Jumat, Oktober 4, 2024

Teror Lone Wolf: Siapa Bertanggung Jawab?

Muhammad Iqbal Suma
Muhammad Iqbal Suma
Menyelesaikan Studi Magsiter Hukum di IAIN Manado. Chief Kelompok Studi Alternatif, Science Communicator, Kurator di Sunday Speaks, editor dan Penerjemah buku-buku Sains Populer. Pernah Bekerja sebagai Tenaga Ahlil di KPU Provinsi Sulawesi Utara (2019-2021)

Dalam kurun 1 minggu, Indonesia dihentakkan oleh serangkaian teror brutal yang menyasar agama dan institusi negara. Minggu 28 Maret 2021, serangan bom bunuh diri terjadi di depan pintu gerbang Gereja Katedral Makasar, yang menewaskan 2 orang pelaku dan 20 orang lainnya luka-luka. Beberapa hari kemudian, rabu 31 Maret 2021 teror terjadi di halaman Mabes Polri oleh seorang simpatisan ISIS yang disebut sebagai teror lone wolf.

Peristiwa tersebut memicu gelombang respon publik yang terbelah dalam 2 opini besar.  Tak lama setelah serangan bom bunuh diri di Makasar, MUI mengeluarkan pernyataan agar Tindakan teror dikaitkan dengan agama atau suku tertentu. Ini memicu reaksi dari Sebagian besar publik, bahwa Tindakan terorisme adalah Tindakan yang didasarkan pada ideologi agama tertentu. Dalam 2 kasus tersebut, semua pelaku berasal dari kelompok Islam.

Dari rangkaian peristiwa tersebut, ada 2 problem mendasar dalam menghadapi ideologi transnasional yang telah melakukan pendaratan dan pendataran Ideologi di tanah air. Pertama, motif dari Tindakan terorisme yang terjadi di tanah air. Apakah agama menjadi variabel tunggal dalam membaca pola serangan teroris yang terjadi? Kedua, Langkah dan Tindakan apa yang perlu dilakukan kita, sebagai bangsa dalam menghadapi serangan di masa mendatang dan disatu sisi menekan pertumbuhan ideologi berbasis kekerasan dan doktrin radikal agama?

Bahaya Fundamentalisme Islam

Terlepas dari penolakan Sebagian orang untuk tidak mengaitkan terorisme dengan agama tertentu, kita perlu jujur mengakui bahwa ideologi dan Tindakan terorisme di tanah air didasarkan atas dokrtrin agama tertentu, khususnya doktrin Jihad dalam Islam. Tafsir jihad yang pada mulanya berarti upaya sungguh-sungguh untuk berjuang menjadi lebih baik, kemudian dipersempit menjadi sekedar peperangan melawan kelompok kafir. Bentuk jihad kemudian direpresentasikan dengan serangan teror, Tindakan brutal atau perang dan pembunuhan.

Menurut survey Lembaga Survei Indonesia, sebagaimana yang dikutip oleh Zuhairi Musrawi, hingga tahun 2010 saja terdapat setidaknya 1,60 persen responden yang berpendapat bahwa bom bunuh diri dan kekerasan untuk membela agama tertentu sering dapat dibenarkan, kalangan ini yang dapat dikategorikan penganut paham fundamentalis dan radikalisme.

Meskipun nominal presentasenya sedikit, namun jika dihitung dengan jumlah penduduk Indonesia yang memiliki penduduk sekitar 250 juta, maka jumlah penganut paham fundamentalisme itu tidak sedikit. Presentasi ini bisa meningkat, seiring lahirnya ISIS dan ideologinya yang telah diimpor ke banyak negara mayoritas muslim, termasuk Indonesia. Pada 2020 Kemenkumham merilis data yang berasal dari BNPT dan Densus 88, WNI pengikut ISIS mencapai 1276 orang. Radikalisme dan terorisme di tanah air tidak bisa dilepaskan dari ideologi fundamentalisme Islam.

Dalam pandangan Abdullah Saeed, munculnya gerakan militan ekstrimis muslim penganut paham fundamentalis, paling tidak dipicu oleh beberapa faktor: yang pertama, kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. kedua, pembatasan dan pengawasan sumber-sumber ekonomi Negara muslim, membiarkan negara muslim tetap lemah, mencegah kekuatan muslim untuk bangkit melawan hegemoni Barat, serta pendudukan wilayah muslim oleh Barat. Ketiga, politik standar ganda yang diterapkan oleh Barat, pembatasan dakwah Islam dan dukungan terhadap kalangan misionaris. Serta faktor ketidakberdayaan dalam menghadapi Barat yang dominan (Fanani: 2009).

Meluruskan Tafsir Fundamentalisme Islam

Fundamentalisme adalah satu-satunya ideologi dibalik berbagai Tindakan terorisme di tanah air. Berbagai tindakan kekerasan di Indonesia selalu dikaitkan dengan sekelompok umat Islam garis keras atau Islam radikal, yang menganut idelogi fundamentalis yang bersifat ekslusif, menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan agama, seperti sekularisasi dan liberalisasi pemikiran, dan juga cenderung bersifat romantisme masa lalu, menganggap bahwa generasi Islam terbaik adalah generasi awal.

Melihat faktor-faktor pemicu lahirnya gerakan Islam militan ekstrimis, maka, sebagaimana bahasa yang diutarakan oleh Arubusman, Fundamentalisme Islam pertama-tama harus dilihat sebagai suatu reaksi terhadap masalah-masalah yang mengiringi modernitas, yang dianggap telah keluar terlalu jauh dari ajaran Islam yang murni (Hendropriyono: 2009)). Bagi kalangan radikal dan fundamentalis, segala sesuatu yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan syari’at Allah adalah salah, sehingga dengan didukung ayat-ayat dari teks kitab suci, mereka merasa perlu melakukan revivalisasi terhadap Islam secara holistik, ini mencakup menolak sistem demokrasi modern, pemilu hingga sistem perbankan yang berlaku.

Doktrin jihad atau perang suci (holy of war), kemudian dipahamai secara harfiah dan sempit, dan mengaktualisasikan jihad tersebut dalam bentuk-bentuk penghancuran dan kekerasan terhadap kelompok lain. Fundamentalisme tidak lagi menjadi mekanisme penalaran yang mampu menggali akar-akar luhur keagamaan, seperti keadilan, kedamaian dan kesetaraan, tetapi justru menjauh dari substansi pokok keagamaan (maqashid al-‘ammah li al-syari’ah al-islamiyyah).

Sejatinya, upaya membumikan teologi Islam yang moderat, toleran dan inklusif harus dilakukan secara gradual, dengan pertama-tama melakukan rekonstruksi paradigma keagamaan, yang cenderung monolitik, dogmatik, dan radikalistik, yang sampai kini menjadi sebuah fakta yang problematik bagi dunia Islam, terutama Islam di Indonesia, ke arah paradigma keagamaan yang lebih inklusif, toleran dan moderat.

Selain itu, Pemerintah harus memiliki ketegasan dalam menindak ormas, kelompok agama bahkan pengajian yang mendorong lahirnya bibit fanatisme sektarian, yang menggunakan kekerasan sebagai bahasa perjuangan. Dalam kasus lone wolf, ada dua poin penting yang patut diseriusi oleh pemerintah. Pertama, lone wolf merupakan indikator bahwa fundamentalisme Islam tak hanya ada dalam kelompok atau sekte tertentu. Fundamentalisme Islam kini telah meracuni individu-individu yang bersimpati dan berafiliasi secara non-struktural dengan kelompok radikal semacam ISIS. Kedua, pemerintah perlu menerapkan strategi baru untuk mencegah lebih banyak lone wolf melakukan teror, dengan melakukan deteksi dini terhadap individu yang terpapar radikalisme.

Langkah ini menjadi penting dan terutama harus melibatkan lebih banyak pihak, terutama kelompok Islam moderat yang lebih besar seperti NU dan Muhammadiyah untuk meluruskan tafsir yang keliru dan diperebutkan oleh kelompok radikal. Meskipun Tindakan kekerasan dapat ditekan, tapi ideologi tersebut akan terus hidup dan menjangkiti lebih banyak orang. Mencegah dan memberantas pertumbuhan ideologi, terutama lewat Pendidikan, perbaikan kualitas hidup dan pemahaman keagamaan, akan menyelamatkan bangsa dan lebih banyak nyawa di masa-masa mendatang.

Muhammad Iqbal Suma
Muhammad Iqbal Suma
Menyelesaikan Studi Magsiter Hukum di IAIN Manado. Chief Kelompok Studi Alternatif, Science Communicator, Kurator di Sunday Speaks, editor dan Penerjemah buku-buku Sains Populer. Pernah Bekerja sebagai Tenaga Ahlil di KPU Provinsi Sulawesi Utara (2019-2021)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.