“If there was one life skill everyone on the planet needed, it was the ability to think with critical objectivity”. – Josh Layon
Belakangan khalayak kembali riuh memperbincangkan peniadaan Pekerjaan Rumah (PR) dari sistem pendidikan kita. Asbabnya adalah ketika tersiar kabar soal tidak adanya PR di sekolah dasar dan menengah di salah satu kabupaten di Jawa Timur, yakni Garut. Padahal isu peniadaan PR sendiri hampir tiap tahun menjadi bahasan, tapi sampai kini tidak juga dijumpai ketegasannya.
Mendikbud Muhadjir Efendy sebagaimana dilansir dari Metrotvnews, penghapusan PR secara nasional perlu kajian khusus dan pendalaman, tapi beliau memperbolehkan jika ada sekolah meniadakan PR terkhusus sekolah berbasis Full Day School. Toh sebenarnya ihwal ada atau tidaknya PR merupakan kebijakan Dinas Pendidikan, mengingat dinas setempat yang paham betul kearifan lokal, situasi dan kondisi daerah.
Terlepas dari perdebatan harus sama atau tidaknya sistem pendidikan antar daerah dan kesenjangan kualitas pendidikan yang ditimbulkan, penting untuk dibahas adalah eksistensi dan relevansi penerapan PR. Perlukah diubah dengan model baru atau bahkan ditiadakan/dihapuskan?
PR yang selama ini dihidangkan untuk siswa selalu saja bersifat akademis yang tidak berbeda sama sekali dengan apa yang saban hari ditemui di dalam kelas. Siswa harus menjumpai teori atau rumus dan soal hampir sepanjang hari. Mungkin saja hanya menyisakan waktu tidur (yang juga sudah terpotong durasinya).
Padahal kita tahu bahwa hidup anak tidak melulu soal sekolah dan segala hal yang menyertainya, termasuk PR. Belajar bukan hanya dengan mengikuti program pembelajaran sekolah. Ada hal penting lain seperti quality time dengan keluarga, bermain Tik tok dan Mobile Legend bersama teman sebaya, berekreasi dst. yang mana sekolah sukar untuk memfasilitasi.
Bahkan menurut Etta Kralovec dan John Buell, dalam tulisannya The End of Homework: How Homework Disrupts Families, Overburdens Children, and Limits Learning, menuturkan bahwa pekerjaan rumah merupakan gangguan pada kehidupan keluarga, yang mengeksploitasi waktu anak untuk berkumpul bersama keluarga atau kegiatan sosial. Belum lagi stress berkepanjangan anak yang timbul dari terlalu banyaknya deadline PR yang harus dikerjakan.
Salah kaprah
Guru memberikan pekerjaan rumah dengan tujuan untuk penguatan, pendalaman dan pengayaan apa yang telah diplajari. Dengan harapan siswa memiliki tingkat penguasaan materi yang tinggi.
Dapat disimpulkan bahwa titik tekan disini adalah bagaimana meningkatkan penguasaan siswa terhadap apa yang dipelajari. Jadi logikanya bukan berarti peningkatan penguasaan = tambahan tugas berupa aktivitas yang sama jiplek dengan aktivitas sekolah.
Menilik realitas dan dampak yang timbul sebagaimana sempat disinggung diatas, PR dengan model klasik berupa sebrek soal yang jawabanya ada di buku sudah tidak lagi relevan dan justru menampakkan tercerabutnya PR dari tujuannya, yakni peningkatan penguasaan. Akan lebih tepat jika pekerjaan berupa upaya kontekstual yang searah dengan kebutuhan dan tidak memberatkan (tekanan emosional) bagi siswa.
Dilansir oleh Antara Presiden Joko Widodo pernah mengusulkan, agar pekerjaan rumah bagi para siswa berupa kegiatan sosial, misal menjenguk tetangga yang sakit, memberikan makanan untuk orang lain, melakukan eksperimen kecil dsb. juga hal-hal yang mengarahkan siswa untuk menerapkan hal yang dipelajari. Konsekuensinya, pembelajaran di kelas harus lebih banyak memuat materi yang aplikatif.
Apakah materi yang disampaikan di kelas tidak aplikatif?. Hemat saya pembelajaran dikelas yang pernah kita alami cenderung hanya mengedepankan knowing, bukan pembentukan karakter dan kemampuan berfikir kritis. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya teori dan fakta yang telah kita tahu tapi gagap dalam aktualisasi. Mengapa? Karena kita hanya dituntut untuk tahu. Parahnya setelah sampai dirumah kita masih dihadapkan pada hal yang sama.
Gimana nggak sialan? di sekolah dijejalkan fakta ilmiah dan sejarah, dirumah kita menguatkan itu dengan tugas yang mensyaratkan kita berlaku CTRL+V untuk dapat mengerjakannya. Bukan tentang “mengapa dan bagaimana”. Contoh : dulu sering kita dikenalkan dengan penemu dan temuannya, Alexander Graham Bell dan Telepon misalnya. Kita terus saja merapal itu tanpa pernah dipertanyakan dampak ditemukan bagi manusia dan alternatifnya?. Akhirnya kita hanya menghafal nama dan temuannya.
Haruskah pekerjaan rumah ditiadakan?
Boleh jadi akan tepat jika PR ditiadakan, guna memberikan ruang dan kesempatan siswa untuk belajar lewat keseharian dan menikmati hidupnya. Tapi bukan berarti PR dilenyapkan dari semua tingkatan pendidikan. Cukup sekolah dasar saja, pasalnya usia mereka memang diproyeksikan untuk bermain dalam rangka stimulasi pertumbuhan fisik dan kecerdasan. Yang memberdakan dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah dosis dan obyek pembelaharan, tapi paradigmanya tetap sama.
Sedangkan untuk sekolah menengah (pertama dan lanjutan) keberadaan PR adalah mutlak. Namun yang diberikan sebagai pekerjaan rumah bukan lagi soal/tugas dengan mekanisme kerja CTRL+V dari buku paket atau internet, tapi yang dapat melatih mereka untuk berfikir kritis dan solutif. Kiranya di usia remaja, siswa susah cukup mampu melakukan itu.
Konsepnya berbeda dengan Pekerjaan Rumah pada tingkat sekolah dasar. Setelah dijejali berbagai pengetahuan di kelas, kemudian mereka dirumah diberikan tantangan berupa permasalahan yang terkait dengan apa yang telah dipelajari. Dan itupun tidak harus dalam bentuk tertulis dan metode pengerjaannya bisa dengan bertanya kepada orang tua, tetangga atau bahkan melakukan eksperimen sendiri. Jadi mengerjakan PR sembari bersosialisasi.
Soal dalam dalam model PR ini terfokus pada why and how quetsion bukan what, who, where and when quetsion. Dengan begitu siswa akan terarahkan untuk berfikir untuk memecahkannya, untuk itu harus dipastikan guru tidak membuat pertanyaan yang jawabannya mudah ditemukan.
Tokoh dan teoretrikus pendidikan Brasil, Paulo Freire menyebut itu dengan “Pendidikan Kritis” atau Pendidikan Hadap Masalah. Kebalikan dari pendidikan hadap masalah adalah Pendidikan Gaya Bank hanya menghimpun dan menyampaikan dalam bentu yang sama tanpa ada proses fikir. Dengan PR yang berparadigma pendidikan hadap masalah, menjadikan siswa tidak hanya mengerti apa yang dipelajari, tapi mampu menguasai dalam arti yang sebenarnya, ‘mengurai benang kusut’ bahkan menemukan teori baru.
Disadari atau tidak, pendidikan gaya bank yang kita alami hanya menumpuk sampah-sampah pengetahuan. Padahal hidup teramat dinamis dan atas sebab itu pengetahuan lama akan tergantikan pengetahuan baru. Apa jadinya jika kemampuan berfikir kritis kita lemah?.
Namun, sebagus apapun Pekerjaan Rumah diformulasikan, pada akhirnya ia bukanlah penentu dari keberhasilan sebuah pembelajaran. Karena pada dasarnya PR hanya kepanjangtanganan dari pembelajaran didalam kelas itu. Tapi paling tidak PR tidak kemudian malah menjadi momok bagi siswa yang justru menghambat pembelajaran dan menjadi beban yang sarat menimbulkan stres juga menjajah waktu bermain anak.