Selasa, Oktober 15, 2024

Tawaran untuk Kurikulum Pondok Pesantren di Era 4.0

Syamsul Maarif
Syamsul Maarif
Guru Agama Islam dan Pengajar di Kampung Inggris.

Kurang lebih seperti itu kritik Dr. Nurcholish Madjid (yang akrab dipanggil “Cak Nur”) dalam bukunya Bilik-Bilik Pesantren. Walaupun banyak kritikan beliau yang saya tidak sependapat, namun, nampaknya dalam poin ini saya sependapat dengan beliau.

Memang satu sisi pondok Pesantren sejak dahulu telah dikenal sebagai lembaga tradisional Islam dalam mentransfer ilmu-ilmu keislamanan, begitu juga sebagai pencetak generasi ulama yang mumpuni serta toleran. Namun di sisi yang lain, dalam menjawab tantangan zaman digital 4.0, banyak pihak yang meragukan pondok pesantren. Khususnya dalam kurikulummya yang tidak menyentuh soal modernitas.

Sehingga, ada kepentingan-kepentingan yang lebih mendesak untuk diberikan sebagai kurikulum di tingkat pesantren. Pondok pesantren perlu menambahkan program kurikulumnya yang berfokus pada skill. Skill tersebut sebagai medium dalam memperkuat segi dakwah Islam para lulusan pondok pesantren agar lebih siap untuk terjun di masyarakat. Sekaligus sebagai jawaban kepada mereka yang meragukan eksistensi pondok pesantren. Ada beberapa skill yang saya tawarkan yang sepertinya layak untuk dipertimbangkan.

Bahasa Internasional

Meskipun sudah banyak pondok pesantren yang telah menambahkan bahasa internasional (Bahasa Arab dan bahasa Inggris, misalnya) dalam kurikulum mereka, hanya saja cukup disayangkan, itu terjadi hanya di segelintir pondok pesantren saja. Pondok-pondok besar tetap “nyaman” dengan kurikulum mereka.

Konsekwensinya, jika kenyamanan ini tetap dijaga, maka pondok pesantren hanya tinggal menunggu waktu saja, saat di mana lulusan pondok pesantren tidak bisa bersaing di kancah internasional. Misalnya kesulitan dalam mencari beasiswa ke luar negeri. Banyak teman-teman saya mengalami kesulitan ini, mengingat beberapa beasiswa luar negeri mensyaratkan untuk mempunyai bukti sertifikat bahasa asing sebagai ukuran seseorang telah mampu berbahasa asing. Katakanlah seperti TOEFL, TOAFL, dan IELTS, dengan nilai yang sudah ditentukan, tergantung universitas yang ditujunya.

Dan, menyoal kesulitan mencari beasiswa itu bukan karangan yang saya buat-buat. Saya sendiri, misalnya, demi untuk mendapatkan beasiswa luar negeri, saya harus berangkat ke Pare (Kampung Inggris) untuk belajar bahasa Inggris, khususnya IELTS agar bisa mencapai target skor minimal 7 sebagai persyaratan rata-rata universitas di Eropa. Hal ini cukup melelahkan dan pastinya menguras banyak biaya dan waktu, (terlepas akhirnya saya malah nyaman di Pare dan mengajar di sana,  hahaha). Tentu cukup disayangkan memang, kenapa bahasa asing (khususnya IELTS dan TOEFL) tidak ditambahkan saja di kurikulum pondok pesantren?

Sehingga tidak mengherankan, ketika di Pare saya seringkali menjumpai teman-teman lulusan Pondok Pesantren Gontor. Seperti yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa Gontor telah mewajibkan santrinya untuk berbahasa Inggris dan Arab dalam keseharian mereka. Sayangnya, dalam pelajaran TOEFL dan IELTS sepertinya banyak dari mereka yang masih kesulitan. Saya hanya membayangkan, jika sekelas Gontor saja masih banyak lulusannya yang “tidak mengerti” soal TOEFL dan IELTS. Lantas bagaimana dengan pondok-pondok yang sama sekali tidak ada pelajaran bahasa Inggrisnya?

Coding dan Programming

Korea Selatan, Inggris, dan Finlandia nampaknya sangat bagus dijadikan sebagai percontohan untuk memahami tantangan generasi masa depan di era Revolusi Industry Keempat, yaitu revolusi digital. Korea Selatan sudah memulai mengerjakan kurikulum ini (programming) ke dalam kurikulum wajib mereka untuk sekolah dasar dan menengah pada tahun 2007.

Hal yang sama, pada tahun 2014, Inggris memperkenalkan kurikulum pemerograman ke dalam kurikulum wajib bagi siswa yang sudah berusia 5-16 tahun. Bahkan di Finlandia, sejak pada tahun 2016, coding sudah menjadi pelajaran wajib bagi setiap siswa di Finlandia, dimulai dari tahun pertama siswa sekolah. Sehingga tidak mengherankan jika lulusan dari ketiga negera tersebut adalah mereka yang sangat menguasai bidang teknologi.

Berita sebaliknya terjadi di Indonesia, di sekolah-sekolah formal maupun swasta (apalagi di pondok pesantren), kurikulum pemerograman di Indonesia masih menjadi kurikulum yang sangat “asing.”

Padahal, sekarang kita hidup di era digital, di mana dunia nyata sudah dikendalikan dengan kode-kode virtual, bagaimana bisa kita menghadapi dan mempersiapkan diri untuk berkompetisi secara global, jika kurikulum coding dan programming saja belum juga dijadikan sebagai kurikulum nasional.

Mungkin ada baiknya jika pondok pesantren yang mengawali dalam pengembangan kurikulum koding dan pemrograman. Sekaligus ini sebagai jawaban bagi mereka yang meragukan. Bahwa pondok pesantren bisa menyatukan unsur tradisional dan kemodernan.

Dengan memaksimalkan kurikulum koding dan pemrograman, pondok pesantren bisa juga menciptakan suatu algoritma baru yang tampaknya sangat dibutuhkan di dunia dakwah, misalnya. Katakanlah dengan membuat algoritma yang bisa membaca pertanyaan apa yang sering dicari di Google oleh orang-orang menyoal keislaman. Dari sana, para ustadz dan ulama bisa memusatkan dakwah mereka, untuk menjawab problematika yang sering ditanyakan umat Islam.

Penulisan Esai dan Jurnal Ilmiah

Dari algoritma itu pula, para lulusan pesantren bisa memetakan masalah serta ikut terlibat untuk membuat esai di beberapa media nasional, dengan memberikan gagasan-gagasan cemerlang dan ide baru yang mungkin sangat dibutuhkan oleh umat Islam.

Hanya saja problemnya, hampir tidak ada pondok pesantren yang mengajarkan kurikulum pembuatan esai atau bahkan jurnal ilmiah. Sehingga para lulusan pondok pesantren yang semestinya memberikan sumbangsih pemikirannya, dalam hal ini, mereka justru hanya menjadi penyimak dan pengikut.

Padahal, secara keilmuan mengenai keislaman mereka jauh lebih pantas memberikan gagasan ilmu-ilmu Islam daripada orang-orang yang belum pernah mondok. Dengan memberikan pemikiran mereka mengenai keislaman, cakupan dakwah menyoal Islam juga akan semakin luas didengar oleh publik. Dan pastinya, ditangani oleh orang yang benar-benar ahlinya menyoal keislaman.

Para pemikir lulusan pondok pesantren sangat diharapkan juga turut memberikan warna dalam pertukaran ide keilmuan di jurnal penelitian ilmiah. Tema-tema yang masih hangat diperbincangkan di jurnal ilmiah, seperti soal tema toleransi, melawan radikalisme, membabat paham-paham khilafah, ataupun bisa juga membahas persoalan yang baru-baru ini yang sedang digodok oleh Kementerian Agama ialah mengenai pergantian kurikulum baru PAI (Pendidikan Agama Islam) dan Bahasa Arab. Apakah para lulusan pesantren sudah memberikan sumbangsih pemikiran mereka untuk menjadikan PAI agar lebih tepat sasaran dan lebih berwawasan toleran?

Syamsul Maarif
Syamsul Maarif
Guru Agama Islam dan Pengajar di Kampung Inggris.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.