Jumat, Maret 29, 2024

Tenaga Kerja Asing dan Politik Ketakutan

Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino
Mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Dalam Perpres tersebut dinyatakan dengan pertimbangan untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi, pemerintah memandang perlu pengaturan kembali perizinan penggunaan tenaga kerja asing.

Selain itu, pengaturan penggunaan tenaga kerja Asing adalah keniscayaan dari berlakunya perdagangan bebas di negara Asia Tenggara dan dunia seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), CAFTA dan General Agreement on Trade in Services (GATS). Semua ini sudah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia jauh sebelum Presiden Joko Widodo berkuasa.

Namun, masalah tenaga kerja Asing ini selalu mengundang pro dan kontra, yang kerapkali menghasilkan polemik bahkan menjadi komoditas politik yang kerap menciptakan sentimen di kalangan masyarakat.

Isu Tenaga Kerja Asing dan Narasi Ketakutan  

Jika dilihat dari data, data Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan pada tahun 2017 terdapat 74.000 tenaga kerja asing di Indonesia. Jumlah ini tak jauh berbeda dengan jumlah pekerja asing pada periode Januari-November 2016 yang juga berjumlah 74,2 ribu pekerja. Artinya tak ada peningkatan jumlah tenaga kerja Asing yang signifikan seperti yang kerap diwacanakan di media sosial.

Jumlah tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia mencapai puncak tertingginya pada tahun 2011 yakni sebanyak 77.307 pekerja. Dengan kata lain, jumlah tenaga kerja Asing mengalami peningkatan jauh sebelum Perpres Tenaga Kerja Asing ditandatangani. Bahkan jika dibandingkan dengan data pada tahun-tahun sebelumnya, justru tren jumlah tenaga kerja Asing yang ada saat ini di Tanah Air mengalami penurunan.

Namun isu tenaga kerja Asing terus menerus direproduksi dengan bingkai statistik yang dikemas dengan narasi yang dilebih-lebihkan hingga reduksi yang ambivalen untuk menciptakan seakan-akan situasi sedang berada dalam kondisi bahaya.

Bahkan isu tenaga kerja asing dibingkai dalam narasi antagonisme yang dibumbui dengan pandangan nasionalisme yang chauvinistik yang menggambarkan tenaga kerja Asing sebagai the others yang bukan bagian dari kita, dianggap sebagai musuh dan ancaman yang berhadap-hadapan dengan kepentingan nasional dan masyarakat asli (pribumi).

Sehingga narasi tersebut bukan mengantarkan masyarakat ke dalam penjelasan yang rasional melainkan justru bermaksud merangsang sisi emosional masyarakat sehingga menciptakan ketakutan dan keresahan.

Narasi yang kerap muncul dalam isu tenaga kerja Asing seperti “antek asing”, “pro-Cina”, “Tiongkok”, hingga “antek PKI”, justru menghambat masyarakat untuk memahami masalah tenaga kerja Asing secara rasional dan terukur, yang ada hanya merangsang sentimen dan emosi rasa takut.

Dan penciptaan rasa takut ini bukanlah hal yang baru. Dalam sejarah politik, rasa takut masyarakat seringkali dikonversi menjadi suara elektoral oleh sejumlah politikus untuk meraih kekuasaan. Hal ini dilakukan oleh Donald Trump, dengan menebar ketakutan terhadap tenaga kerja asing (warga imigran Muslim, Latin, kulit hitam, dan warga minoritas AS lainnya) yang dianggap telah mencuri lapangan pekerjaan warga kulit putih Amerika Serikat, hingga ketakutan terhadap Tiongkok yang disebut Trump sebagai pelaku utama yang menggerogoti ekonomi AS, berhasil membawa Trump meraih kursi kekuasaan.

Riset Pew Research Center menyebutkan menjelang pemilu mayoritas (78 persen) pemilih Trump percaya bahwa kondisi Amerika semakin memburuk dengan meningkatnya kejahatan dan kriminalitas. Padahal sejumlah data resmi menyebutkan bahwa kondisi Amerika saat itu berada dalam kondisi yang relatif aman.

Persepsi akan ketakutan dan pesimisme dalam benak masyarakat lebih banyak diciptakan oleh narasi-narasi dan diskursus media, terutama yang direproduksi oleh Trump yang menjadikan isu destabilitas politik dan ekonomi sebagai fokus kampanye.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Hitler. Dengan menyulut ketakutan masyarakat Jerman akan munculnya revolusi komunis dan dominasi Yahudi, Hitler dan Partai NSDAP berhasil meningkatkan elektabilitasnya hingga berhasil duduk di kursi kekuasaan.

Politik ketakutan inilah yang berpotensi membawa kondisi saat ini pada apa yang dikatakan Graham Allison sebagai Thucydides Trap dimana ketakutan masyarakat yang direkayasa digunakan sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan. Seperti apa kata Thucydides, bahwa ketakutan adalah unsur pembentuk kekuasaan, Fear is the Source of Power.

Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino
Mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.