Selasa, Oktober 14, 2025

Tepuk Sakinah dan Makna di Balik Persiapan Pernikahan

Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum Pidana I, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Sudah menjadi hal yang wajar ketika Kantor Urusan Agama (KUA) kini ikut aktif di dunia digital. Para penghulu tidak lagi hanya duduk di balik meja akad, mengawasi prosesi, lalu menandatangani berkas. Kini mereka juga menjadi pendidik, penutur nilai, bahkan kreator konten yang hadir di layar-layar kecil masyarakat. Mereka berbagi tentang pentingnya keluarga sakinah, pencegahan pernikahan dini, hingga upaya menjaga janji suci agar tak berakhir di meja perceraian. Begitu pula para penyuluh agama, yang kini tak hanya berdiri di mimbar, tetapi juga hadir di media sosial tempat orang banyak mencari makna dengan cara baru.

Di tengah tren itu, munculah sesuatu yang sederhana namun mencuri perhatian: Tepuk Sakinah. Sebuah gerakan tangan yang awalnya hanya permainan ringan dalam kegiatan bimbingan perkawinan di KUA Wongsorejo, Banyuwangi, tiba-tiba viral di media sosial. Video berdurasi singkat itu ditonton jutaan kali di TikTok, dibagikan di Facebook, dan jadi bahan obrolan di banyak grup WhatsApp.

Padahal, “Tepuk Sakinah” hanyalah ice breaking jeda kecil agar suasana bimbingan tidak kaku. Dengan logat khas Madura-Osing, fasilitator di video itu memimpin para calon pengantin bertepuk tangan sambil mengingat nilai-nilai rumah tangga sakinah. Tidak dibuat dengan peralatan mewah, tapi tulus dan apa adanya. Justru karena kesederhanaan itulah, video itu terasa dekat dan jujur.

Namun seperti biasa, dunia maya punya dua sisi. Ada yang memuji karena kreatif dan mencairkan suasana. Ada yang menganggap biasa saja. Tidak sedikit pula yang mencibir, menilai bahwa pernikahan terlalu disederhanakan menjadi permainan anak-anak. Padahal, siapa pun yang pernah mengikuti bimbingan perkawinan tahu bahwa di balik canda dan tawa, ada pembahasan serius tentang tanggung jawab suami-istri, kesehatan reproduksi, penyelesaian konflik, dan kesiapan mental menghadapi bahtera rumah tangga.

Masalahnya, media sosial sering kali hanya menyorot potongan. Kamera merekam bagian lucu, lalu orang menilai seolah itu keseluruhan. Akibatnya, hal yang seharusnya menjadi jeda ringan justru disalahpahami sebagai inti kegiatan. Di sinilah terlihat betapa cepatnya opini terbentuk di era digital hanya dari cuplikan beberapa detik.

Padahal, “Tepuk Sakinah” sesungguhnya mengandung pesan mendalam. Ia bukan hanya tepukan tangan, melainkan simbol kebersamaan dan pengingat akan janji suci. Dalam konteks bimbingan, ia membantu calon pengantin untuk tidak tegang, agar pesan tentang tanggung jawab keluarga bisa diterima dengan hati yang ringan.

Bayangkan jika makna itu benar-benar dihidupkan dalam kehidupan rumah tangga. Saat suami-istri mulai berselisih, salah satu menepuk tangan sambil tersenyum, mengingatkan bahwa dulu mereka menikah atas dasar janji suci di hadapan Allah. Mungkin dari tepukan kecil itu, ketegangan bisa mereda, dan cinta kembali tumbuh dengan cara sederhana.

Nilai penting dari “Tepuk Sakinah” justru ada pada pesan yang dibawanya, bukan pada bentuknya. Ia adalah jembatan kecil menuju kesadaran besar. Bahwa rumah tangga tidak dibangun hanya dengan cinta, tapi juga dengan ilmu, kesabaran, dan komunikasi yang baik. Ironisnya, masyarakat sering kali lebih sibuk menertawakan hal viral daripada memahami substansi di baliknya.

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya di antara keburukan adalah buruknya ucapan.” Di masa kini, ucapan itu tak hanya keluar dari mulut, tapi juga dari jari-jari yang mengetik komentar tanpa pikir panjang. Media sosial kadang membuat orang merasa tahu segalanya hanya dengan menonton video beberapa detik, padahal makna sesungguhnya jauh lebih dalam.

Namun doa bisa lahir dari mana saja. Bisa dari sajadah, dari air mata, bahkan dari tawa ringan dan tepukan tangan. “Tepuk Sakinah” mungkin tampak remeh, tapi di balik kesederhanaannya, ia membawa doa agar pasangan muda bisa menjaga cinta dan janji mereka.

- Advertisement -

Biarlah komentar tetap ramai, karena rumah tangga tidak dibangun dari opini orang, tapi dari ketulusan dua insan yang berjanji untuk saling menjaga. Jika sebuah tepukan tangan bisa membantu mengingatkan mereka pada janji itu, maka gerakan sederhana itu punya nilai yang jauh lebih besar dari yang tampak di layar.

Dan ketika layar ponsel dimatikan, setiap orang akan kembali ke rumah masing-masing tempat di mana “Tepuk Sakinah” sejati diuji. Di sanalah nilai sesungguhnya terlihat: apakah sebuah tepukan tangan bisa menjadi pengingat bahwa cinta adalah amanah, bukan hanya perasaan, dan bahwa rumah tangga sakinah dibangun bukan dari sorotan kamera, tapi dari kesabaran dan keikhlasan yang dijaga setiap hari.

Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum Pidana I, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.