Sabtu, April 27, 2024

TBM Ujung Tombak Majunya Literasi Daerah 3T

Randy Homzi
Randy Homzi
Guru Garis Depan (GGD) di Kabupaten Buru , Pernah mengajar di Pedalaman Papua tepatnya Distrik Iwur Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua

Saya masih ingat betul Sabtu 23 September 2017 untuk pertama kalinya saya sampai di Desa Widit tempat saya bertugas sebagai Guru Garis Depan (GGD) pada SD Negeri 9 Waelata Kecamatan Waelata Kabupaten Buru Provinsi Maluku.

Desa Widit sendiri merupakan sebuah Desa Adat dengan penduduk sebagian besar adalah orang asli Pulau Buru dimana sebagian besar beragama Islam kemudian Katolik, Protestan dan aliran kepercayaan (Adat).

Saat saya datang pada minggu-minggu awal bertugas menjadi GGD di Desa Widit, saya mendapati banyak sekali anak yang kurang bisa membaca lancar bahkan hingga di kelas 4 SD.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Setelah saya cermati permasalahannya bukan karena guru jarang masuk namun saya dihadapkan pada kultur dimana daerah tempat saya mengabdi dekat dengan areal penambangan emas Gunung Botak dan banyak siswa yang sering tidak masuk sekolah dengan alasan pergi ikut orang tua ke gunung hingga proses belajar mengajar menjadi terganggu. Kemudian yang terjadi adalah tidak terjadi kontinuitas dalam pembelajaran.

Hal lain yang saya temukan adalah sedikitnya buku bacaan yang ada, terdapat beberapa novel terbitan Balai Pustaka yang saya anggap terlalu berat untuk siswa pendidikan dasar. Buku-buku yang ada disekolah lebih banyak dalam bentuk buku teks pelajaran yang sifatnya kering dan terkesan njelimet hingga siswa malas untuk membacanya baik disekolah maupun meminjam untuk membaca dirumah.

Saya tahu ketika itu sebenarnya minat siswa untuk membaca sangat besar namun semua itu terkendala hanya pada kurangnnya bahan bacaan yang tepat untuk mereka.

Pada data-data awal saya mengajar di sekolah rata-rata kecepatan anak membaca di bawah 50 kata permenit dengan ketentuan membaca cepat dan belum tentu memahami apa yang dibaca sementara kecepatan membaca normal adalah berkisar 140-200 kata permenit.

Padahal membaca adalah sebagaimana dikatakan oleh Najeela Shihab dalam buku “Semua Guru Semua Murid” (sebuah buku yang sangat berkesan bagi saya sebagai pendidik) adalah “memahami rangkaian makna bukan hanya mengeja bahan pustaka “ (2017). Bagaimana siswa akan bisa memahami makna buku yang dibaca jika mereka sendiri tidak lancar membaca? Itulah permasalahan yang saya hadapi dilapangan ketika itu. Selain itu kendala bahasa juga menjadi kesulitan tersendiri bagi saya pada masa tersebut.

Untuk menyiasati masalah yang saya temukan dilapangan berkaitan dengan kecepatan membaca anak-anak juga dalam rangka ikut berpartisipasi dalam memajukan pendidikan di daerah pinggiran khususnya gerakan literasi bagi masyarakat, maka saya berinisiatif mendirikan taman bacaan masyarakat dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Kepala Sekolah dan rekan-rekan guru senior tempat saya bertugas.

Saya juga mencoba berkoordinasi dan menyampaikan ide pembentukan TBM tersebut kepada semua tokoh masyarakat, agama, adat termasuk juga pemerintah desa dan bersyukur semua mendukung penuh ide ini.

Maka mulai bulan November 2017 TBM Widit mulai beroperasi. Dengan memanfaatkan program gratis kirim setiap tanggal 17 yang diselenggarakan oleh PT Pos Indonesia pada akhir Bulan November TBM Widit untuk pertama kalinya mendapatkan buku-buku dari donatur yang datang dari penjuru negeri sebanyak 15 kardus. Buku sebanyak itu saya dapatkan dengan cara memaksimalkan serta memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan keubutuhan TBM.

Menumbuh kembangkan minat baca di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) tentu bukan hal yang mudah saya lakukan. Ketika informasi kiriman dari donatur sudah sampai saya tidak bisa langsung mengambilnya sebab layanan Pos tidak menjangkau ke daerah tempat saya bertugas.

Saya masih harus mengambilnya sendiri ke kantor Pos terdekat yang jaraknya lumayan jauh belum lagi infrastruktur jalan yang masih jalan tanah dan harus menyeberangi ponton penyebrangan yang membelah Sungai Waeapo. Modal sendiri selalu keluar terutama untuk biaya pengangkutan buku-buku tersebut setiap bulannya.

Membiasakan masyarakat dan anak agar cinta buku tidaklah mudah. Solusi yang saya tempuh adalah berusaha mengikuti alur pikir untuk mereka yang cenderung tidak ingin terlalu dikekang dan fleksibel. Sampai sekarang terus terang TBM yang saya dirikan tidak mempunyai tempat atau sarana yang tetap.

Bagi saya TBM tidak harus mempunyai bangunan yang tetap apalagi yang saya lakukan adalah sebuah TBM rintisan di Desa yang masih termasuk sebagai Desa Tertinggal. Yang bisa saya lakukan adalah menititpkan bahan bacaan di perpustakaan sekolah dan juga di rumah kos tempat saya tinggal. Bagi saya setiap rumah di Widit adalah TBM. Setiap ada buku yang datang maka saya tulis dalam buku koleksi kemudian siswa atau masyarakat dapat memanfaatkan langsung dengan membawanya ke rumah.

Setiap bulan kami mendapatkan kiriman buku yang banyak maka strategi saya rubah. Saya tak pernah memaksa siswa atau masyarakat yang memanfaatkan untuk mengembalikan tepat waktu bahkan saya tak memarahi saat siswa pendidikan dasar di Desa Widit atau anak usia PAUD mengembalikan buku dalam kondisi sudah rusak, robek atau ada coretan.

Hal tersebut didasari karena banyaknya stok buku serta sebagai upaya agar anak-anak akrab dengan buku bacaan. Dengan harapan pelan tapi pasti anak menjadi akrab dengan buku selain buku pelajaran darisitu mereka mulai menghargai buku. Biasanya setelah membaca buku bergambar, saya minta anak-anak  untuk menceritakan kembali apa yang telah mereka baca. Sementara untuk anak PAUD saya meminta mereka menceritakan kembali apa yang telah mereka tangkap dari melihat gambar yang ada pada buku-buku tersebut.

Setelah 6 bulan TBM berjalan dan dengan setiap bulan setidaknya 5 kardus buku baru yang datang karena saya rajin promosi di media sosial baik WA Group, Blog, Facebook. Hal yang menggembirakan adalah ada kenaikan meski pelan namun pasti dalam kecepatan membaca siswa terutama siswa SD tempat saya bertugas.

Dari yang semula hanya dibawah 50 kata per menit meningkat menjadi sekitar 80an kata permenit. Kedepannya jika suatu saat Desa Widit terdapat bangunan khusus untuk TBM saya memimpikan TBM yang saya dirikan tidak hanya menjadi kegiatan membaca semata namun juga menjadi pusat dimana kegiatan kebudayaan sekaligus pelestarian budaya lokal berlangsung yang didalamnya berisi pelatihan budaya lokal, tarian adat, pertunjukan seni mungkin juga latihan drama. Pada akhirnya dari TBM meski berada pada daerah Tertinggal inilah muncul suatu budaya literasi tidak hanya bagi peserta didik namun juga memasyarakat yang kemudian Desa Widit menjelma menjadi sebuah Desa Literasi.

Saya juga membayangkan jika setiap GGD yang berjumlah lebih dari 6000 orang menginisiasi atau membuat 1 Taman bacaan di tempat tugas maka generasi emas Indonesia menyambut moment 100 tahun kemerdekaan ditahun 2045 akan menjadi nyata dengan membudayanya generasi melek aksara pada pemuda dan masyarakat. Mengapa hal tersebut bisa saya simpulkan?

Sebab di TBM lah proses interaksi, dialog antara pemuda, masyarakat, penulis buku melalui bukunya bisa terjadi. Dari interaksi tersebut timbul diskusi yang bersifat akademik yang setara, proses belajar yang terus menerus dan bermakna. Terakhir sebagaimana judul buku Najeela Shihab di TBM lah terjadi apa yang disebut sebagai “Semua Murid, Semua Guru”. Salam.

Randy Homzi
Randy Homzi
Guru Garis Depan (GGD) di Kabupaten Buru , Pernah mengajar di Pedalaman Papua tepatnya Distrik Iwur Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.