Media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi, berbagi, dan mengkomunikasikan diri. Dalam beberapa tahun terakhir, platform seperti Instagram, Twitter, dan Facebook telah menjadi wadah bagi individu untuk memamerkan prestasi mereka, kehidupan yang sempurna, dan harta yang dimiliki.
Fenomena ini disebut dengan flexing, yaitu praktik memamerkan keberhasilan, kebahagian, dan kemewahan dalam hidup seseorang dengan tujuan memperoleh pembenaran diri ataupun untuk menarik perhatian orang. Meskipun pada dasarnya tidak ada yang salah dengan merayakan prestasi dan kebahagian yang telah diperoleh, flexing yang berlebihan dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mental orang lain.
Flexing dan Egosentrisme Digital
Flexing adalah produk dari budaya ego digital, di mana individu bersaing untuk menunjukkan versi terbaik dari diri mereka di media sosial. Hal ini dapat terlihat dari postingan-postingan mereka yang memuat tentang pencapaian finansial, perjalanan mewah, kehidupan yang tampak sempurna, dan barang-barang mahal. Entah postingan tersebut sesuai dengan kehidupan asli mereka ataukah tidak, postingan ini dapat memberikan kesan bahwa mereka memiliki kehidupan yang sempurna.
Postingan-postingan tersebut bisa menjadi sumber inspirasi bagi beberapa orang untuk menjadi lebih baik. Namun di sisi lain, postingan tersebut juga dapat menyebabkan perasaan rendah diri dan ketidakpuasan. Terutama ketika seseorang merasa ada kesenjangan sosial yang tajam antara kehidupan mereka dan konten yang mereka lihat di media sosial.
Dampak Negatif Flexing pada Kesehatan Mental
Fenomena flexing di media sosial dapat mempengaruhi kesehatan mental (mental health) orang lain. Studi seperti yang diterbitkan dalam Journal of Abnormal Psychology menghubungkan penggunaan media sosial yang berlebihan dengan peningkatan gejala depresi dan kecemasan. Melihat berbagai flexing di media sosial dapat membuat individu merasa kurang berhasil dan merasa lebih cemas tentang kehidupan mereka sendiri.
Ada beberapa efek negatif yang dapat timbul dari flexing, di antaranya yaitu:
- Perasaan Inferior: Melihat postingan flexing dapat membuat individu merasa kurang sukses atau inferior dibandingkan dengan mereka yang memposting. Hal ini dapat memicu perasaan rendah diri dan merendahkan kepercayaan diri.
- Stres Finansial: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan terus-menerus terhadap gambaran kemewan dan konsumsi berlebihan dalam flexing dapat mendorong individu untuk merasa tertekan secara finansial. Mereka mungkin merasa perlu untuk mengejar gaya hidup yang mahal meskipun kemungkinan mereka tidak mampu secara finansial.
- Depresi dan Kecemasan: Ketidakpuasan yang timbul dari perasaan inferior dapat mengarah pada depredi dan kecemasan. Indovodu mungkin merasa tidak mampu mencapai standar yang ditetpkan oleh orang-orang yang mereka lihat di media sosial.
- Perasaan Ketidakberdayaan: Orang yang merasa tidak dapat mengejar tren flexing mungkin merasa tidak berdaya dan merasa bahwa kebahagiaan dan keberhasilan sellau berada di luar jangkauan mereka.
Pentingnya Kesadaran dan Empati
Seperti yang telah dijelaskan di atas, membagikan berbagai pencapaian dan kesuksesan di media sosial bukanlah hal yang salah. Namun, jangan lupa bahwa kita semua memiliki perjalanan hidup dan kondisi yang berbeda-beda. Setiap orang memiliki tantangan dan ketidakpastian yang mungkin tidak terlohat di balik foto-foto yang indah. Ketika kita memahami ini, kita dapat menjadi lebih sadar tentang dampak yang akan kita timbulkan terhadap kesehatan mental orang lain.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking menekankan pentingnya empati di media sosial. Hal ini memberikan pemahaman bahwa apa yang kita bagikan dapat mempengaruhi perasaan orang lain. Berbicara tentang pencapaian kita sendiri dengan rendah hati dan tanpa berusaha membandingkan dengan orang lain adalah langkah kecil yang dapat membantu mengurangi dampak negatif dari flexing.
Mengatasi Dampak Negatif Flexing
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meengatasi dampak negatif flexing terhadap kesehatan mental kita, di antaranya yaitu:
- Sadari “Hanya Pameran”: Ingatlah dan tanamkan dalam diri kita bahwa apa yang kita lihat di media sosial adalah sebuah “pameran” dari kehidupan orang lain. Dan itu mungkin tidak mencerminkan keseluruhan kehidupan nyata mereka.
- Fokus pada Diri Sendiri: Ingatlah bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup yang unik dan tidak ada gunanya membandingkan diri kita dengan orang lain. Tetapkan tujuan pribadi dan perbaiki diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik bukan untuk memenuhi harapan orang lain.
- Kurangi Penggunaan Media Sosial: Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah waktu yang digunakan untuk berselancar di media sosial. Buatlah waktu untuk aktivitas di dunia nyata yang memberi kebahagian dan kesenangan.
- Bangun Komunikasi yang Sehat: Temukan kelompok atau komunitas yang mendukung perkembangan pribadi dan kesehatan mental. Hal ini dapat memberikan perspektif dan dorongan yang positif.
Flexing di media sosial merupakan salah satu fenomena umum yang berdampak pada kesehatan mental orang lain. Untuk itu, perlu adanya kesadaran dan kepedulian dalam menggunakan media sosial.
Kita harus mempertimbangkan terlebih dahulu apakah postingan yang akan kita sebar di media sosial tersebut memberikan manfaat bagi banyak orang ataukah malah merendahkan perasaan orang lain. Dengan adanya langkah tersebut, kita dapat memanfaatkan media sosial untuk hal-hal yang positif dan bukan sebagai alat yang dapat merusak kesehatan mental.