa: “baik”.
Kesinisan subjek ini juga berlaku terkait keyakinan dalam praktik beragama. Seperti kita tahu, gagasan utama yang diserukan agama adalah tentang jalan keselamatan yang kekal bagi siapapun yang mau mengikuti ajaranNya. Mengapa hampir semua agama menyerukan ide ini? Jawabannya jelas, karena pada dasarnya manusia takut pada sesuatu yang tidak diketahuinya atau tidak dapat dipastikannya. Di sinilah salah satu fungsi penting agama untuk coba memberikan ketenangan pada manusia yang dihantui ketakpastian melalui ide-ide transendennya.
Namun nyatanya agama juga tidak sepenuhnya berhasil mengatasi kecemasan manusia. Terbukti dalam derajat tertentu, umumnya orang pasti tetap memiliki rasa takut akan kematian. Ketakutan tersebut jelas menyiratkan bahwa orang tidak seratus persen yakin pada konsep yang ditawarkan agama tentang jalan keselamatan yang kekal atau terselenggaranya afterlife. Dengan kata lain, agama—dalam fungsi ideologisnya—adalah nama lain bagi hal-hal yang orang praktikkan tanpa benar-benar mereka yakini dengan serius.
Namun, sikap sinis tersebut tidak melulu berarti negatif. Justru sebaliknya, karena sikap sinis atau praktik dalam ketakyakinan itulah yang memungkinkan manusia dapat menata kehidupan bersama yang toleran dan kondusif. Dan itu pula kenapa, secara paradoksal, kaum ektrimis atau fundamentalis yang terlalu serius menyikapi keyakinannya kita sebut sebagai teroris, bar bar dan sebagainya.