Manusia melalui dan dalam ruang kesehariannya selalu terarah pada kebahagiaan (eudaimonia). Keterarahan ini menunjukkan keberadaan kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari peziarahan dan pencaharian manusia di dunia. Singkat kata, kebahagiaan adalah apa yang dicari, diinginkan, dan dikejar setiap individu manusia dalam kehidupannya. Sentralitas kebahagiaan melahirkan pertanyaan mendasar mengenai makna dan letak kebahagiaan itu sendiri.
Apakah kebahagiaan itu dan di mana ia dapat dialami? Kedua pertanyaan inilah yang berusaha dijawab dan diuraikan Anicius Manlius Severinus Boethius dalam De Consolatione Philosophiae. Pemikiran Boethius inilah yang hendak dikaji penulis dalam tulisan ini. Penulis juga akan melihat aplikasi gagasan kebahagiaan Boethius bagi keseharian hidup manusia, khususnya sumbangannya dalam mengatasi persoalan-persoalan yang saat ini muncul dalam ruang publik manusia Indonesia: flexing, korupsi, dan upaya perebutan kekuasaan.
Menjadi Bahagia: Goal Hidup Manusia
Anicius Manlius Severinus Boethius, atau lebih dikenal dengan nama Boethius, lahir di Roma, Italia, pada tahun 480 Masehi. Menurut Boethius, kebahagiaan merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai oleh setiap manusia dalam kehidupannya. Kerinduan untuk menjadi bahagia tidak terpisahkan dari manusia. Artinya dalam dirinya sendiri manusia selalu bergerak untuk mengejar kebahagian.
Menjadi bahagia pada titik ini ditempatkan sebagai bawaan lahir. Pikiran, jiwa, dan segala daya upaya manusia selalu terarah pada perwujudan kebahagiaan itu sendiri. Dengan kata lain, manusia pada dasarnya selalu terarah pada kebahagiaan. Menjadi bahagia adalah kodrat manusia.
Boethius dengan tegas menyatakan “what all men want, although they seek it by different routes and through different activities, is to be happy. That is the summum bonum, the supreme good, the one that leaves room for no others, for if there were anything further to want it could not be the highest good…” (Boethius, trans. Slavitt, 2008:61).
Pernyataan di atas menegaskan keberadaan kebahagiaan sebagai suatu kondisi yang hendak dicapai setiap individu. Kebahagiaan disebut sebagai summum bonum atau kebaikan tertinggi: situasi di mana manusia mengalami pengalaman kepenuhan, berada dalam taraf kesempurnaan. Kebahagiaan membuat manusia tidak membutuhkan apapun lagi dan tidak diliputi kecemasan, kekhawatiran, ketakutan!
Bahagia yang Semu
Setelah mematenkan pandangan tentang kebahagiaan sebagai titik puncak peziarahan dan segala usaha manusia, Boethius mengkritik sekaligus memberi penjelasan mengenai kegagalan manusia untuk mencapai kebahagiaan sebagai summum bonum. Menurutnya manusia kerap kali disesatkan oleh ide-ide palsu tentang yang baik, sehingga tidak mampu memandang dan memeluk kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi.
Manusia sering kali mereduksi kebahagiaan pada kekayaan, kehormatan, kekuasaan, ketenaran, atau kesenangan yang menggairahkan. Boethius, berseberangan dengan pemahaman umum, melihat kekayaan, kehormatan, ketenaran, dan kekuasaan sebagai kebahagiaan semu. Halnya sama dengan pandangan para filosof Stoa yang menegaskan bahwa penyebutan kenikmatan, kepuasan, kesenangan dan kesuksesan sebagai sumber sekaligus tanda kebahagiaan adalah sebuah kesalahan total (Tinambunan, 2014:31-40).
Kebahagiaan dari sendirinya tidak identik dengan kekayaan, ketenaran, kenikmatan, kekuasaan, kehormatan dan seterusnya. Semua itu adalah kebahagiaan semu sekaligus tidak pernah menjadi jalan menuju kebahagiaan sejati, tidak mengantar manusia kepada pengalaman kepenuhan.
Artinya kendati manusia memperoleh kekayaan, kehormatan, kekuasaan dan lain sebagainya, ia tetap berada dalam lingkaran pemenuhan kebutuhan yang tidak berhenti (terus membutuhkan sesuatu yang lain) dan berada dalam kekhawatiran serta ketakutan jika semua itu diambil dari padanya. Manusia yang berada dalam kebahagiaan semu tidak merasa bebas. Ia tertekan, terpenjara, dan terperangkap!
Bahagia yang Sejati
Berkembangnya realitas kebahagiaan palsu atau semu dari sendirinya membutuhkan penjelasan komprehensif mengenai kebahagiaan sejati. Boethius menerangkan kepada Filsafat, sebagai teman dialognya, bahwa kebahagiaan yang sejati adalah apa yang membuat seorang manusia serentak mandiri, berkuasa, dihormati, terkenal, dan senang (Boethius, trans. Slavitt, 2008:83).
Inilah kebahagiaan yang penuh, hakiki, dan sempurna. Akan tetapi kebahagiaan dalam wajah dan kondisi demikian tidak dapat dipenuhi oleh sesuatu yang fana. Yang fana tidak mungkin menciptakan kebahagiaan sejati sebagai summum bonum yang ditandai dengan terintegrasinya segala yang baik secara sempurna (A. Van der Weij, trans. K. Bertens, 2000:72), bersifat tahan lama atau tidak mudah lenyap, dan tidak diliputi perasaan takut dan gelisah.
Oleh karena itu, kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan dalam realitas tertinggi dan sempurna: Tuhan, wujud tertinggi. Tuhan menjadi tempat manusia menemukan kebahagiaan, karena Dia merupakan Yang Baik dan dalam dirinya sendiri termuat kebaikan yang tertinggi sekaligus sempurna. Tuhan adalah Yang paling tinggi, penuh dengan yang paling tinggi, yaitu yang sempurna dan baik (Boethius, trans. Slavitt, 2008:87).
Karena Tuhan adalah kebaikan tertinggi dan pada saat yang sama kebahagiaan juga merupakan kebaikan tertinggi, maka baik Tuhan maupun kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi. Dengan demikian kebahagiaan sebagai summum bonum adalah Tuhan itu sendiri (Boethius, trans. Slavitt, 2008:87). Kebahagiaan ada dan terletak dalam Allah. Dalam Tuhan tidak ada yang tidak sempurna, tidak ada ketakutan, tidak kecemasan! Tuhan membuat manusia merasakan pengalaman kepenuhan dan dari sendirinya berkanjang dalam kebahagiaan.
Menjadi Boehitus di Masa Kini: Aplikasi
Konsep kebahagiaan Boethius relevan untuk dihayati dan diaplikasikan setiap manusia Indonesia. Halnya menjadi senjata ampuh untuk mengatasi persoalan-persoalan yang saat ini menjamur di Indonesia, yakni budaya pamer atau flexing, korupsi, dan upaya merebut kekuasaan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Menurut pendapat Boethius, flexing sebagai usaha untuk mencapai ketenaran (banyak followers, diidolakan orang lain) termasuk kebahagiaan semu karena tidak mendatangkan apa-apa; korupsi bertentangan dengan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi karena tidak menuntun manusia kepada pengalaman kepenuhan, kendati kaya manusia tetap membutuhkan sesuatu yang lain; dan kekuasaan bukanlah jalan untuk mewujudkan kebahagiaan sebab tidak mengantar manusia pada kondisi penuh yang jauh dari perasaan takut, gelisah, dll.
Hemat penulis konsep kebahagiaan Boethius akan menyadarkan manusia Indonesia bahwa Tuhan adalah kebahagiaan yang sebenarnya, Tuhan sebagai summum bonum. Insight atau pemahaman bahwa flexing, korupsi, dan kekuasaan termasuk dalam kebahagiaan palsu mampu membuat manusia Indonesia menghindari ketiganya dan mencari Tuhan. Pencarian dan kebersatuan dengan Tuhan memungkinkan setiap manusia untuk bertumbuh dalam keutamaan-keutamaan seperti keadilan, kesetaraan, dan lain sebagainya.
“Mari kita menghidupi filsafat Boethius dalam keseharian kita: menjadi manusia yang memeluk Tuhan dengan tidak ‘gila’ kekuasaan, kehormatan, kekayaan.”