Jumat, April 19, 2024

Terang Sinar UU TPKS dan Perlindungan Kartini Masa Kini

Mochammad Abizar Yusro
Mochammad Abizar Yusro
Mochammad Abizar Yusro merupakan Sarjana Hukum Berprestasi dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Dia sekarang bekerja menjadi Corporate & Litigation Legal Counsel di PT Petronesia Benimel (Member of Hutama Karya Group) dan tergabung pada Perhimpunan Konsultan Hukum dan Pengacara Pertambangan Indonesia (PERKHAPPI) sekaligus telah lulus Ujian Profesi Advokat (UPA) di Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Habis Gelap, Terbitlah Terang” menjadi karya perempuan yang monumental pada tahun 1911 yang menggugah semangat kesetaraan hak atas gender di Indonesia. Karya ini merupakan kompilasi seluruh surat perjuangan, yang ditulis oleh perempuan Jepara yang bernama Raden Ajeng Kartini (RA Kartini). Karya yang menjadi magnum opus berisikan narasi-narasi sikap dan pandangan yang mendobrak kultur primordial yang menegasikan kesetaraan terhadap perempuan.

Kartini yang merupakan anak Bupati Jepara yang memiliki darah keturunan pada zamannya, merasa tersayat nuraninya melihat ketidakadilan yang dialami oleh para kaum perempuan. Pada masa itu perempuan dianggap sebagai mahkluk inferior dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan tidak diperkenankan untuk tampil menunjukkan kepiawaiannya ke khalayak ramai, mendapat prioritas pendidikan yang layak, dan maraknya kasus kawin paksa, poligami hingga kekerasan yang memberangus kebebasan perempuan.

Perjuangan besar Kartini untuk dapat menciptakan kesetaraan gender, justru merupakan pandangan futuristik yang patut diapresiasi. Pasalnya dengan ketiadaan persamaan hak dan derajat perempuan, menjadikan bangsa Indonesia seperti berjalan mencapai tujuan besar tetapi dengan kaki yang pincang. Kekhawatiran Kartini pun dituangkan dalam surat yang ia kirim kepada Estelle H. Zeehandelaar, pada Mei 1899 yang berbunyi:

Akan tiba masa itu, saya tahu tetapi tiga empat keturunan lagi. Aduh, tuan tiadalah tahu betapa sedihnya, jatuh kasih akan zaman muda, zaman baru, zamanmu, kasih dengan segenap hati jiwa, sedangkan tangan dan kaki terikat, terbelenggu pada adat istiadat dan kebiasaan negeri sendiri, tiada mungkin meluluskan diri dari ikatannya”.

Maka dari itu, untuk dapat meloloskan diri dari ikatan yang menjerat hak dan martabat perempuan. Diperlukan suatu norma yang menjamin keamanan, kenyamanan dan perlindungan yang menganut prinsip non-diskriminasi, agar keadilan dan kesetaraan secara proporsional pun dapat terjadi.

Pada saat ini semangat keadilan dan kesetaraan hak berdasar pada prinsip non-diskriminasi, diwujudkan dengan dibentuknya konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Tepat di dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia memuat berbagai ketentuan-ketentuan terkait perlindungan hak asasi manusia. Secara spesifik keadilan dan kesetaraan hak yang berdasar pada prinsip non-diskriminasi, dapat dimaknai tertuang dalam Pasal 28I ayat (1)-(2).

Muatan norma tersebut merupakan hak yang bersifat non-derogable rights atau hak absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun. Untuk itu wajib bagi negara untuk menjamin keadilan dan kesetaraan yang berlandaskan pada prinsip non-diskriminasi.

Akan tetapi manakala kita melihat realita yang terjadi saat ini, norma-norma konstitusi di atas hanya terlihat sebatas nilai nominal semata. Menurut Kusnardi & Harmaily Ibrahim dalam “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”, nilai nominal dalam konstitusi bermakna bahwa norma hanya berlaku secara hukum tetapi belum bisa diimplementasikan secara optimal. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan adanya disparitas antara nilai ideal (das sollen) dengan nilai nyata (das sein).

Dinamika Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan di Indonesia

Disparitas ini ditunjukkan dengan adanya data yang dilansir oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada tahun 2021, bahwa terdapat 21.753 perempuan yang mengalami korban kekerasan. Kasus ini mengalami peningkatan dari tahun 2020 yang berjumlah 17.575 korban perempuan.

Peningkatan jumlah korban dari tahun 2020-2021 mengindikasikan bahwa, terdapat minimnya perlindungan dan terciptanya rasa aman bagi perempuan di Indonesia. Jika dilihat secara grafis jumlah korban berdasarkan tempat kejadian, justru yang paling rentan terjadi kekerasan terhadap perempuan adalah Rumah Tangga (12,911). Sedangkan kondisi Covid-19 saat ini, justru memaksa masyarakat untuk menghabiskan waktu dan aktivitas lebih banyak di rumah.

Namun mirisnya rumah yang seharusnya menjadi surga bagi kelu

Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak
https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

arga, bisa menjadi neraka manakala praktik kekerasan terhadap perempuan terus menerus dilangsungkan. Mirisnya ketika melihat kualifikasi pelaku berdasarkan hubungan, ternyata pelaku tindak kekerasan merupakan orang-orang terdekat yang memiliki relasi khusus dengan masing-masing korban.

Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak
https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

Di sisi lain jenis layanan yang diberikan khususnya dalam penegakan hukum (1.710) dan rehabilitasi sosial (3.256), terjadi kesenjangan signifikan bila dibandingkan dengan layanan pengaduan. Seyogyanya pengaduan korban yang tinggi harus ditindaklanjuti ke penegakan hukum hingga rehabilitasi terhadap korban. Maka dapat dilihat hukum bekerja tidak efektif dalam perkembangan di masyarakat, sudah semestinya diperlukan formulasi norma agar hukum menjadi  obat bagi permasalahan yang ada (lex semper dabit remedium).

Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak
https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

Disahkannya Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual

Terbitnya sinar terang benderang pada hari Selasa (12/04/2022), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama Pemerintah telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi Undang-Undang.

Pengesahan yang dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani menjadi salah satu undang-undang yang bersejarah bagi rakyat Indonesia. Pasalnya aturan ini mengalami konstelasi politik dan pergerakan yang menarik massa yang besar, yang mana bermula dari dikeluarkannya RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang menyulut pergerakan aktivis maupun masyarakat. Namun semua perjuangan dan pergolakan massal kini terbayar tuntas.

Pengaturan UU PKS memiliki ruang lingkup yang komprehensif, yang mana meliputi beberapa hal di antaranya:

  1. Pencegahan;
  2. Penanganan;
  3. Perlindungan;
  4. Pemulihan korban; dan
  5. Penindakan pelaku.

Demikian dengan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yang mana mengalami pembaharuan sebagai berikut:

  1. Pelecehan seksual fisik;
  2. Pelecehan seksual non-fisik;
  3. Pemaksaan kontrasepsi;
  4. Pemaksaan sterilisasi;
  5. Penyiksaan seksual;
  6. Pemaksaan perkawinan;
  7. Eksploitasi seksual;
  8. Perbudakan seksual; dan/atau
  9. Kekerasan seksual berbasis elektronik.

Pembaharuan bentuk-bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang lebih bervariatif, dapat memberikan perlindungan lebih ekstensif dan komprehensif dibanding dengan sebelumnya yang relatif terbatas. Pun demikian korban bisa mendapatkan pelayanan pemulihan dan restitusi/kompensasi akibat dari perbuatan pelaku pidana (dader strafrecht).

Adanya pengesahan RUU PKS menjadi Undang-Undang dan momentum peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April, menjadi refleksi kemajuan komitmen negara dalam menjamin perlindungan maupun kesetaraan bagi tiap-tiap warga negaranya. Besar harapan pengesahan aturan ini bukan hanya dimaknai indah sebagai tulisan, tetapi juga sebagai alat untuk memproduksi kesetaraan dan keadilan.

Mochammad Abizar Yusro
Mochammad Abizar Yusro
Mochammad Abizar Yusro merupakan Sarjana Hukum Berprestasi dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Dia sekarang bekerja menjadi Corporate & Litigation Legal Counsel di PT Petronesia Benimel (Member of Hutama Karya Group) dan tergabung pada Perhimpunan Konsultan Hukum dan Pengacara Pertambangan Indonesia (PERKHAPPI) sekaligus telah lulus Ujian Profesi Advokat (UPA) di Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.