Rabu, April 24, 2024

Terorisme dan Eskapisme Beragama

Lev Widodo
Lev Widodo
Penulis lepas

“Agama,” tulis Lenin dalam The Attitude of the workers’ Party of Religion (1909), “adalah candu bagi rakyat. Inilah diktum Karl Marx yang menjadi pijakan seluruh pandangan kaum Marxis terhadap agama. Marxisme selalu melihat seluruh agama dan gereja modern, juga setiap dan semua organisasi keagamaan, sebagai alat kaum borjuis yang berfungsi untuk mempertahankan eksploitasi mereka dan melumpuhkan kelas pekerja.”

Tulisan Lenin itu ternyata menimbulkan gaung yang luas. Orang kemudian percaya bahwa Marx memang menyatakan bahwa agama adalah candu dalam pengertian yang dipahami Lenin. Seperti halnya candu, agama merusak otak, menghilangkan kesadaran, dan membunuh kehidupan. Karena itu, tidak beragama, terutama bagi buruh yang ditindas kaum pemilik modal, menjadi semacam keniscayaan demi memperbaiki nasib.

Kini kita tahu, pandangan Marx terhadap agama tidak seekstrem itu. Marx memang menyatakan bahwa agama adalah candu tetapi dia menggunakan kata ‘candu’ tidak dengan konotasi negatif. Hanya candu yang dikonsumsi secara over dosis-lah yang mematikan. Candu yang dikonsumsi seperlunya saja tidak mematikan, justru menciptakan ketenangan pikiran dan kebahagiaan—kendati kebahagian semu belaka.

Candu, begitu pula agama, untuk sementara waktu membuat orang lupa akan kesengsaraan, kemiskinan, dan penderitaannya. Candu-agama menjadi suaka tempat kaum tertindas mencari keamanan jiwa dari ancaman kenyataan sehari-hari. Agama merupakan idealisasi dari kenyataan yang sama sekali tak ideal. Wujud idealisasi kenyataan itu adalah surga baik surga secara eskatologis maupun surga secara psikologis.

Penalaran ini berangkat dari asumsi khas penganut materiaislme: bukan agama yang membentuk manusia, melainkan manusialah yang membentuk agama. Agama, pada dasarnya, adalah proyeksi harapan dan impian manusia, khususnya manusia yang menjadi korban ketidakadilan. “Agama,” ujar Marx dalam A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, “adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah candu bagi masyarakat.”

Benarkah demikian? Para penganut agama yang saleh dan beriman tentu menampik pendapat Marx tersebut, biar pun pendapat itu lebih lunak daripada pendapat Lenin. Orang beriman percaya bahwa agama bukan bentukan manusia. Sumber agama adalah wahyu yang adikodrati dan adimanusiawi. Doktrin teologis menegaskan bahwa agama bukan hasil pemikiran dan ungkapan perasaan manusia. Itulah yang membedakan agama dan filsafat.

 

Eskapisme Islam Radikal

Sungguh pun bertentangan dengan doktrin teologi, pendapat Marx dan Lenin tentang agama tidak perlu buru-buru dibuang. Pendapat mereka penting untuk memahami perilaku beragama kita pada saat ini. Di sela-sela pendapat mereka, tersirat penilaian bahwa agama bisa saja dihayati sebagai saluran eskapisme sosial. Perilaku beragama yang tak sehat ini tampak dalam fenomena radikalisme keagamaan yang memuncak menjadi aksi teror.

Kelompok teroris adalah barisan sakit hati yang kecewa terhadap ketidakadilan sosial, baik ketidakadilan sosial itu dialaminya sendiri maupun dialami oleh orang lain yang mereka anggap sebagai saudara seagama. Ketidakadilan sosial mencerminkan bahwa kenyataan tidak sejalan dengan harapan, khususnya tidak sejalan dengan harapan yang terbentuk atas dasar doktrin agama. Mereka bermaksud mengubah kenyataan dan membebaskan umat dari kezaliman tetapi mereka tidak memiliki kemampuan dan kekuatan yang memadai. Terjadi pergolakan batin dahsyat yang berujung pada sikap eskapis.

Kenyataan, yang dalam idiom Islam disebut pula sebagai “dunia”, dipandang buruk, jahat, berbahaya, dan mengancam. Karena itu, mereka lari dari kenyataan untuk kemudian mencari perlindungan dalam ajaran agama. Di “kawasan pengungsian” itu, mereka menemukan realitas lain yang ideal, yaitu surga, yang diliputi keadilan, kesempurnaan, kenikmatan, dan kebahagiaan. Di surga, tidak ada kezaliman, tidak ada ketimpangan ekonomi, tidak ada penilaian yang menusuk hati, dan tidak ada ancaman yang membahayakan. Bahkan, surga memberikan puluhan bidadari bagi pejuang agama yang mati syahid.

Itulah sebabnya mengapa para teroris sebegitu tergila-gila dengan kematian. Itulah pula sebabnya mengapa mereka sebegitu menafikan dunia sampai-sampai mengangkat senjata untuk menghancurkannya. Jelas bahwa eskpisme beragama seperti ini mengisyaratkan kepengecutan. Mereka tidak berani menerima kenyataan. Mereka terlalu bersemangat—kalau bukan terlalu bernafsu—untuk mengubah kenyataan. Eskapisme beragama boleh jadi memang lahir dari kegagalan dalam mengendalikan nafsu, yaitu nafsu menjadi pahlawan, nafsu untuk seinstan mungkin membereskas kerusakan dunia, dan nafsu untuk merebut surga.

Moderasi Puasa

Mengapa mereka gagal mengendalikan nafsu? Apakah karena mereka tidak berpuasa? Sebagaimana muslim pada umumnya, para teroris muslim itu tentu berpuasa juga. Tapi, puasa yang mereka jalankan tampaknya bermasalah. Buktinya adalah kegagalan mereka dalam mengendalikan nafsu.

Kegagalan mengendalikan nafsu bermula dari kegagalan dalam mengenali nafsu dan memaknai puasa. Nafsu seharusnya diasuh dan diasah dengan program puasa yang moderat. Puasa adalah lelaku moderat yang mengarahkan pada jalan hidup dan gaya hidup yang moderat. “Puasa,” kata K.H. Husein Muhammad—pengasuh pesantren Dar al-Tauhid Cirebon, “mendidik manusia [untuk mengembangkan] kemampuan mengendalikan dua kutub ekstrem dalam pikiran, jiwa, dan raga agar jadi manusia moderat.”

Penyakit eskapisme beragama disembuhkan dengan moderasi dalam beragama, termasuk moderasi dalam ibadah puasa. Dunia dan akhirat bukan dua kutub bertentangan, melainkan dua alam dialektis yang saling memberi kemanfaatan. Dunia bukan tempat yang sepenuhnya buruk, jahat, dan membahayakan. Kalau nafsu dikendalikan sedemikian rupa sehingga tumbuh rasa syukur dan damai dalam hati, kita sudah menemukan kebahagian saat hidup di dunia sebelum menikmati kebahagiaan ukhrawi di surga kelak.

Tidak perlu takut menghadapi kenyataan. Tidak perlu berlari dari kenyataan. Tidak perlu pula menghancurkan kenyataan. Dunia disikapi sebagai ladang amal yang buahnya akan dituai di akhirat. “Al-dunya,” ujar Nabi Muhammad, “mazra’at al-akhirah.” Dunia adalah ladang akhirat.

Dengan menghayati pandangan yang positif seperti ini, kita sudah mengambil jarak dari eskapisme beragama. Kita sudah melawan terorisme dengan gerakan yang anggun dan elegan. Kita terhindar dari penyakit mental yang disebut Erich Fromm, psikolog Jerman penafsir gagasan Marx, sebagai necrophilia, yaitu cinta buta terhadap kematian.

Lalu, dengan kepala tegak, kita dapat membantah pendapat Marx dan Lenin. Tidak tepat mengibaratkan agama sebagai candu. Agama bukan candu yang mematikan dan membisikkan rayuan kematian. Agama adalah elan vital (semangat [untuk] hidup) yang mengemban misi liberatif dan visi humanis.

Barangkali demikian.

Lev Widodo
Lev Widodo
Penulis lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.