Jumat, April 26, 2024

Tentang Wapres dan Kisah Lebai Malang

Roziqin Matlap
Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta Peneliti Pusat Pendidikan dan Anti Korupsi (PUSDAK) UNUSIA dan LBH Ansor

Jagat perpolitikan sedang diramaikan dengan isu politik mengenai siapa yang akan jadi presiden dan wakil presiden (wapres) mendatang. Hingga kini, calon presiden (capres) mengerecut pada dua tokoh utama, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Tak kalah seru dengan bursa capres, bursa calon wakil presiden (cawapres) mejadi perbincangan hangat. Terlebih dengan isu bahwa wapres mendatang sangat potensial menjadi presiden di periode berikutnya. Sejumlah cawapres menggebu-gebu dalam proses kontestasi ini.

Demi memastikan terpilih menjadi cawapres, ada cawapres seperti Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar yang mendekat ke dua capres sekaligus. Sayang, sang capres belum kunjung memilih yang bersangkutan.

PAN dan PKB sebagai partai yang dipimpin keduanya belum menetapkan dukungan resmi kepada capres tertentu. Masing-masing memberi syarat akan bergabung menjadi pendukung capres, bila dirinya diusung menjadi cawapres. Syarat berat yang diharapkan menaikkan posisisi tawar ini, justru mengunci sang cawapres.

Kisah demikian mengingatkan penulis pada kisah Lebai Malang. Zaman penulis di Madsarah Ibtidaiyah (MI), kisah ini popular karena diajarkan di buku pelajaran. Dikisahkan bahwa Pak Lebai, seorang tokoh yang dihormati di kampung, mendapat undangan pesta dari dua orang yang sama-sama kaya. Pak Lebai bingung, pesta mana yang hendak didatanginya karena keduanya berlangsung di waktu yang sama, di tempat berjauhan.

Karena kebingungan, Pak Lebai harus mondar-mandir diantara dua tujuan tersebut dengan terus berpikir pesta mana yang lebih menguntungkan dari keduanya. Akhir cerita, Pak Lebai justru kehilangan kesempatan hadir di dua pesta tersebut karena waktunya habis di jalan untuk berpikir. Pak Lebai pun akhirnya dijuluki Lebai Malang.

Koalisi Cair

Dalam konteks politik Indonesia, adalah wajar cawapres mendekat ke lebih dari satu capres. Kondisi koalisi yang cair, membolehkan siapa saja bergabung dalam koalisi tanpa melihat asal partai, apalagi visi dan misi.

Namun hingga kini, Jokowi dan Prabowo terus menimbang cawapres yang layak mendampingi. Bukan apa-apa, salah memilih cawapres, bisa gagal dalam pemilu karena kurangnya dukungan dari koalisi partai dan rakyat selaku pemilih.

Bagi yang berhasil memenangi pemilu, harus memastikan bahwa wapres yang dipilih bukan orang yang akan memudarkan popularitas capres bersangkutan atau bahkan menjadi rival dalam pemerintahan nantinya. Capres harus memastikan bahwa pilihannya akan menjadi kawan seiring, bukan saingan di tengah jalan.

Pertimbangan kawan seiring menjadi penting di tengah koalisi yang cair. Belajar dari pengalaman sebelumnya, bahwa partai pendukung Prabowo saat pemilihan tahun 2014, seperti Golkar dan PPP ternyata langsung berbalik menjadi pendukung Jokowi ketika Jokowo terpilih.

Bersama Partai Nasdem dan Hanura, kedua partai juga menjadi pendukung Jokowi sejak awal untuk maju di periode berikutnya. Kita juga perlu belajar cairnya koalisi saat Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode kedua. Beberapa partai pendukung SBY ternyata justru yang teriak kencang mengkritik SBY di DPR.

Pencarian kawan seiring juga penting agar kisah rivalitas presiden dan wapres pada masa Sukarno-Hatta, SBY-JK, dan Gusdur-Megawati, tidak terjadi lagi. Relasi Presiden dan Wapres yang tidak jelas berdasarkan UUD 1945, pada akhirnya menjadikan wapres berpotensi melakukan inisiatif, yang terkadang kontraproduktif. Terlebih di era pemilihan Presiden langsung, dimana presiden dan wapres dipilih secara bersama-sama.

Pengalaman relasi Presiden dan Wapres yang kurang bagus dapat juga diambil dari negara lain. Di Ekuador, Wapres Gustavo Noboa melakukan kudeta dan mengambil alih kepemimpinan Presiden Ekuador Jamil Mahuad, atau seperti yang terjadi di Filipina di mana Wapres Gloria Macapagal-Arroyo merencanakan penggulingan Presiden Joseph Estrada secara damai.

Sementara itu di Rusia, Wapres Rusia Alexander Rutskoi menjadi lawan politik yang amat gigih bagi Presiden Rusia Boris Yeltsin dengan memanfaatkan isu kelangkaan pangan dan kemandekan kehidupan ekonomi. Presiden Yeltsin kemudian memecat Rutskoi dengan dalih membersihkan korupsi dari tubuh pemerintahan. Pemecatan Rutskoi oleh Presiden Yeltsin jelas-jelas melanggar konstitusi, namun mendapat dukungan luas dari masyarakat Rusia.

Melalui perubahan ketiga UUD 1945, presiden dan wapres Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket pasangan. Pemilihan demikian akan meningkatkan posisi tawar wapres terhadap presiden karena keduanya mencapai kedudukan tersebut dengan usaha bersama-sama dan naiknya seseorang menduduki jabatan Presiden juga tidak bisa dilepaskan dari peran calon wapresnya.

Namun demikian, hal itu tidak menjadikan presiden dan wapres berbagi kekuasaan dengan seakan-akan masing-masing memegang separuh saham dari kekuasaan pemerintahan. Meski sebagai wakil, wapres tidak dengan sendirinya menjadi wakil dari jabatan tertentu yang dikepalai atau dipimpin oleh Presiden, seperti misalnya wapres tidak otomatis menjadi wakil panglima tertinggi TNI, dan tidak otomatis bisa mengendalikan menteri atau lembaga yang dipilih atau diangkat presiden.

Hal ini karena kekuasaan tersebut hanya melekat mutlak dalam diri Presiden seorang. Demikian pula, pada akhir masa jabatannya yang akan dituntut pertanggungjawabannya adalah Presiden itu sendiri.

Syarat Kerjasama

Pemilihan presiden dan wapres dalam sistem paket terdapat juga di Amerika Serikat. Sistem demikian berjalan mulus di Amerika Serikat karena paketnya berasal dari partai sama sehingga memudahkan kerjasama dari presiden dan wapres. Namun, pemilihan capres dan cawapres di Indonesia mengharuskan diusung oleh koalisi partai karena adanya ketentuan presidential threshold. 

Koalisi partai demikian menimbulkan potensi perpecahan antara Presiden dan Wapres. Jika antara presiden dan wapres mengalami perpecahan dan tidak satu visi lagi maka jelas hal tersebut akan mengganggu kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, syarat adanya kerjasama antara presiden dan wapres harus selalu ada sepanjang pemerintahan, tidak terbatas pada saat pencalonan presiden dan wapres.

Syarat kerjasama lebih mudah didapatkan dengan pemilihan wapres masa orde baru. Saat itu, presiden dan wapres tidak dipilih secara bersama-sama. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 menentukan bahwa pemilihan wapres dilakukan setelah presiden terpilih bersumpah atau berjanji. Hal ini disebabkan adanya ketentuan bahwa wapres harus dapat bekerja sama dengan presiden.

Syarat kerjasama capres-cawapres sepertinya sulit terlaksana bila cawapres bermain di dua kaki. Sulit membayangkan cawapres demikian mampu mendongkrak elektabilitas capres, meyakinkan pemilih, dan bekerja sama nantinya, karena ia sejak awal telah ragu dengan sang capres. Semoga sang cawapres segera menetapkan pilihan, agar tidak berakhir tragis seperti kisah Lebai Malang.

Roziqin Matlap
Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta Peneliti Pusat Pendidikan dan Anti Korupsi (PUSDAK) UNUSIA dan LBH Ansor
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.