Selasa, Maret 19, 2024

Teladan Patriotisme Itu Datang dari Timur

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Cerita inspiratif dari Indonesia Timur seakan tak pernah habis. Belum lama ingatan kita tertuju pada Lalu Muhammad Zohri, pemuda asal Nusa Tenggara Barat (NTB), yang mengharumkan tanah air setelah memenangi lomba di Kejuaraan Dunia Atletik U-20, Finlandia, sebulan berselang muncul sosok bocah yang lebih anom.

Ia berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), lebih tepatnya di Belu yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Yohanes Ande Kala Marchal namanya. Momennya terjadi pada peringatan HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus lalu. Jauh dari sorot media, keduanya sama-sama hadir dari keheningan, kemudian tiba-tiba menjadi fenomenal.

Seperti yang menghiasi lini masa media sosial maupun media massa, bocah yang karib dipanggil Johni itu dengan cekatan memanjat tiang bendera untuk meraih tali yang kecantol sehingga panji-panji Merah Putih urung bisa dikibarkan.

Dari tayangan video, tampak bocah SMP tersebut memanjat tiang yang segera doyong ke kanan dan kiri. Aplaus pun langsung menggema dalam upacara pengibaran bendera yang berlangsung di pinggir pantai itu sesaat setelah si juru selamat turun. Cerita kemudian, bendera dikibarkan meski tanpa iringan Indonesia Raya.

Kisah sesudah itu lebih mengharukan. Tepuk kuduk hadir dari seantero Nusantara. Johni diajak ke ibu kota oleh Menpora Imam Nahrawi untuk menghadiri upara pembukaan Asian Games sebelum kemudian diajak bertemu dengan presiden. Afeksi lain datang dari PLN yang ingin menyalurkan beasiswa hingga jenjang S-1 sampai pihak TNI yang memprioritaskan menjadi prajurit bagi bocah yang memang bercita-cita jadi tentara itu.

Apa hikmah yang bisa dipetik dari kisah Yohanes Ande Kala Marchal alias Johni –juga Lalu Muhammad Zohri– di atas?

Pertama, jiwa nasionalisme akan lebih berharga lewat tindakan daripada sekadar ucapan. Ini teori lawas yang mudah diingat, namun sukar diejawantahkan. Sudah banyak yang menganalogikan hal demikian. Dalam ihwal iman di agama Islam, misalnya, terdapat tiga tingkatan. Diawali dengan keyakinan dalam hati, diucapkan melalui lisan, dan dikristalisasi dalam wujud tindakan.

Keyakinan dalam hati ditandai dengan percaya terhadap Allah SWT, termasuk Rukun Iman dan Islam. Lantas, mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan bukti iman lewat lisan. Puncak keyakinan dari hati dan lisan itu adalah tindakan atau amalan. Amalan dalam Islam dibedakan atas dua hal: habluminallah dan habluminannas. Beribadah secara vertikal kepada Allah SWT dan beramal secara horisontal kepada sesama umat manusia. Keduanya mesti dijalankan secara seimbang.

Menjiwai nasionalisme pun demikian. Nasionalisme diartikan sebagai paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Di samping nasionalisme, ada yang hierarkinya lebih tinggi: patriotisme. Ia dimaknai sebagai sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya atau sederhananya semangat cinta tanah air.

Kata kuncinya terletak pada cinta. Seperti halnya cinta sepasang insan, cinta takkan benar-benar dapat dipercaya apabila tanpa aksi. Jika dalam iman terdapat tiga tingkatan, mencintai Indonesia bisa juga dianalogikan memiliki tiga strata. Dari tataran hati, lisan/tulisan, kemudian tindakan.

Nasionalisme di tataran keyakinan adalah memercayai sepenuh hati bahwa Indonesia merupakan negara sah yang telah merdeka dan berdaulat. Banyak pula bentuk keyakinan lain yang intinya semakin menambah rasa cinta terhadap bangsa dan negara.

Nasionalisme di tataran lisan/tulisan termanifestasi dalam Pancasila, undang-undang, lagu kebangsaan yang dinyanyikan pada momen-momen tertentu, dan sebagainya. Sementara itu, cinta tanah air dalam wujud tindakan hanya bisa dilakukan oleh insan-insan yang sudah lulus dua tingkatan sebelumnya. Atau, ”masa bodoh” dengan nasionalisme hati maupun lisan/tulisan, tapi langsung terwujud dalam aksi nyata.

Yohanes Ande Kala Marchal termasuk orang-orang pilihan itu. Ia tak hanya berjiwa nasionalis, tapi juga patriotik. Tindakan memanjat tiang bendera yang menjulang tinggi agar Merah Putih bisa dikibarkan tidak akan bisa dilakukan oleh sembarang orang. Itu tindakan sederhana meskipun juga tidak bisa benar-benar dikatakan sederhana. Sederhana baginya, namun tidak sederhana bagi orang lain.

Ia berkorban melawan mara yang bisa saja membuatnya terjatuh mengingat ketinggian cagak. Saking tinggi dan kecilnya, tiang itu terlihat seperti miring ke kanan dan kiri. Bahkan, saya, mungkin juga beberapa lainnya, berani mengatakan bahwa ini lebih nasionalis daripada orasi-orasi politisi yang mengaku cinta tanah air, tapi nyatanya kemudian hanya mementingkan golongan tertentu.

Satu lagi, spontanitas. Spontanitas merupakan manifestasi dari kebiasaan yang telah terbentuk. Dalam ilmu psikologi, aksi spontanitas bisa mencerminkan kepribadian sesungguhnya seseorang.

Rasa cinta yang salah satunya terwujud dalam aksi spontanitas Yohanes Ande Kala Marchal ketika ada kejadian insidental dalam pengibaran panji-panji Merah Putih tak terbantahkan. Ia telah mengajari kita, anak sebaya maupun yang lebih tua, untuk mencintai Indonesia tak hanya lewat kata-kata, apalagi dalam hati belaka, melainkan melalui tindakan nyata.

Kedua, sering kali permata itu justru datang dari wilayah yang jauh dari gempita metropolis. Kisah Lalu dan Johni hanyalah sebagian di antaranya. Memang, kawasan timur Indonesia kadang kala masih kurang mendapat perhatian. Contoh mutakhir adalah gempa di Lombok yang hingga saat ini urung dijadikan bencana nasional oleh pemerintah, kendati beberapa kalangan sudah mendesaknya.

Meski demikian, seperti ingin ”membuktikan kemandirian”, dari sanalah teladan itu malah sering muncul. Mendiang Gorys Keraf, pakar bahasa Indonesia yang tersohor lewat buku Komposisi serta Diksi dan Gaya Bahasa, berasal dari Nusa Tenggara Timur.

Jauh ke masa perjuangan, ada nama-nama tokoh dari Indonesia Timur yang sarat teladan seperti A.A. Maramis, Arnold Monotutu, Sam Ratulangi, hingga Frans Kaisiepo. Jangan lupakan pula Din Syamsuddin, sosok dari Sumbawa, NTB, yang dianggap sebagai tokoh lintas agama, hingga figur kaliber Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Yohanna Yambise yang menjadi profesor perempuan pertama dari Papua.

Seperti para penerokanya, menjadi apa pun kelak, Yohanes Ande Kala Marchal beserta Lalu Muhammad Zohri merupakan teladan nirpamrih yang benar-benar memanifestasikan jiwa patriotik dalam hati, ucapan, dan tindakan. Mereka itulah yang senantiasa menjiwai betul nasihat ini: bertindak dari hal kecil, memulai dari diri sendiri, dan lakukan sekarang!

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.